Anda tertarik batuan purba yang usianya lebih dari 25 juta tahun? Batuan kapur yang terbentuk dari laut dangkal sekitar 25-30 juta tahun lalu itu masih ada di Sanghyangpoek, Sanghyangtikoro, dan Sanghyangkenit, di Sungai Citarum purba yang kini masuk kawasan Unit Pembangkit Listrik Saguling, Jawa Barat.
Sanghyangpoek (poek artinya gelap, Dewa Kegelapan, karena bagian dalam gua sangat gelap). Tikoro artinya tenggorokan, Dewa Tenggorokan karena begitu air masuk ke gua ini seperti masuk ditelan bumi. Sanghyangkenit adalah Dewa Selendang.
Ketiga dewa itu, menurut legenda masyarakat Sunda buhun, berada di sepenggal Sungai Citarum sepanjang 7 kilometer yang masih bersih dengan pesona lingkungan yang indah, hijau lestari.
Ketika matahari Sabtu (9/4) siang agak menyengat, dua petani pisang penuh riang, mandi bertelanjang di lubuk (leuwi) dangkal berair jernih yang mengalir di sela-sela batuan besar Sungai Citarum. Dasar sungai berpasir jernih terlihat jelas, lengkap dengan binatang air yang ikut berenang di sela-sela batu. Binatang ini merupakan indikator bahwa air itu masih bersih.
Pikulan pisang disimpan sembarang di pinggir sungai. Aman, karena daerah tertutup ini jarang dimasuki orang luar. “Tiap dua minggu kami panen pisang sekitar 60-70 kilogram seharga Rp 1.250 per kilogram,” ujar Tadjudin (44), petani pisang warga Desa Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat.
Tanah garapan Tadjudin bersama 40-an tetangganya berada di hutan Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, yang merupakan kawasan jati Perum Perhutani Unit III Jabar-Banteng. Untuk mencapai lahan itu, Tadjudin harus berjalan sejauh 15 kilometer selama 2 jam. Mereka menanami lahan itu secara tumpang sari di sela-sela pohon jati Perhutani yang sedang tumbuh. Mereka menjaga pohon utama itu dari berbagai gangguan, termasuk penjarahan kayu.
Sebagian besar tanaman petani yang tumbuh di kawasan hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum adalah pisang ambon. “Kami sudah 15 tahun menanami lahan itu,” ujar Bah Ohan (66) seraya menunjuk sederetan tanaman jati yang diameternya rata-rata sebesar tangan orang dewasa.
Memberi kehidupan
Bah Ohan, Tadjudin, maupun petani penggarap lainnya masing-masing memiliki binatang peliharaan pemakan rumput. Tadjudin memiliki 20 kambing yang rumputnya setiap hari secara mudah bisa diperoleh di sisi-sisi Sungai Citarum. Setahun sekali Tadjudin panen raya kambing yang dijual menjelang Idul Adha. Saat itu harganya sedang tinggi karena diperlukan untuk hewan kurban. “Ketiga anak saya biaya sekolahnya dari hasil jual kambing,” ujarnya seraya menunjuk anak pertamanya yang baru lulus SMA. Alam yang terpelihara telah memberikan kehidupan kepada warga desa itu terus-menerus.
Malah 30-40 tahun lalu atau sebelum kawasan industri (tekstil) berkembang di Majalaya dan Dayeuhkolot di Kota Bandung, sekitar 50 kilometer hulu Saguling, Citarum purba di kampung Tadjudin berair jernih dan sering dijadikan sumber air minum langsung. “Kami pergi ke tengah sungai lalu membenamkan lodong (potongan bambu sepanjang 2 meteran). Air itu langsung kami minum atau digunakan untuk menanak nasi,” kenangnya.
Akan tetapi setelah Citarum tercemar, menurut Tadjudin, warga di sana menderita. “Jangankan untuk minum, jika kulit kena air Citarum sekarang bisa gatal,” ungkap Tadjudin.
Meski demikian, sisa-sisa kejayaan sungai purba ini masih ada, yakni di sepanjang tujuh kilometer antara Bendung Saguling dan Power House, Saguling. Ini karena bendung Saguling menutup arus Citarum untuk dialirkan ke turbin. Setelah memutar turbin berkapasitas 700-1.400 megawatt itu, air Citarum yang mengalir dari hulunya di Gunung Wayang, Bandung Selatan, dikeluarkan kembali ke Citarum di Sanghyangtikoro, di bawah turbin.
Citarum lama ini hanya dipasok oleh selokan-selokan kecil yang mengalir dari mata air-mata air di sekitar hutan kawasan ini. Di sepanjang alur ini ribuan batu besar-kecil yang memenuhi sungai masih berwarna abu-abu batuan asli. Gemericik air mengalir terus-menerus menambah indahnya panorama alam sisa-sisa ujung barat danau Bandung purba itu.
Namun, lima ratus meter di hilir Sanghyangpoek, warna ribuan batuan itu berwarna kuning busuk karena mendapat aliran air dari air Citarum yang sudah tercemar. Jika air di sekitar Sanghyangpoek warnanya bening dan bersih, setelah Sanghyangtikoro ke hilir melewati Sanghyangkenit, airnya kotor, penuh bermacam-macam sampah, terutama plastik.
Keragaman bumi
Ketiga fenomena alam zaman baheula ini berlokasi di Desa Rajamandala, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang langsung berbatasan dengan Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur. Jika Sanghyangtikoro berada di sekitar pembangkit Saguling sebagai pusatnya, jari-jarinya sekitar 500 meter ke hulu adalah Sanghyangpoek dan ke hilir 500 meter adalah Sanghyangkenit.
“Ini merupakan keragaman bumi yang sangat indah dan mengandung nilai keilmuan yang tinggi,” ungkap T Bachtiar, penulis yang juga anggota Masyarakat Geografi Indonesia dari Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Pada zaman kolonial, kawasan ini sudah dijadikan daerah tujuan wisata orang-orang Belanda, seperti yang tertulis dalam buku panduan wisata tahun 1927, Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, door SA Retsna en WH Hoodland. Pada awalnya gua kapur dua lorong sepanjang 25 meter ini merupakan sungai purba bawah tanah saat Citarum belum dibendung Saguling.
Menurut Bachtiar, batu kapur ini di Sanghyangpoek terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) yang larut dalam air dan menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Air Sungai mengasah dan melarutkan batu kapur dari sisi sungai, menghasilkan bentukan yang oleh penggemar arung jeram disebut undercut. Kemudian jadi sungai bawah tanah yang berpadu dengan pelarutan dari atas, maka lengkaplah proses pembentukan gua menjadi sungai bawah tanah karena air mengalir ke dalam gua.
Kini Sanghyangpoek sudah tidak menjadi sungai bawah tanah sehingga dengan mudah dapat ditelusuri lorong-lorongnya. Di beberapa titik, tetes-tetes air masih melarutkan batu kapur yang berarti proses pelarutan batu kapur masih berlangsung. Karena itu proses pembentukan stalaktit, bentukan yang menggantung di langit-langit gua, dan stalagmit, bentukan alamiah di dasar gua, ataupun bentukan dindingnya masih terus berlangsung.
Di lorong-lorong gua yang tidak terlalu panjang, tersajikan pesona alam yang luar biasa indah. Di pinggirnya, gemericik air bening, bersih mengalir abadi, bertautan dengan suara burung yang beterbangan di antara hijaunya pepohonan. Nyanyian alam itu begitu syahdu, merdu walaupun hanya berlangsung di sepenggal alur Citarum lama.
Di luar kawasan ini gemuruh air Citarum sepanjang 269 kilometer bernada serak, sumbang, dan mengerikan. Sejumlah bahan kimia berbahaya, terutama logam berat, telah mencemari sungai purba ini sejak hulu hingga muaranya di Laut Jawa. (DEDI MUHTADI)