Sisa baja bekas rel menyembul dari bawah fondasi rumah. Menara air untuk memasok lokomotif uap dikepung bangunan warga. Bahkan, pintunya ditutup tembok rumah, sedangkan bekas stasiunnya terkunci rapat dan melapuk. Itulah gambaran stasiun kereta api Ciwidey di Bandung Selatan dan jejaring relnya, yang dulu menjadi urat nadi ekonomi kawasan perkebunan ini.
Stasiun Ciwidey merupakan ujung dari jalur kereta api di Bandung Selatan, Jawa Barat, yang menghubungkan Ciwidey ke Cikudapateuh sepanjang 39 kilometer. Jalur ini dibangun perusahaan milik Pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS), pada 1889 sebagai penopang sistem tanam paksa (cultuurstelsel).
Kereta dibutuhkan terutama untuk mengangkut hasil perkebunan dari pedalaman Priangan ke pelabuhan sebelum dikirim ke Eropa. ”Pada zamannya, jalur kereta ini cukup padat,” kata Aditya Dwi Laksana dari Kereta Anak Bangsa yang menemani perjalanan susur rel bersama rekannya, Gurnito Rakhmat Wijokangko.
Aditya merujuk pada Jadwal Perjalanan Kereta Api tahun 1931, yang diambil dari Officieele Reisgids der Spoor en Tramwegen en Aansluitende Automobieldiensten op Java en Madoera. Penumpang dari arah Bandung untuk tujuan arah Ciwidey harus berpindah kereta di Dayeuhkolot. Pada arah sebaliknya, penumpang dari arah Ciwidey tujuan Bandung juga berganti kereta di Dayeuhkolot.
Dari Bandung ke Dayeuhkolot, orang bisa menggunakan rute Bandung-Majalaya yang dalam satu hari dilayani lima kali perjalanan pergi-pulang. Adapun untuk perjalanan Dayeuhkolot-Ciwidey pergi pulang, dalam satu hari, terdapat enam kali perjalanan. Waktu tempuhnya rata-rata 1 jam 45 menit.
Menurut Gurnito, selain membawa penumpang, jalur ini juga membawa aneka komoditas yang diproduksi di Bandung Selatan, terutama kayu pinus, pupuk, belerang, dan teh.
Jalur mati
Hingga 1970-an, jalur kereta Ciwidey ke Cikudapateuh masih menjadi urat nadi angkutan, baik penumpang maupun aneka komoditas. ”Waktu kecil, saya sering ikut tangsi. Saat disunat di Cangkuang dulu juga naik kereta,” ujar Caca Caryana (56), warga Desa Ciwidey, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Namun, pada 1982, jalur ini ditutup seiring dengan penutupan banyak lintas cabang kereta api lainnya di Indonesia karena ada kebijakan pembangunan yang memprioritaskan angkutan jalan raya. Sejak itu, aset-aset kereta api di jalur ini dikuasai masyarakat. Tanah-tanah di sekitar rel, bahkan di atas bekas rel, didirikan rumah.
”Selama ini, ya, asal pakai saja. Baru kemaren ada orang dari PT KAI (Kereta Api Indonesia) yang mendata dan meminta uang sewa Rp 5.000 per meter. Warga menawar Rp 3.000 per meter. Sekarang belum ada keputusan,” ujar Caca.
Sebagian besar rel menghilang, ditimbun untuk fondasi rumah atau ditutup aspal. Bangunan-bangunan stasiun beralih menjadi pasar dan sebagian lagi menjadi gedung kosong.
Sebagian dari jembatan rel ditutupi aspal untuk pelintasan sepeda motor. Konstruksi jembatan yang masih kokoh ini menjadi daya tarik wisata, bahkan menjadi lokasi pemotretan prewedding. Seperti pada Selasa (7/6) pagi, di atas jembatan Sungapan, di Desa Dahu, Kecamatan Soreang, sepasang calon pengantin tengah bergaya dalam bidikan fotografer.
Calon pengantin itu adalah Abdul Reza (28) dan Fitriani (24) yang berasal dari Cianjur, 60 kilometer dari Jembatan Sungapan. Mereka memilih lokasi tersebut karena dianggap eksotis.
Pagi itu pula turis Nicky van Loef dan Marloes van den Heuvel datang jauh-jauh dari Belanda untuk berfoto diri. ”Jembatan ini ada di Lonely Planet. Kemudian, kami mencari lebih banyak informasi di internet,” ujar Nicky. ”Dulu, jalur ini pasti eksotis karena melewati alam yang indah.”
Saat ini, jalur kereta Ciwidey-Cikudapateuh sebenarnya masih sangat dibutuhkan, terutama untuk melayani angkutan komuter, selain juga untuk komoditas pertanian. Hingga sekarang, Ciwidey masih merupakan salah satu sentra perkebunan utama di Bandung dengan hasil berupa teh dan kopi.
Ciwidey sekarang tumbuh menjadi kawasan wisata populer dengan daya tariknya seperti Kawah Putih, perkebunan teh Rancabali, perkebunan stroberi, dan bumi perkemahan Ranca Upas. Di sepanjang jalur ini tumbuh pula pabrik-pabrik baru. Perumahan baru pun tumbuh memadat mengikuti jalur jalan raya Bandung-Ciwidey.
Beban angkutan jalur Bandung-Ciwidey yang hanya ditopang oleh jalan raya menjadi sangat berat. Jalur itu dikenal sebagai titik kemacetan, terutama saat jam bubaran pabrik. Belum lagi, jalur vital ini juga langganan terputus karena dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Citarum.
Di tengah situasi ini, upaya menghidupkan kembali jalur kereta Ciwidey–Cikudapateuh menjadi sangat penting. Berdasarkan Peta Rencana Jaringan KA di Pulau Jawa, sebagaimana tertera dalam Rencana Induk Perkeretapian Nasional 2030, terlihat bahwa jalur Bandung-Ciwidey dan Majalaya akan menjadi jalur yang diaktifkan kembali maksimal pada 2030. ”Aktivasi kembali kereta api di selatan Jawa ini layak dinantikan, terutama untuk komuter,” kata Aditya.