Fisik Ramelan (80) memang tak sekuat dulu. Namun, ingatannya masih tajam, apalagi jika mengisahkan keberadaan Stasiun Samarang, Jawa Tengah, stasiun pertama di Tanah Air. Dia tak hanya mantan pegawai, tetapi juga mendiami bekas peron stasiun atau disebut Asrama Spoorland, yang setiap tahun dia uruk karena rob.
Asrama Spoorland berada di sisi kanan Jalan Ronggowarsito menuju gerbang Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Bangunan itu merupakan sisa Stasiun Samarang sayap selatan yang dibangun pada 1864.
Selama berpuluh-puluh tahun ada rujukan dua lokasi lain yang disebut sebagai stasiun kereta api pertama di Indonesia. Keduanya adalah Stasiun Kemijen dan Stasiun Semarang Gudang, yang lokasinya berdekatan dengan Stasiun Samarang di Kelurahan Kemijen, Semarang Timur.
Ramelan adalah penunjuk bukti keberadaan Stasiun Samarang bagi kelompok pencinta kereta api Indonesian Railway Preservation Society Koordinator Wilayah Semarang. Mereka mencoba menelusuri titik awal stasiun kereta api pertama pada 2009. Keyakinan Ramelan berdasarkan pada buku yang dimilikinya tahun 1960-an. Waktu itu, dia bekerja di Stasiun Semarang Gudang. Namun, buku itu dipinjam temannya dan tak pernah dikembalikan.
”Saya belajar di Vervolgschool di Blora sampai kelas V. Ceritanya panjang sampai saya menjadi pegawai di Stasiun Semarang Gudang, juga sebagai teknisi gerbong kayu, sebelum menetap di Asrama Spoorland sejak tahun 1950-an,” ujar Ramelan saat ditemui di rumahnya, Asrama Spoorland, RT 002 RW 003, Kelurahan Kemijen, Kamis (20/2).
Rumah Ramelan berlantai dua. Dia harus membungkukkan badan setiap masuk-keluar pintu rumah lantai pertamanya yang terus ditinggikan karena rob (limpasan air laut).
Seingat Ramelan, ia lahir tahun 1928. Namun, angka itu berbeda dengan tahun kelahiran pada surat pensiunnya sebagai pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api Daerah Operasi IV Semarang, yakni tahun 1934. ”Itu dibuat lebih muda supaya bisa mengikuti ujian masuk pegawai.”
Vervolgschool adalah pendidikan dasar untuk orang pribumi pada masa Hindia Belanda. Ramelan mengenyam pendidikan SD hingga kelas V. Beberapa tahun dia berhenti sekolah sampai terjadi peristiwa pembunuhan warga di Blora oleh tentara Belanda.
”Adik saya, Suparlan, menjadi korban pembunuhan itu. Saya menyelamatkan diri dan kabur dengan berjalan kaki ke Kudus. Selama empat hari saya melintasi hutan,” katanya.
Agresi militer
Peristiwa pembunuhan di Blora itu diperkirakan terjadi pada masa Agresi Militer Belanda I, yaitu 21 Juli 1947-5 Agustus 1947. Pasukan Belanda menyerang sejumlah daerah di Pulau Jawa untuk menguasai kembali daerah perkebunan penting, termasuk Blora yang menyimpan kayu jati.
Adapun Agresi Militer Belanda II pada 19-20 Desember 1948 ditandai dengan penyerangan dan penangkapan para pemimpin pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta.
Suparlan, adik Ramelan, waktu itu bekerja di kantor kepala desa. Keluarganya menjadi incaran tentara Belanda. Ramelan menetap di rumah kakak perempuannya di Kudus sekitar sebulan.
”Saya meminta kakak membuatkan surat keterangan kelurahan untuk mencari pekerjaan di Semarang. Waktu itu, kantor kelurahan ada di selatan Pasar Kudus,” ujarnya.
Selama di Kudus, dia membantu memelihara ternak sapi dan gerobak milik mertua kakaknya. Ramelan sempat pula ditawari menjadi menantu, tetapi dia tolak dengan alasan ingin ke Semarang mencari pekerjaan.
Ramelan meninggalkan Kudus dengan berjalan kaki ke Semarang. Saat memasuki Semarang dan melintasi Jembatan Kaligawe, dia dicegat tentara Belanda. Dia berhasil melewati jembatan setelah menyamar sebagai pencari rumput pakan ternak. ”Ada orang memberi tahu agar saya membawa rumput,” kata Ramelan mengenang.
Ramelan pun tiba di Kampung Blusuk, Kelurahan Kemijen. Dia mendatangi rumah carik (sekarang disebut sekretaris desa) dan menunjukkan surat keterangan yang dibawanya dari Kudus.
Keesokan harinya, dia melamar kerja sebagai tukang kayu di Kemijen. Ramelan diterima bekerja di perusahaan bubut kayu untuk wadah obat gosok. ”Sejak awal saya memang suka menjadi tukang kayu,” ujarnya.
Tukang kayu
Saat menjadi tukang kayu itulah Ramelan menikahi Aminah yang rutin mengantarkan makanan dari majikan untuk dia. ”Aminah waktu itu berumur sekitar 13 tahun. Saya menikah di Kampung Petempen Selatan, Semarang Tengah,” cerita Ramelan.
Dari keterampilannya menukang, Ramelan mulai dikenal banyak orang. Salah satunya adalah Sukini, pegawai Djawatan Kereta Api yang menjadi pengawas teknik gerbong kereta api di Stasiun Semarang Gudang. Sukini kemudian menawari dia bekerja di stasiun itu.
Dia lalu pindah bekerja di Stasiun Semarang Gudang. Tugas Ramelan adalah merawat gerbong-gerbong kereta api yang terbuat dari kayu.
”Waktu itu, saya mau diajak bekerja di stasiun karena sebagai pegawai saya bisa ikut ke mana-mana menumpang kereta api tanpa membayar,” katanya.
Sepuluh tahun bekerja, dia diminta mengikuti ujian masuk sebagai pegawai tetap Djawatan Kereta Api. Ramelan lulus. ”Waktu itu, saya diuji di Balai Yasa Pengapon, tak jauh dari Stasiun Semarang Gudang. Sekarang Balai Yasa itu dikelilingi rawa.”
Beberapa hari kemudian, dia kembali diminta ujian teknik di Balai Yasa Pengok, Yogyakarta. ”Kalau dulu, ujiannya langsung praktik. Selama 10 hari saya diuji mengecor kuningan lalu digabungkan dengan timah,” ceritanya.
Tak mudah menggabungkan cor-coran logam kuningan dan timah. Namun, kedua bahan itu diperlukan untuk menahan gesekan roda kereta api. Ramelan berhasil dan lulus.
Berbekal keterampilan itu, Ramelan kembali ke Stasiun Semarang Gudang dengan jenjang kepangkatan naik menjadi pengatur muda. Dia juga dibantu beberapa anak buah. Berbekal keterampilan dan pengalaman sehari-hari, Ramelan semakin memahami soal perkeretaapian.
Ditambah buku pemberian temannya di Stasiun Semarang Gudang sekitar tahun 1960, Ramelan semakin memahami ikhwal sejarah Stasiun Samarang. Oleh karena itulah, dia bersaksi, Stasiun Samarang adalah stasiun pertama yang dibangun di Indonesia.
Jalur rel kereta api yang pertama dibangun menghubungkan Stasiun Samarang-Tanggung sepanjang 25 kilometer. Kesaksiannya diperkuat penjelasan dalam buku Spoorwegstations op Java tulisan Michiel van Ballegoijen de Jong (Amsterdam, 1993).
”Saya pernah melihat rel kereta api dari Stasiun Samarang ke timur, arah ke Tanggung, tetapi sekarang semua itu terkubur tanah,” katanya.