KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga memasukkan air bersih ke dalam jeriken dari hasil pengolahan air payau dengan sistem reverse osmosis ke atas gerobak di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta, Jumat (3/7).

Liputan Kompas Nasional

Keterbatasan: Bertahan untuk Menjawab Tantangan * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 4 menit baca

Oleh DENTY PIAWAI NASTITIE

Pulau Kelapa di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara menghadapi masalah yang tak jauh berbeda dengan pulau-pulau berpenghuni lain di wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kepadatan penduduk, keterbatasan ruang, kesulitan air bersih, dan berbagai masalah lain di Pulau Kelapa seolah mengaburkan potensi pulau seluas 13,9 hektar ini.

Pulau Kelapa terletak sekitar 60 kilometer dari daratan Jakarta. Begitu sampai di Pelabuhan Pulau Kelapa, deretan rumah-rumah penduduk sudah terlihat. Rumah-rumah penduduk berimpitan dengan jalan-jalan sempit selebar sekitar 1,5-2 meter.

Jalan hanya cukup dilewati dua sepeda motor. Jika berpapasan dengan gerobak atau becak pengangkut barang, sepeda motor harus berhenti untuk memberi kesempatan moda angkutan itu lewat.

Berdasarkan data pemerintah Kelurahan Pulau Kelapa, Pulau Kelapa dihuni 6.421 penduduk per Mei 2015. Data Puskesmas Kecamatan Kepulauan Seribu Utara menunjukkan, setiap tahun ada 250 kelahiran bayi di Pulau Kelapa.

”Setiap keluarga rata-rata memiliki tiga hingga enam anak,” kata Edwin Nasli, Kepala Puskesmas Pulau Kelapa. Edwin menjelaskan, untuk mengerem pertumbuhan penduduk, kampanye keluarga berencana (KB) ditingkatkan.

Gadis, Sekretaris Tim Penggerak PKK Kelurahan Pulau Kelapa, menambahkan, pemerintah bahkan menawarkan insentif untuk warga yang mau mengikuti program KB Mantap, yakni dengan sterilisasi. ”Seluruh biaya operasi dan akomodasi selama di RS di Jakarta kami tanggung. Dan peserta masih mendapat hadiah senilai Rp 200.000 per orang,” tuturnya.

Namun, kepadatan penduduk sudah telanjur terjadi. Kepadatan penduduk membuat identitas pulau ini hilang. Sejak 20 tahun lalu, tak ada lagi pohon kelapa di Pulau Kelapa. ”Yang ada sekarang hanya tiang-tiang antena,” kata Firman Maulana (16), penduduk asli Pulau Kelapa.

Karena tak ada aturan jelas, warga seenaknya membangun rumah di tepi laut. Mereka menguruk bibir pantai dengan tanah bercampur batu dan karang karena kehabisan lahan.

Muklis (41), salah seorang nelayan di Pulau Kelapa, membangun rumah di tepi pantai 12 tahun lalu. ”Saat itu, di kiri dan kanan rumah saya belum ada tetangga,” ujarnya.

Sekarang, di sekitar rumah Muklis sudah padat penduduk. Bahkan, ada dua rumah lain yang dibangun di depan rumahnya. Rumah itu menjorok ke arah laut lepas.

Sofyan (62), yang sudah tinggal di Pulau Kelapa sejak 1974, mengusulkan agar ke depan ada relokasi warga pulau-pulau padat di Kepulauan Seribu ke pulau-pulau lain yang tak berpenghuni. ”Buat warga Pulau Kelapa, idealnya kami direlokasi ke Pulau Opak yang dekat. Namun, saat ini pulau itu dimiliki pribadi. Pemerintah perlu membebaskan lahan dulu,” tuturnya.

Terlambat antisipasi

Fadli, Kepala Seksi Pemerintahan dan Ketertiban Kelurahan Pulau Kelapa, menuturkan, pemerintah daerah terlambat mengantisipasi pertumbuhan penduduk. Saat Pulau Kelapa kian padat, aturan membangun rumah dengan 30 persen koefisiensi dasar bangunan diterapkan. Namun, itu sudah terlambat. Birokrasi yang berbelit-belit juga menyulitkan warga.

Untuk menerbitkan surat izin mendirikan bangunan (IMB), misalnya, warga harus memiliki surat akta kepemilikan tanah. Padahal, kata Fadli, 100 persen warga Pulau Kelapa mendirikan bangunan di atas tanah garapan milik pemerintah.

Selain itu, warga juga harus melampirkan gambar rancangan bangunan. ”Mana ada warga yang mengerti soal arsitektur?” ujarnya.

Kepadatan penduduk memunculkan berbagai masalah lain, seperti pengangguran dan krisis air bersih. Nur Fahmi, Wakil Ketua Karang Taruna Pulau Kelapa, mengatakan, 30 persen anak muda di kampungnya menganggur. ”Pemerintah daerah kurang membuka lapangan pekerjaan bagi anak muda,” ujarnya.

Sebagian anak muda pergi ke pulau lain untuk bekerja. Sebagian lainnya menetap di Pulau Kelapa dengan pekerjaan yang tak menentu. ”Saya masih beruntung bisa jadi petugas angkut sampah. Anak-anak lain banyak yang tak bekerja,” kata Fahmi.

Harapan pariwisata

Dengan berbagai masalah itu, warga Pulau Kelapa berharap memiliki kehidupan yang lebih baik. Mereka pun menengok ke tetangga pulau, yakni Pulau Harapan, sebagai contoh ideal.

Pulau yang tersambung dengan Pulau Kelapa oleh jembatan alami sepanjang sekitar 200 meter itu relatif tertata lebih baik. Pemerintah daerah membangun dermaga yang lebih kokoh dan luas yang berada jauh dari pemukiman warga. Jalan dermaga dibuat selebar 3 meter sehingga nyaman dilalui. Pagar rumah-rumah penduduk juga dibuat seragam.

Kesadaran mengembangkan pariwisata pun membuat pulau ini berbenah. Warga mendirikan sejumlah penginapan rumahan (homestay) di pinggir pantai. Kedatangan pengunjung membuat sektor informal berkembang.

Selain nelayan, warga pulau ini bekerja menjadi juru masak, pemandu wisata, atau ahli bahasa. Perahu-perahu nelayan juga dipakai melayani pengunjung pergi ke pulau-pulau lain untuk snorkeling atau memancing.

Nur Fahmi mengatakan, ia dan kawan-kawannya tak mau ketinggalan dengan warga Pulau Harapan. ”Pulau Kelapa memang sudah telanjur padat penduduk, tetapi bukan berarti tak punya potensi,” tuturnya.

Ia melihat sektor pariwisata sebagai peluang untuk menyejahterakan warga. Anak-anak muda di Pulau Kelapa juga sadar bahwa teknologi dan penguasaan bahasa asing diperlukan.

Pada Januari-Maret 2015 lalu, mereka kedatangan 15 anak muda asing dari lembaga Canada World Youth. ”Dari interaksi dengan mereka itu kami belajar banyak hal, seperti bagaimana mengelola sampah dan belajar bahasa Inggris,” tutur Nur Fadli (25), Ketua Divisi Olahraga Karang Taruna Pulau Kelapa.

Dengan pemberdayaan anak muda, Nur Fadli berharap tak ada lagi warga yang menganggur di pulaunya. Warga Pulau Kelapa tak mau menyerah dengan segala permasalahan pulau tersebut. Namun, mereka butuh dukungan. (DAHONO FITRIANTO)

Artikel Lainnya