Pulau Madura tergolong kecil dengan panjang hanya 160 kilometer dan lebar 40 kilometer. Dengan demikian, Madura memiliki banyak pantai dengan keunikannya masing-masing. Bahkan, jika ingin berkunjung ke tiga pantai berbeda dalam sehari pun, bakal terkabul. Menikmati pantai-pantai di Madura semakin istimewa ketika gerhana matahari sebagian mengintip lautnya pada Maret lalu.
Selama tujuh hari di Madura, tim Selisik Batik Madura sampai bisa berkunjung ke tujuh pantai berbeda. Kunjungan ke pantai biasanya diagendakan pada pagi hari sebelum matahari terbit. Menikmati matahari terbit sekaligus memandang kesibukan nelayan atau pelaut di pagi hari menjadi pemandangan yang menenteramkan.
Terkhusus ketika gerhana matahari terjadi pada 9 Maret lalu, kami bersiap menuju Pelabuhan Kamal di Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, sembari berharap langit cerah. Pada momentum gerhana matahari total yang hanya bisa disaksikan di Indonesia itu, Pulau Madura kebagian fenomena gerhana matahari sebagian pada pagi hari.
Berbekal kamera yang sudah dilindungi dengan filter natural density—agar tidak terbakar cahaya matahari—rekan fotografer dan videografer bersemangat mengabadikan kejadian langka itu. Ternyata, kami tak sendiri. Sebelum Matahari terbit, puluhan orang sudah berdiri mematung di tepian Pelabuhan Kamal. Tampak pula satu keluarga dengan kamera lensa panjang siap mengabadikan gerhana.
Hangatnya matahari pagi yang berwarna keemasan segera kami rasakan ketika Matahari mulai terbit. Perlahan, suasana berubah menjadi seperti sore hari ketika sinar matahari terhalang bulatan Bulan. Melongok dari lensa kamera berfilter atau dengan kacamata gerhana, kami menyaksikan Matahari tampak ”kerowak”. Sedikit demi sedikit bulatannya berubah serupa bulan sabit. Tak sampai tertutup sempurna, perlahan Matahari kembali ke bentuk normalnya.
Udara pagi yang dingin lalu hangat dan suasana pantai yang tak begitu ramai membuat pikiran terasa tenang. Duduk-duduk di tepian pelabuhan, beberapa kapal berbagai ukuran, mulai dari perahu tradisional hingga kapal tanker, tampak berlalu lalang. Beberapa kapal masih menyalakan lampu kelap-kelip. Dari kejauhan, Jembatan Suramadu yang menghubungkan Madura dengan Pulau Jawa tampak samar muncul di antara kabut.
Sebelum Jembatan Suramadu beroperasi pada 2009, Pelabuhan Kamal adalah gerbang utama penyeberangan yang menghubungkan Madura dan Jawa. Jarak tempuh dari Pelabuhan Kamal menuju Pelabuhan Ujung Kota Surabaya sekitar 30 menit dengan feri melintasi Selat Madura. Sejak beroperasinya Jembatan Suramadu, dari beberapa kapal besar, hanya tinggal belasan kapal berukuran kecil.
Libur melaut
Dari Pulau Jawa, Madura hanya dipisahkan oleh selat dangkal 4 kilometer. Ditinjau dari sudut geologi, pulau ini merupakan kelanjutan sistem pegunungan kapur utara sehingga tulang punggungnya adalah perbukitan berkapur. Bahan induk tanah adalah batu kapur, batu pasir, dan batu endapan yang di sela-sela oleh endapan pasir dan endapan liat.
De Jonge 1989 seperti dikutip dalam buku Manusia Madura karya Prof Mien Ahmad Rifai menyebut sungai panjang dan besar tidak ada di Madura. Sumber air untuk pertanian merupakan sumber langka. Sebagai suku bangsa yang terkenal sanggup hidup abbantal omba asapo angen (berbantal ombak berselimut angin), menjadi nelayan merupakan mata pencarian hidup penting orang Madura yang hidup di daerah pesisir.
Orang Madura sudah menjadi pelaut sejak zaman kuno. Drs Abdurachman dalam buku Sedjarah Madura menyebutkan, legenda tentang penduduk pertama Madura berasal dari laut yang diberi nama Raden Sagoro atau Pangeran Laut, cucu Raja Mendangkamulan. Agama Islam di Madura disebarkan oleh Sunan Giri. Akan tetapi, sebelumnya sudah banyak pedagang Islam, seperti dari Gujarat, yang singgah di pelabuhan-pelabuhan di Pulau Madura.
Dari Pelabuhan Kamal di pagi hari, pada sore harinya kami berpindah merekam Matahari terbenam di Pantai Banyusangkah, Tanjungbumi. Pantai Banyusangkah menawarkan pemandangan berbeda sebagai tempat pendaratan ikan terbesar di Kabupaten Bangkalan. Suasana sunyi di pantai membuat kami bertanya-tanya. Seorang nelayan dengan ringan menjawab, ”Sekarang sedang holiday karena Matahari sedang sakit.”
Sebagian nelayan di Banyusangkah memang bisa berbahasa Inggris karena lama bekerja sebagai anak buah kapal di kapal pesiar yang berlayar ke negara-negara asing, seperti Amerika dan Eropa. Meski tak ada nelayan yang melaut, beberapa sibuk memperbaiki jala, menjemur ikan, dan sebagian lainnya mengawetkan ikan dengan mencelupkannya pada sekarung garam. Memandang Matahari tenggelam di Banyusangkah semakin mengasyikkan karena perahu-perahu tradisionalnya berhias dengan bendera aneka negara.
Laut dan puisi
Tak jauh dari Pantai Banyusangkah, dengan hanya lima menit perjalanan naik mobil, kami sudah tiba di Pelabuhan Telaga Biru atau juga dikenal sebagai Pelabuhan Sarimuna di Tanjungbumi. Berbeda dengan Banyusangkah yang dihuni nelayan, pantai ini menjadi pusat perdagangan sapi antarpulau dengan pelaut ulung yang berlayar hingga berbulan-bulan.
Di Pelabuhan Telaga Biru ini juga terdapat kapal peninggalan Ulama Besar Madura Syaichona Moh Cholil. Perahu yang dibuat pada abad ke-18 itu pernah digunakan untuk menyebarkan agama Islam ke sejumlah daerah di Nusantara. Saat ini, perahu disimpan di sebuah ruangan di tepi pantai dan bagian dalamnya sering kali dipakai untuk sembahyang warga sekitar.
Pantai-pantai lain yang tak kalah unik dan tentu saja indah adalah Pantai Lombang di Sumenep dengan hamparan pasir putihnya. Tak jauh dari Pantai Lombang, kami menikmati sore di Pelabuhan Dungkek yang menjadi tempat pendaratan pertama pendatang dari Tiongkok. Sekadar berjalan-jalan di pasirnya sembari menghirup segar udara atau mencecap kelapa mudanya membuat hati tertaut pada Madura.
Apalagi, di tengah debur ombak itu, kami mendengarkan budayawan Madura, KH Zawawi Imron, membacakan puisi tentang Madura. ”Bila musim labuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam, kunyalakan otakku. Lantaran aku adalah sapi karapan, yang menetas dari senyum dan airmatamu. Aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan dan memetik bintang-gemintang. Di ranting-ranting roh nenek moyangku, di ubun langit kuucapkan sumpah – Madura, akulah darahmu.”