Orang Madura selalu terbuka terhadap pendatang, termasuk pendatang Tionghoa ataupun peranakan Tionghoa. Kehadiran peranakan Tionghoa ini tak hanya memberi sentuhan pengaruh Tionghoa pada budaya Madura, tetapi juga membubuhkan cita rasa baru pada masakan madura. Maka, lahirlah kuliner peranakan atau babah nyonya di Madura.
Bukti keterbukaan menyambut orang asing itu bisa dilihat pada kolom jumlah penduduk dalam buku The History of Java karya Thomas Stamford Raffles. Pada 1800-an, jumlah orang Tionghoa dan peranakan Tionghoa di Madura tercatat 3,6 persen dari total penduduk. Jumlah ini hanya kalah dari Batavia.
Keeratan hubungan antara pendatang Tionghoa dan orang Madura kentara dalam keseharian hidup. Tak pernah ada gejolak, apalagi kerusuhan. Masuknya orang Tionghoa juga memperkaya hadirnya masakan baru. Apalagi, cara memasak tradisional Madura cenderung hanya mengenal proses rebus dan bakar.
Lewat Rumah Makan 17 Agustus, pemerhati budaya Madura, Edhi Setiawan, dengan nama Tionghoa Phwa Tiong Sien, menjadi salah satu peranakan Tionghoa yang setia menyajikan resep babah nyonya di Sumenep. ”Kami mempertahankan resep babah nyonya. Asal-usul masakannya adalah masakan madura yang disempurnakan,” kata Edhi yang telah sembilan generasi tinggal di Madura.
Resep babah nyonya ternyata cocok dengan lidah lokal. Pada 1957, ayahanda Edhi melihat peluang membuka restoran ketika menyaksikan keramaian orang pada saat pergelaran upacara kemerdekaan di Lapangan Sumenep. Rumah makan yang kini diwarisi dan dikelola Edhi dan istrinya, Trisnadewi, itu segera menarik pelanggannya ketika dibuka pertama kali seusai keramaian upacara 17 Agustus 1957.
Saking gandrungnya dengan gurih legit masakan peranakan di Rumah Makan 17 Agustus ini, selama dua hari di Sumenep, tim Selisik Batik Madura sampai tiga kali bersantap di restoran tersebut. Menu primadona kami adalah lontong cap go meh dengan kaldu gurih kental yang memang bakal bikin lidah ketagihan.
Adaptasi makanan
Lontong cap go meh menjadi salah satu menu yang mencerminkan adaptasi masakan Tionghoa dengan budaya lokal. Resepnya diwarisi turun-temurun. ”Lontong cap go mehnya saja, kan, lain. Babah nyonya datang ke Indonesia bawa budaya sendiri. Bahan dasar masakan yang tersedia beda. Lontong cap go meh ini bukan murni Tiongkok,” tutur Edhi.
Sepiring lontong cap go meh sudah bisa membangkitkan selera dari aroma harum kaldunya. Lontong yang merupakan makanan khas Indonesia dipadukan dengan opor ayam, pindang telur, hati sapi, dan sambal. ”Masakan babah nyonya menang di kaldunya. Kaldu fanatik enggak boleh ditambah air,” kata Edhi.
Berbeda dengan lontong cap go meh di Jawa, lontong cap go meh di Rumah Makan 17 Agustus disajikan tanpa sayur lodeh. Trisnadewi menyebut orang Madura tidak suka makan sayur kala bersantap di restoran. Karena tuntutan konsumen itu, lontong cap go meh hadir tanpa racikan sayur. Lontong cap go meh biasanya disantap keluarga Tionghoa 15 hari setelah Imlek pada perayaan Cap Go Meh.
Menu babah nyonya lain yang menjadi andalan adalah rawon yang diolah tanpa keluak. Peranakan Tionghoa awalnya berjumpa dengan rawon yang kaldunya tampak kotor oleh bumbu keluak, lalu ”dibersihkan” sehingga tampak bening segar. Rawon dengan potongan daging sapi disajikan di atas nasi dengan tambahan kecambah kacang hijau.
Dalam resep babah nyonya, kaldu gulai diolah tanpa santan. Berbeda dengan gulai di Jawa yang diisi dengan aneka jeroan, gulai babah nyonya hanya diberi olahan daging dan tulang rusuk sapi. Lezatnya kaldu peranakan juga bisa dicecap dengan memesan sop buntut. Sebelum disajikan, kaldu terlebih dulu disaring.
Kedatangan pertama
Trisnadewi membuka restoran mulai pukul 08.00 hingga pukul 20.00. Rumah Makan 17 Agustus juga menghidangkan minuman istimewa, yaitu soda gembira, yang sudah hadir di restoran tersebut sejak 1960.
Tak hanya menyajikan masakan berat, Rumah Makan 17 Agustus sekaligus menjual camilan khas Madura, seperti emping teki yang terbuat dari umbi rumput teki, keripik gayam dari buah gayam, rengginang lorjuk (sejenis kerang laut), kerupuk terung laut, petis ikan, serta kerupuk ikan dari pelabuhan-pelabuhan ikan seperti Talango, Dungkek, Sepudi, dan Marengan.
Dari pelabuhan-pelabuhan itu, leluhur orang Tionghoa mulai menapakkan kaki di Madura. Konon, leluhur Edhi masuk pertama kali lewat Pelabuhan Dungkek. Dung berarti ’pertama’, sedangkan kek adalah ’tamu’. Bahasa Hokkian itu bermakna ’tamu pertama’. Pelabuhan yang aslinya bernama Panjurangan itu kini dikenal sebagai Dungkek.
Dalam perjumpaan dengan Claudine Salmon yang menulis ”The Han Family of East Java: Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)”, Edhi yang memiliki ibu bermarga Han, yaitu Han Tjieo Nio, baru tahu bahwa marga Han yang mendarat di Sumenep masih bertalian darah dengan keturunan Jenderal Han yang tiba di pelabuhan tua Lasem dan Surabaya.
Edhi lalu mengantar sejarawan asal Perancis itu ke makam leluhurnya di Taposan, 5 kilometer dari kota Sumenep. Di makam kuno itu terdapat banyak nisan dengan syair Tionghoa kuno. ”Makam leluhur saya ada di puncak bukit. Awalnya enggak sadar, ternyata Ta bermakna ’besar’, Po adalah ’harta’, San ’gunung’. Dulu Sumenep masih sepi, ini tanah terpilih,” ujar Edhi.
Leluhur Edhi pertama kali datang ke Madura pada 1700-an, terlihat dari makam tertua leluhurnya yang berangka tahun 1776. Cerita serupa tentang masuknya orang-orang Tionghoa di Dungkek juga dikisahkan budayawan Madura, KH Zawawi Imron, yang juga peranakan Tionghoa. Menurut Zawawi, Dungkek menjadi salah satu titik pelarian orang Tionghoa ketika terjadi Geger Pacinan pada 1740-1743.
Selalu ada sejarah kuno Tionghoa dalam sepiring masakan babah nyonya yang tak terkira lezatnya.