Hingga 1985, “unur” yang bertebaran di Kawasan Batujaya, Kabupaten Karawang, tak lebih dari gundukan tanah. Berkat jasa peneliti dan arkeolog, gundukan itu kini mewujud candi dengan beragam peninggalan berharga yang menyimpan kisah manusia masa silam pantai utara Jawa Barat.
Warga Batujaya menyebut gundukan-gundukan tanah yang tersebar di sekitar tempat tinggalnya dengan istilah unur atau lemah duhur (tanah tinggi). Sebutan unur juga mengacu pada reruntuhan bata yang menggunduk dan menyerupai sarang rayap di tengah hamparan sawah.
Sejumlah unur telah memiliki nama, seperti Unur Jiwa, Blandongan, Serut, Lempeng, Lingga, Asem, Damar, dan Gundul. Tak sedikit yang belum punya nama dan tersebar di hamparan seluas 5 kilometer persegi atau 500 hektar di wilayah Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, serta Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya. Wilayah ini berada sekitar 47 kilometer barat laut pusat kota Karawang.
Kaisin (73), juru pelihara kompleks Percandian Batujaya, warga Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, mengatakan, beberapa nama unur mengacu identifikasi warga terhadap tempat tersebut. Unur Jiwa, misalnya, disebut demikian karena sering ada domba atau kambing milik warga yang mati tanpa sebab jelas saat ditambatkan di lokasi ini. “Tahun 1960-an, satu dari dua ekor kambing saya mati di sini, seperti beberapa kali menimpa hewan gembalaan warga lain sebelumnya,” ujarnya.
Sementara nama Blandongan mengacu pada tempat berkumpul. Saat terjadi banjir akibat luapan Sungai Citarum, Unur Blandongan menjadi tempat berkumpul bagi warga. Lokasinya lebih tinggi daripada tanah di sekitarnya sehingga terbebas dari genangan banjir.
Situs Batujaya pertama kali ditemukan tim dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) tahun 1985. Sebelumnya, tim ini menerima informasi dari warga tentang keberadaan unur-unur yang berserak di Batujaya saat melanjutkan penelitian di Situs Cibuaya, tempat ditemukannya arca Wisnu I (tahun 1952), arca Wisnu II (1957), dan arca Wisnu III (1975), sekitar 15 kilometer di timur Batujaya.
Warga menginformasikan banyak menemukan bata berukuran besar di Batujaya yang terpendam di tanah atau menumpuk membentuk gundukan di tengah sawah. Jumlah reruntuhan bangunan mencapai lebih dari 20 buah dan tersebar di kompleks yang berjarak 500 meter dari Sungai Citarum itu.
Penelitian tim FSUI di Batujaya menemukan Candi Jiwa, bangunan bata berbentuk bujursangkar berukuran 19 meter x 19 meter dan tinggi 4,7 meter di atas permukaan sawah sekitarnya. Setelah bentuknya berhasil dimunculkan secara utuh, terlihat struktur bata dengan permukaan bergelombang dan bentuk melingkar yang menyerupai bunga teratai di bagian atas bangunan.
Tahun 1999 pemugaran berlanjut ke Candi Blandongan hanya beberapa meter dari Candi Jiwa. Bangunan utama Candi Blandongan yang berukuran 25 meter x 25 meter telah terlihat utuh sejak beberapa tahun lalu, tetapi penelitian dan pemugaran reruntuhan di sekitarnya masih berlangsung hingga kini.
Manusia awal sejarah
Kompleks Percandian Batujaya menyimpan beberapa temuan penting, di antaranya motif tablet berelief Buddha, fragmen prasasti tanah liat bertuliskan aksara Pallawa, tembikar, serta kerangka-kerangka manusia. Arkeolog Hasan Djafar menyebutkan, berdasarkan penentuan pertanggalan relatif dengan karbon C-14, kerangka-kerangka manusia ini diduga berasal dari tahun 150-400 Masehi atau sebelum masa candi tahun 650- 900 Masehi.
Pada awal Mei 2010, tim penggalian Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang menemukan enam kerangka manusia sekitar 50 meter di selatan Candi Blandongan dalam proyek pemugaran yang ke-11 tahun 2010. Enam kerangka itu mirip dengan “Jack the Ripper”, sebutan untuk kerangka manusia yang ditemukan Puslit Arkenas bersama Ecole Francaise d’Extreme-Orient (Perancis) di sekitar lokasi itu tahun 2005. Selain posisi kerangka membujur arah timur laut-barat daya, di dekat kerangka juga ditemukan gerabah yang diduga bekas kubur.
Sebagian arkeolog berpendapat kerangka-kerangka itu adalah pendukung budaya candi dan berasal dari rentang waktu yang sama. Sebagian arkeolog lain menilai kerangka dikubur sebelum ada candi atau dari awal sejarah.
Arkeolog Puslit Arkenas, Amelia Driwantoro, menyebutkan, kerangka-kerangka serupa pernah ditemukan di sejumlah lokasi di utara Karawang, seperti Desa Cikuntul, Kecamatan Tempuran; Desa Kendaljaya dan Dongkal, Kecamatan Pedes; Desa Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar; serta Desa Jayakerta, Kecamatan Jayakerta. Hampir di semua tempat itu ditemukan bekas kubur, termasuk tembikar dengan kemiripan corak khas Buni yang diperkirakan berkembang pada abad kedua Masehi. Nama Buni mengacu pada tempat tembikar serupa ditemukan di Buni, Bekasi, dan dicatat sebagai temuan arkeologi.
Wisata
Penelitian, penggalian, dan pemugaran unur-unur di Kompleks Percandian Batujaya masih jauh dari selesai. Namun, dengan candi, reruntuhan bangunan dan benda-benda purbakala yang ditemukan, semua itu memiliki potensi wisata edukasi dan sejarah yang luar biasa.
Sejak 2004, Situs Batujaya memiliki gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya yang berdiri di lahan seluas 1.500 meter persegi, berjarak sekitar 600 meter dari Candi Jiwa. Bangunan ini memiliki ruang utama berukuran 6 meter x 9 meter dengan beberapa kotak kaca untuk memamerkan benda-benda cagar budaya.
Gedung itu kini direhabilitasi, dan penambahan ruang oleh pemerintah daerah. Namun, kapasitasnya dinilai belum mewadahi ratusan benda hasil penggalian yang masih menumpuk di ruang informasi dan gudang. Gedung juga dinilai belum bisa menampung pengunjung yang terkadang mencapai puluhan hingga ratusan orang dalam sekali kunjungan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karawang Acep Jamhuri menyatakan, pemerintah daerah menetapkan Kompleks Percandian Batujaya sebagai satu dari 11 kawasan pengembangan wisata Karawang. Kompleks itu juga diusulkan jadi kawasan strategis nasional.
Pengembangan Situs Batujaya mengalami kendala, terutama terkait pengelolaan yang melibatkan pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat. Satu dan lainnya saling terkait sehingga harus melalui proses penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan yang matang. Upaya memperluas bangunan museum, misalnya, menunggu hasil penelitian dan pemetaan sehingga tidak merusak benda yang dimungkinkan berada di bawahnya. (CORNELIUS HELMY DAN M KURNIAWAN)