Susur Rel 2016

Susur Rel: Jejak Tersisa Dipo Pasar Butung * Liputan Khusus Susur Rel 2016

·sekitar 4 menit baca

Hasanuddin (49) tidak serta-merta meyakini bangunan Dipo Pasar Butung itulah yang kini dijadikan masjid di kampungnya. Keraguannya sirna tatkala ia teringat cerita para tetua dan melihat sendiri bekas pintu dipo lokomotif itu dicopot, lalu digunakan sebagai jembatan parit di kampungnya.

Oleh M FINAL DAENG DAN NAWA TUNGGAL

“Oh, iya…. Saya ingat itu sudah lama sekali. Bangunan ini memiliki dua pintu. Papan pintunya sangat tebal. Ketika itu pintu dilepas dan digantikan dinding. Papan pintunya kemudian digunakan untuk jembatan parit di kampung,” kata Hasanuddin, Ketua RW 002 Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (17/11).

Istilah ”dipo” atau depot lokomotif sering digunakan untuk menyebut bangunan yang berfungsi sebagai tempat perawatan lokomotif kereta api. Bangunan itu ditembus jalur rel untuk menempatkan lokomotif ke dalamnya.

Bangunan Dipo Pasar Butung dapat dilihat dari foto hitam putih koleksi Tropenmuseum, Belanda, tertanggal 1 Juli 1922. Pada waktu itu digunakan untuk acara peresmian pembukaan jalur kereta api Makassar-Takalar sepanjang 47 kilometer. Keramaian publik terlihat pada peresmian jalur tersebut.

Itu sebagai salah satu foto yang disajikan Karyadi Baskoro, anggota Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), ke dalam bukunya, Makassar-Takalar, Rekam Jejak Sejarah Jalur Kereta Api Sulawesi, 2010. Karyadi menyebutkan, jalur kereta api ini bagian dari prinsip ”Waar Oceaan en Rail elkaar Ontmoeten” atau di mana laut dan rel bertemu.

Prinsip itu tertuang di dalam sebuah kajian pembangunan Pelabuhan Makassar oleh Firma de Groot yang selesai pada tahun 1912. Pembangunan jalur kereta api sempat tertunda akibat Perang Dunia I yang berlangsung tahun 1914-1918.

Pemerintah Hindia Belanda berhasil melanjutkan pembangunan jalur rel Makassar-Takalar tahun 1920-1922. Jalur Makassar-Takalar itu kemudian dioperasikan perusahaan Staatstramweg op Celebes milik Pemerintah Hindia Belanda. Masa operasionalnya berlangsung pada 1 Juli 1922 sampai 1 Agustus 1930, sekitar delapan tahun lamanya.

Sebanyak tujuh lokomotif sempat didatangkan untuk operasionalisasi jalur kereta api dari Makassar ke Takalar ini. Tujuh lokomotif itu didatangkan dari Jawa, dari proyek Solo Valley Waterweken.

Menurut Karyadi, lokomotif-lokomotif itu bertipe Cn2 buatan pabrik Cockerill. Nomor-nomor seri pabriknya 1842, 1845, 1850, 1852, 1855, 1863, dan 1864. Operasionalisasi kereta api jalur Makassar-Takalar selama delapan tahun itu termasuk cukup pendek.

”Sering kali jadwal pemberangkatan yang biasanya berjalan pukul enam pagi jadi tertunda karena menunggu penumpang mencukupi,” tulis Karyadi.

Namun, karena minimnya penumpang berujung pada kerugian usaha jasa transportasi massal tersebut. Untuk menghindari kerugian makin besar, pada 1 Agustus 1930 jalur Makassar-Takalar ditutup. Lokomotif-lokomotifnya dikembalikan ke Jawa.

Kawasan perniagaan

Menyusuri bekas jalur kereta api dari Makassar menuju Takalar berawal dari kompleks pergudangan di kawasan Pelabuhan Makassar ke arah dua cabang. Cabang pertama ke arah kiri menuju jalur utama menuju Takalar.

Jalur kedua, jalur lurus kemudian berbelok ke kiri menuju kawasan terminal peti kemas yang sekarang dikelola PT Pelindo IV Makassar. Jalur rel di terminal peti kemas itu berada di pinggir laut.

Halte Pasar Butung merupakan perhentian pertama dari arah Pelabuhan Makassar. Kemudian jalur rel memasuki Kota Makassar dan terdapat Stasiun Makassar yang kini jejaknya sudah sulit dilacak. Kawasan itu sudah berubah menjadi kawasan permukiman dan perniagaan di tengah Kota Makassar.

Gurnito Rakhmat Wijokangko dari lembaga Kereta Anak Bangsa, Jakarta, menunjukkan bekas-bekas jalur kereta api dari Pelabuhan Makassar yang dikenal sebagai daerah Ujung Tanah. Gurnito memanfaatkan teknologi geolokasi yang diserasikan dengan peta lama dari belanda tentang jalur kereta api Makassar-Takalar ini.

Gurnito menunjukkan foto koleksi Tropenmuseum lainnya berupa bangunan pergudangan dan jalur rel di kawasan kompleks Pelabuhan Makassar. Bangunan pergudangan itu sekarang sudah tidak ada lagi.

Penanda bekas jalur rel di area pelabuhan tak ditemukan. Jejak jalur rel di sepanjang terminal peti kemas juga sama sekali tak terlihat. Kondisi permukaan tanahnya sudah dibeton.

Lokasi jalur rel di terminal peti kemas inilah yang dapat menggambarkan prinsip ”di mana laut dan rel bertemu”. Pada masanya, ingin dicapai efisiensi yang tinggi menyangkut transportasi dari darat ke laut dan sebaliknya.

Tidak jauh dari lokasi tersebut, terdapat kompleks pergudangan yang menjadi ujung rel. Pergudangan itu menunjukkan sarana pengelolaan untuk pendistribusian barang dengan kereta api.

”Ketika berjalan dari kawasan pergudangan dan pelabuhan, kereta api akan melintasi halte pertama, yaitu Halte Pasar Butung. Sebelum mencapai halte tersebut, terdapat percabangan menuju sebuah dipo. Itulah Dipo Pasar Butung,” ujar Gurnito.

Pada masa kolonial Belanda, digunakan istilah halte dan stopplats atau perhentian. Halte untuk ukuran perhentian kereta api yang lebih besar daripada stopplats.

Istilah stasiun ketika itu digunakan hanya untuk stasiun- stasiun akhir atau stasiun besar. Saat ini, istilah halte berubah menjadi stasiun, dan stopplats berubah menjadi halte.

Berdasarkan peta-peta lama untuk jalur kereta api Makassar-Takalar, Karyadi Baskoro menemukan delapan stasiun dan 12 halte. Sebagian besar jejaknya sudah hilang. Namun, sebagian di antaranya masih bertahan, satu di antaranya adalah Dipo Pasar Butung, yang kini berubah fungsi jadi tempat ibadah, yaitu Masjid Al-Fajri di Kelurahan Melayu, Kota Makassar.

Seperti dinyatakan Hasanuddin, sebagian warga masih mengingat cerita tentang kereta api di Sulawesi dari para tetua kampungnya. Setiap kali mengenangnya, mereka masih mewarisi kebanggaan pernah melewati masa peradaban perkeretaapian itu.

Dari jalur kereta api Makassar-Takalar, jejak bangunan fisiknya memang makin tergerus zaman. Namun, nilai dari peradabannya masih tetap meninggalkan warisan yang berharga.

Jika saat ini sedang dibangun rel KA Makassar-Parepare (150 km), kiranya filosofi di atas tak dilupakan: ”di mana laut dan rel bertemu”. Prinsip nilai efisiensi di bidang transportasi yang relevan sampai sekarang.

Artikel Lainnya