Sejumlah wanita dewasa, penari tari likurai, sejak pagi sudah menunggu di kaki rumah adat dekat mulut kampung. Dilengkapi gendang atau ke’e yang bergaris tengah sekitar 10 sentimeter, mereka siap menari untuk menyambut tamu dari Jakarta yang sedianya berkunjung ke kampung tua As Manulea.
Kampung As Manulea terletak di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini berjarak sekitar 270 km sebelah timur Kota Kupang dan 65 km sebelah barat Atambua, ibu kota Kabupaten Belu.
Para wanita dewasa (feto) dan kelompok musik bambu sempat kecewa karena tamu yang ditunggu ternyata batal berkunjung. Namun, kekecewaan mereka sedikit terobati karena datang Romo Maksi Un Bria Seran Pr, biarawan Katolik asal Kampung As Manulea, bersama Tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT Kompas.
Para penari itu langsung mengalungkan bĂȘte (kain tenun khusus untuk pria) sebagai tanda dimulainya ritual khusus bernama halon. Mereka kemudian mengiringi tamu untuk melakukan prosesi ke sejumlah titik, seperti istana (sonaf) ratu dan raja, sonaf akar kehidupan (ba ba’af), makam dua ratu, serta sejumlah rumah adat.
Sambil menari, setiap penari dengan lincah menabuh ke’e yang dijepit di bawah ketiak. Di depan para penari, seorang pria dewasa berdendang sambil mengacung-acungkan pedang terhunus.
“Tamu asal Jakarta boleh batal datang, tetapi kami tetap bangga menyuguhkan tari likurai bagi rombongan Romo Maksi Un Bria Pr,” kata Natalia Kole(43), salah seorang penari.
Tarian perang
Tari likurai, menurut budayawan Usman Ganggang yang pernah bertugas lama di Kabupaten Belu, awalnya merupakan tarian perang. Tarian ini disuguhkan saat menyambut para pahlawan pulang kampung membawa kemenangan. Konon, para pahlawan yang pulang kampung seusai perang itu membawa kepala musuh yang telah dipenggal sebagai bukti keperkasaan.
Para gadis yang beranjak dewasa (feto), terutama mereka yang berdarah bangsawan, menjemput para pahlawan dengan membawakan tari likurai.
Kepala musuh yang dibawa para pahlawan di masa silam lantas diambil para feto dan dibanting ke tanah sebagai bentuk penghinaan resmi kepada musuh.
Dalam menari, para feto berlenggak-lenggok dengan gerak kaki cepat sebagai ekspresi kegembiraan dan kebanggaan menyambut kembalinya para pahlawan dari medan perang. Sementara itu, beberapa mane (laki-laki) menyanyikan pantun bersyair tentang keberanian, memuja pahlawan.
Para pahlawan kemudian diarak ke altar persembahan yang disebut ksadan. Para tetua adat telah menunggu para pahlawan di sana untuk mencatat jumlah kepala musuh yang dipenggal dan mendengar laporan lengkap jalannya peperangan.
Kata likurai dalam bahasa Tetun (salah satu rumpun bahasa daerah setempat) berasal dari dua suku kata, yakni liku yang berarti menguasai dan rai berarti tanah atau bumi. Arti harfiah likurai adalah menguasai bumi.
Usman Ganggang, yang juga sebagai penyair, mencatat, tari likurai belakangan ini dipentaskan saat menerima tamu penting, upacara besar, atau acara tertentu.
Manuel Un Bria, tetua kampung, menuturkan, mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta pernah berkunjung ke kampung tua As Manulea sekitar tiga tahun lalu. Saat itu, sekitar 100 penari likurai menyambut dan mengiringi kunjungan Meutia.
“Kami bangga petinggi Jakarta mau berkunjung ke kampung kuno seperti As Manulea. Kunjungan itu mendorong masyarakat semakin menghargai kampung peninggalan leluhur, termasuk tari likurai,” katanya.
Budayawan Agus Beda Ama menyatakan, tari likurai perlu dipertahankan, antara lain dengan memperkenalkan kepada generasi muda melalui festival atau pementasan. Juga melalui sanggar tari di kota kabupaten atau provinsi.(FRANS SARONG)