Ketika itu udara di Kota Jayapura terasa nyaman. Penganan sagu kering khas daerah tersebut, yang disajikan bersama kopi dan teh panas oleh para aktivis di Lembaga Perempuan dan Anak Papua, menambah nikmatnya suasana petang. Meski demikian, semua ini tidak melunakkan hati Pendeta Jemima Mirino-Krey untuk melontarkan ketidakpuasannya atas berbagai hal di tanah Papua.
“Kepercayaan kami sudah luntur. Kami tak butuh uang. Uang sudah datang, tapi toh segalanya masih tidak beres. Karena itu, perempuan harus bangun dan menyelamatkan orang Papua, seperti sang ibu menyelamatkan anaknya,” kata Jemi, demikian panggilan akrabnya, dengan nada tinggi.
Para aktivis perempuan di Papua saat ini boleh dibilang cukup gencar memperjuangkan hak-hak orang asli Papua. Mereka tidak saja berupaya menyatukan persepsi bahwa pembangunan tanah Papua harus didasarkan pada pembangunan manusia, tetapi juga mengatur strategi tentang bagaimana mengajak para penguasa memahami kebutuhan warga dan memandang perempuan di negeri ini.
Jemi serta tiga aktivis perempuan lainnya-Fien Yarangga, Poppy Maipaw, dan Angela Flasi-terkesan sudah demikian kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. “Implementasi otonomi khusus yang sudah berlangsung enam tahun belum beres, sudah datang lagi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang percepatan pembangunan. Jadi, sekarang ini benar-benar kacau,” kata Jemi.
“Bahkan, kini kami merasa tidak nyaman dan aman di tanah kelahiran kami sendiri,” kata Angela menambahkan.
Meski dia tidak menjelaskan apa yang mengakibatkan dirinya merasa tidak nyaman dan aman di Papua, menurut informasi yang dikumpulkan Kompas, sejumlah aktivis di tanah Papua belakangan ini memang sering mendapat pesan singkat melalui telepon seluler (SMS) yang sifatnya meneror.
“Saya sudah kenyang mendapat SMS semacam itu,” kata Thaha Alhamid, Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua, sambil menunjukkan sejumlah SMS yang diterimanya kepada Kompas di tempat terpisah. Lalu, apa yang Anda lakukan? “Mantap…,” katanya sambil tertawa renyah.
Kepedihan tak terlupakan
Aktivis perempuan di pulau tertimur Indonesia itu sebenarnya sudah terbiasa memperjuangkan hak-hak warga. Namun, belakangan ini aktivitas mereka dilakukan secara lebih terbuka sehingga terasa cukup menggema di daerah tersebut.
“Kami juga seperti Kartini, harus memperjuangkan hak-hak perempuan. Bedanya, kalau Kartini dulu berjuang secara tertutup, di era reformasi ini kita tak perlu tertutup,” kata Mama Ibo, aktivis senior di kalangan gereja, dalam suatu diskusi di Jayapura tanggal 10 Agustus lalu.
Diskusi tersebut dihadiri aktivis perempuan dari berbagai kalangan, baik yang juga aktif di pemerintah daerah (eksekutif, legislatif dan MRP), gereja, maupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan hukum.
“Rekan kami bahkan tidak jarang mengirim SMS ke Gubernur (Barnabas Suebu) untuk memberi masukan dan SMS-nya dijawab sebagaimana yang diharapkan,” kata Poppy sambil menunjuk salah satu peserta diskusi siang itu. Ia mencoba menggambarkan hubungan baik sejumlah aktivis perempuan dengan Suebu.
Meski demikian, hubungan tersebut bisa dikatakan belum membuahkan hasil yang signifikan. Jadi, tak perlu heran jika Mama Ibo dan sejumlah aktivis lainnya yang hadir dalam diskusi itu juga menyatakan kekecewaan mereka atas implementasi otonomi khusus di masa pemerintahan Suebu ini. Menurut mereka, otonomi khusus yang akan berlaku selama 25 tahun (mulai tahun 2001) mestinya ditafsirkan secara benar. “Apa yang dimaksudkan dengan khusus itu,” kata Ester Burako dengan nada tinggi.
Mereka menilai kebijakan otonomi khusus telah disalahgunakan. Dana yang digelontorkan pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur hanya sebagian kecil yang sampai ke masyarakat.
“Bahkan, mama-mama pedagang sayuran yang tak berdaya pun sekarang ini terancam digusur karena adanya kebijakan di bidang tata kota. Mestinya kan mereka dilindungi dan diberi tempat berdagang yang khusus di era otonomi khusus ini,” demikian keluhan peserta diskusi.
Pada umumnya mereka menuntut bahwa pembangunan tanah Papua harus diselenggarakan dengan cara melibatkan kalangan gereja atau organisasi keagamaan yang diakui masyarakat setempat dan para tokoh adat. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda hal itu akan dilangsungkan secara baik. “Pemerintah tidak pernah serius membangun Papua,” kata Jemi dan sejumlah peserta diskusi.
Masa lalu
Bukan mustahil, kekecewaan seperti itulah yang membuat para aktivis perempuan sekarang juga berupaya menyatu dan ingin menggugat berbagai hal yang telah melukai mereka. “Sejak dulu hati kami selalu dilukai. Bayangkan, hingga kini masih banyak perempuan yang tidak menikah karena menjadi korban pemerkosaan aparat keamanan di masa lalu. Anaknya yang berambut lurus (tidak berambut keriting seperti warga asli Papua) pun akhirnya termarjinalkan di lingkungannya,” kata Poppy berkomentar.
“Karena itu, perlu ada permintaan maaf dari mereka atas kekejaman tersebut. Kalau Jepang saja mau minta maaf, mengapa mereka tidak? Selain itu, kita perlu dialog untuk menyelesaikan berbagai ketertinggalan Papua, khususnya warga asli Papua,” kata Poppy lagi yang disambut nada setuju peserta diskusi.
Pendapat lebih keras justru dikemukakan anggota MRP. “Bagi kami, ketidakseriusan pemerintah sudah saatnya dikomentari dengan mosi tidak percaya. Dan kami berencana untuk menyatakan mosi tidak percaya tersebut segera,” demikian komentar tiga anggota MRP petang itu menjelang berakhirnya diskusi.
Dialog tampaknya memang merupakan jalan yang patut ditempuh segera. Sebagaimana dikemukakan filsuf Jerman, Jurgen Habermas, masyarakat modern adalah masyarakat yang memprioritaskan berlangsungnya dialog yang sehat. Artinya, dialog yang tidak didominasi siapa pun dan diselenggarakan atas norma-norma yang berlaku. Dialog tentunya dalam rangka mencapai kesepakatan bersama.
“Dialog yang terdistorsi akan memunculkan spiral kekerasan,” kata Habermas mengingatkan.
Jadi, mengapa tidak segera lakukan dialog? (FANDRI YUNIARTI)
Aspirasi Rakyat: MRP Dicurigai?
Warga asli Papua perlu berbahagia karena di pulau tertimur Indonesia itu sekarang ini cukup banyak yang mengumandangkan jeritan hati mereka, termasuk Hana Hikoyabi, Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua.
“Di era otonomi khusus ini hak rakyat harus dipenuhi, apalagi kekayaan alam cukup besar. Ironisnya, saat ini semua aspek terabaikan sehingga rakyat lapar di tengah kekayaan alamnya,” demikian Hana membuka pembicaraan dengan tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 beberapa waktu lalu.
Dia merasa harus terus memperjuangkan berbagai hal yang dinilai merupakan hak warga asli Papua (yang ayah dan ibunya orang asli Papua). Karena itu, dia merasa sedih jika lembaga tempatnya bekerja sekarang ini tidak diberi kewenangan yang lebih besar untuk memperjuangkan hak-hak orang asli Papua.
“Tampaknya pemerintah kurang serius membenahi permasalahan di Papua. Bahkan, terkesan MRP (Majelis Rakyat Papua) dicurigai. Pemerintah bukannya berupaya menciptakan bagaimana agar kami semua, orang asli Papua, mencintai Tanah Air ini,” kata Hana datar.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, MRP yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan memang hanya diberi kewenangan terbatas. Salah satunya adalah memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus), bukan menyetujui perdasus. Dengan kata lain, tidak punya “gigi” sama sekali.
Meski demikian, MRP saat ini telah menyusun pokok-pokok pikiran tentang kewenangan khusus dalam rangka otonomi khusus Papua, hak-hak dasar orang asli Papua, dan kesatuan kultural orang asli Papua.
Pokok-pokok pikiran tersebut tentunya merupakan suatu hal yang perlu segera diberi perhatian dan dibahas bersama. Apalagi, sekarang ini masih banyak kalangan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, yang dinilai belum paham tentang konsep otonomi khusus.
“Di pusat, saya kira yang agak paham tentang otonomi khusus mungkin hanya aparat di Departemen Dalam Negeri dan Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan. Di Papua sendiri tampaknya masih sangat sedikit yang paham tentang konsep otonomi khusus tersebut,” kata Prof Dr Baltazar Kambuaya, Rektor Universitas Cenderawasih, yang ditemui di ruang kerjanya pertengahan Agustus lalu.
Sebagai ketua tim perumus otonomi khusus Papua, Kambuaya mengaku kecewa atas pelaksanaan otonomi khusus saat ini. “Tujuan utama otonomi khusus itu kan tiga, yakni perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan terhadap warga asli Papua. Tetapi, sudah enam tahun otonomi khusus berlangsung, semua itu belum terimplementasikan sebagaimana mestinya,” paparnya.
Jadi, tak perlu heran kalau sekarang ini banyak pihak, baik yang pro Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maupun yang ingin Papua berdiri sendiri, mengimbau agar pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam mengimplementasikan otonomi khusus.
“Sekarang, karena kondisinya demikian, banyak orang menyalahkan kami yang ada di Universitas Cenderawasih ini. Padahal, tidak sedikit perjuangan kami untuk merumuskan konsep tersebut. Bahkan, dosen yang turun ke lapangan dalam rangka mencari tahu aspirasi masyarakat dan menyosialisasikan otonomi khusus ini ada yang diancam panah di wilayah pegunungan tengah sana,” kata Kambuaya seraya menambahkan, sekitar 80 persen perumus otonomi khusus adalah tenaga dari Universitas Cenderawasih.
Kecurigaan tampaknya sudah harus dibuang jauh-jauh. Apa pun, masyarakat Papua membutuhkan bukti keseriusan pemerintah atas pembenahan berbagai ketertinggalan daerah mereka dewasa ini. Artinya, manfaatkan waktu 19 tahun (dari 25 tahun masa otonomi khusus) ini untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa mereka bukanlah “anak tiri” yang lebih banyak meratap. Mereka adalah bangsa Indonesia yang justru sekarang ini mendapat “takhta” yang luar biasa…. (FAN)