Di ruang belakang rumah rusak itu, di bawah cahaya bulan purnama, empat pria berbaris menyusun formasi. Hanya desah suara ombak yang terdengar saat mereka mulai mengatur kuda-kuda.
Oleh DAHONO FITRIANTO dan DENTY PIAWAI NASTITIE
Salah satu pria di barisan depan, yang terlihat paling senior, menyerukan aba-aba, dan jurus pertama pun dilancarkan. Tangan kanan meluncur memukul ke depan, tangan kiri ditarik ke belakang.
Jurus demi jurus mengalir. Sekilas gerakan-gerakannya mengingatkan pada jurus silat betawi yang sering dipertunjukkan di Jakarta. ”Memang hampir sama, tetapi sebenarnya berbeda. Ini dasarnya silat yang sudah turun-temurun diajarkan di pulau ini,” tutur Marhawi alias Sanggo (50), pria pemberi aba-aba yang tak lain adalah guru silat anak-anak muda di Pulau Kelapa, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Di tengah makin terkikisnya berbagai tradisi asli Orang Pulo (sebutan untuk warga pulau-pulau di Kepulauan Seribu), minat anak-anak muda belajar seni bela diri setempat ini memberikan harapan pelestarian kekayaan budaya di wilayah itu.
”Saya dulunya tak tertarik. Tetapi, saat makin banyak anak-anak SMA dan SMP yang berlatih, saya jadi ingin ikut belajar. Saya pikir saya butuh bekal untuk jaga diri saat merantau nanti,” ujar Ahmad Badrutamam (24), salah satu pemuda yang berlatih malam itu.
Selama ini, sisi budaya ini seolah terlewatkan di saat pemerintah berusaha ikut gencar membangun sektor pariwisata di Kepulauan Seribu. Pemerintah setempat pun kadang terkesan gagap dan tak tahu potensi masyarakatnya sendiri.
”Pernah kami usulkan dalam suatu rapat agar pemerintah mengangkat kekayaan seni tradisi masyarakat untuk ditampilkan kepada orang luar. Mereka menyanggupi, lalu datang membawa pertunjukan ondel-ondel dan lenong dari Jakarta. Padahal, itu bukan seni tradisi Orang Pulo,” ujar Sanggo.
Tak terpisahkan
Dalam diskusi mengenai Kepulauan Seribu yang digelar di Redaksi Kompas, 8 Mei lalu, salah satu tokoh masyarakat Pulau Panggang, Hj Mahariah, menggarisbawahi kurangnya perhatian pemerintah pada unsur budaya ini. ”Saya mencatat dengan sangat tebal bahwa dari presentasi Pak Bupati barusan, salah satu potensi yang tidak disebut atau lupa disebut adalah sumber daya manusia, sumber budayanya, sumber kulturnya,” ujar Mahariah waktu itu.
Padahal, dalam skema pengembangan pariwisata, budaya asli masyarakat setempat selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari daya tarik bagi wisatawan.
Hal senada diungkapkan Rosida Erowati dari kelompok Lab Teater Ciputat yang pernah melakukan penelitian kebudayaan di Kepulauan Seribu. Lab Teater Ciputat menggagas agar Kepulauan Seribu memiliki kelompok seni pertunjukan yang bisa mengikuti kegiatan festival teater di Jakarta.
”Namun, sejak ada Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, belum pernah ada kelompok yang tampil dari sana. Jadi apa yang akan dilakukan Pemerintah Kabupaten?” ujar Rosida melontarkan pertanyaan kepada Bupati Administrasi Kepulauan Seribu waktu itu, Tri Djoko Sri Margianto.
Menjawab pertanyaan itu, Tri Djoko mengaku terus terang dirinya juga tak tahu soal kesenian tradisional di Kepulauan Seribu.
”Kalau soal kesenian-kesenian ini, saya juga belum tahu. Nanti akan kita bicarakan apa yang khas, apa topeng monyet atau apa, enggak tahu. Karena saya sendiri belum pernah lihat ada kesenian (khas) di (wilayah) ini,” ujar Tri Djoko, yang menjabat sebagai bupati sejak Januari 2015 dan sudah dipindahtugaskan menjadi Kepala Dinas Tata Air DKI, 3 Juli lalu.
Mulai hilang
Padahal, berdasarkan temuan Kompas di Pulau Kelapa, bentuk seni tradisi itu masih ada dan masih dijalankan dengan penuh semangat oleh anak-anak muda.
Sanggo juga mengatakan, selain pencak silat, sebenarnya ada beberapa tradisi lain khas Pulau Kelapa yang menarik ditampilkan kepada para wisatawan. Namun, karena tak adanya perhatian pemerintah dan perubahan zaman, berbagai tradisi itu lama-lama hilang.
Hal tersebut diakui H Sofyan (62), warga Pulau Kelapa yang pernah menjadi konsultan pariwisata di Kepulauan Seribu pada dekade 1970-an. Salah satu tradisi yang sudah hilang itu, kata Sofyan, adalah acara Ngarak Tujuh, semacam upacara selamatan tolak bala di kalangan para nelayan.
”Dulu itu menjadi tradisi yang dilakukan tiap bulan Safar (bulan kedua dalam sistem penanggalan Islam). Orang-orang berkumpul, kemudian berarak ke tujuh titik untuk berdoa. Di tujuh titik itu kami melantunkan azan,” papar Sofyan.
Tradisi lain yang juga sudah hilang adalah tradisi berlayar menggunakan perahu layar. Namun, sejak maraknya penggunaan perahu motor, nelayan-nelayan muda saat ini sudah tak tahu lagi cara-cara menjalankan perahu layar.
”Padahal, seandainya dilestarikan, perahu-perahu layar itu juga bisa jadi atraksi turis,” ujar Sanggo.
Berusaha bangkit
Namun, keawaman pemerintah setempat dalam pembangunan budaya itu tak membuat warga menyerah begitu saja. Sebagian warga Pulau Kelapa masih mencoba agar berbagai kekayaan tradisi itu bertahan.
Sanggo menambahkan, sejumlah warga pulau berusaha menghidupkan lagi acara tradisi tolak bala setelah Pulau Kelapa dihantam angin puting beliung tahun 2013 silam.
Nur Fahmi (25), Wakil Ketua Karang Taruna Pulau Kelapa, bersama kawan-kawannya berupaya membangkitkan kembali upacara adat Ngarak Tujuh yang sempat terhenti karena kurangnya kepedulian.
Selain itu, anak-anak muda juga berupaya menghidupkan kembali kesenian tradisional yang hampir punah. Mereka berencana membuat pementasan seni pertunjukan, seperti tari-tarian dan lawak adat untuk menarik minat wisatawan.