Sejumlah spanduk terpasang di beberapa lokasi strategis di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Spanduk-spanduk bertuliskan “Selamat Datang Wula Poddu” itu mengingatkan orang Sumba untuk kembali kefitrahnya. Wula Poddu atau bulan berpantang adalah bulan suci untuk pembersihan diri.
Masyarakat tradisional Sumba Barat mengenal kalender 12 bulan dalam kehidupan mereka, mulai dari Wula Mengata (bulan Januari) sampai dengan Wula Koba (Desember).
Wula Poddu dimulai saat purnama Oktober sampai purnama November. “Penghitungan Wula Poddu ditentukan para rato (ketua adat) dengan mendasarkan pada posisi bulan di langit,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumba Barat Saba Cody Poro kepada tim Ekspedisi Jejak Peradaban NTT Kompas di Waikabubak, Kamis (4/11).
Selama 30 hari, masyarakat tradisional Sumba yang terdiri dari 48 kabisu (suku) di Kecamatan Loli dan Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, mengikuti berbagai ritual adat penyucian diri.
Poddu secara harfiah berarti pahit, terkait pantangan yang harus dijalani untuk mencapai kesucian. Upacara Wula Poddu terpusat di Kecamatan Loli dan Kota Waikabubak, tapi melibatkan semua orang Sumba. Upacara ini berasal dari Kampung Tambera, Kecamatan Loli. Tambera artinya terpecah. Orang Sumba berkeyakinan bahwa mereka semula hanya satu, tetapi kemudian terpecah ke seluruh daratan pulau itu.
Pada ritual pertama, sebagai pembuka bulan Poddu, para rato dari setiap suku bersama tetua adat suku pergi ke tempat keramat dan kuburan batu megalitik yang diyakini sebagai tempat tinggal para leluhur. Mereka membawa sesaji bagi leluhur, meminta restu untuk merayakan Wula Poddu dan tidak ada gangguan, seperti kematian anggota keluarga, perkelahian, atau musibah lain yang menghambat.
Setiap kampung di Kecamatan Loli dan Kota Waikabubak mengawali Wula Poddu dengan membunyikan gong yang disebut Topa Wano ke sekeliling kampung dan desa. Saat itu pula seluruh pantangan mulai diberlakukan, yaitu tidak membangun atau memperbaiki rumah serta melaksanakan pesta adat. Anak perempuan dilarang berpindah tempat tinggal, membunyikan alat musik, berteriak pada malam hari, atau menumbuk padi atau jagung.
Sejak dini hari, semua anggota dari suku di kampung masing-masing membawa seekor ayam. Ayam itu kemudian disembelih oleh kepala suku setelah didoakan. Masing-masing kepala suku kemudian memeriksa bagian usus, hati, jantung, dan empedu ayam. Jika ada jeroan ayam yang rusak, pembawa ayam harus mengakui kesalahan, kemudian bersedia mengganti ayam.
Para anggota suku di bawah pimpinan kepala suku mengontrol warga masing-masing. Semua warga diwajibkan berdiam diri, merenungi segala perbuatan jahat yang pernah dilakukan, dan berusaha memperbaiki, termasuk berdamai dengan sesama warga suku yang hubungannya kurang harmonis.
Berburu mencari rezeki
Kaum pria lengkap dengan kuda dan tombak mengikat kepalanya dengan kain putih, kemudian dengan menyandang parang di ikat pinggang pergi berburu babi hutan. Sebelum berangkat, mereka masuk rumah adat untuk memohon berkat dari leluhur agar dengan mudah mendapatkan babi dan terhindar dari kecelakaan.
Daging babi hutan yang didapat kemudian dibagikan kepada semua warga suku. Hal ini dianggap sebagai simbol rezeki, benih yang diberikan leluhur untuk kesuburan dan keselamatan suku. Semua orang harus menikmati. Darah, tulang, dan daging babi yang tersisa disiramkan ke benih jagung atau padi yang akan ditanam di ladang seusai Wula Poddu.
Apabila tidak berhasil menangkap babi berarti masih ada kesalahan atau aturan yang dilanggar. Mereka perlu menggelar ritual adat baru dengan memotong seekor ayam jantan, melihat bagian empedu, hati, jantung, dan usus ayam. Jika hasil penglihatan baik, berarti semua kesalahan sudah diampuni leluhur. Jika ada yang rusak, pembawa ayam harus mengakui kesalahan kemudian mengganti ayam.
Tiga hari sebelum perayaan puncak, setiap kampung mengantar beras dari hasil sawah atau ladang terbaik. Setiap kepala keluarga menyumbang 1-4 kilogram beras, kemudian dikumpulkan oleh para kepala suku. Pemberian terbaik untuk leluhur ini disebut wola wesa kowedha. Beras ini disucikan kemudian disimpan di periuk keramat yang hanya dipakai satu kali dalam setahun. Beras yang disucikan ini disebut wolla karu.
Dua hari menjelang hari puncak, beras dimasak dengan air yang diambil dari mata air. Setelah menjadi nasi, dimakan bersama seluruh suku. Tidak boleh satu butir pun nasi jatuh ke tanah. Hal ini sebagai simbol pemeliharaan diri, pembersihan, kesuburan, dan keutuhan hidup berkeluarga. Seusai makan nasi, ritual dilanjutkan dengan penyucian benda-benda keramat, seperti tambur dari kulit manusia serta alat-alat perang berupa tombak, pisau, parang, dan perisai peninggalan leluhur.
Puncak dari ritual Wula Poddu disebut Kelango. Acara puncak ditandai dengan menari dan bersyair tradisional sepanjang malam oleh para tetua adat sampai dini hari.
“Dalam agama Marapu (kepercayaan asli orang Sumba), Wula Poddu dipercaya sebagai bulan pembersihan, mengembalikan manusia ke asal-usulnya, hidup harmonis dengan alam dan leluhur. Fungsi alam dikembalikan melalui sejumlah ritual adat agar alam tidak murka, tetap memberi hasil kepada manusia, dan terjadi keharmonisan antara alam, manusia, dan hewan,” kata Rato Rumata dari Kampung Adat Tambera, Rato Yewa Lede Kodi.
Di tengah kehidupan manusia yang super sibuk serta mengumbar nafsu untuk memperkaya diri dengan tanpa memedulikan lingkungan sekitar, agaknya kearifan lokal Wula Poddu bisa membantu untuk mengerem keserakahan barang sejenak.