Kata novelis ternama asal Amerika Serikat, Jonathan Safran Noer, makanan bukanlah sesuatu yang rasional, melainkan sebuah kultur dan kebiasaan yang membentuk identitas.

Ungkapan ini agaknya tepat untuk menggambarkan masyarakat Papua. Mereka mengonsumsi sagu sebagai makanan utama saat mayoritas masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari nasi.

Keunikan itulah yang didapati tim Kompas saat berkunjung ke Kampung Sima, Distrik Yaur, Nabire, Papua, dalam rangkaian peliputan Ekspedisi Tanah Papua. Tim terdiri dari tiga wartawan, yakni Harry Susilo, Fabio Lopes, dan saya, serta fotografer Bahana Patria Gupta dan videografer Ditto Permadi.

Di Kampung Sima yang terletak di area Teluk Cendrawasih ini, semua warganya mampu bertahan hidup berkat makanan dari hutan sagu. Ada segudang pertanyaan yang kemudian mengganggu pikiran saya. Bagaimana caranya hidup hanya dari hutan sagu? Apa yang bisa dimakan? Dan mengapa warga begitu menggantungkan hidup dari sagu?

Pertanyaan itu terjawab Senin (26/4/2021) siang. Di bawah sorot terik matahari, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Kampung Sima Yulius Awujani (56) mengantar kami masuk hutan. Pria tua berotot kering ini memandu perjalanan melihat-lihat Hutan Sagu Manawari, tempat warga mengolah makanan mereka.

”Tidak jauh tempatnya. Paling berjalan masuk hutan 15-20 menit. Kita harus jalan kaki karena jalannya kecil, tidak bisa dilalui kendaraan bermotor,” kata Yulius dengan parang tergantung di pinggang, siap membabati dahan yang menutupi jalan.

Perjalanan pun dimulai. Memasuki area hutan, pohon-pohon raksasa berdiri tegak menyambut di kiri kanan jalan setapak yang kami lalui. Yulius yang memimpin barisan mengingatkan kami untuk hati-hati saat melangkah karena banyak rawa berlumpur. Salah menapak bisa gawat urusannya.

Kami harus berjalan di atas batang-batang pohon yang dijadikan semacam jembatan untuk melewati rawa penuh lumpur. Jika tubuh tidak seimbang atau terpeleset karena licin, kaki bisa terperosok masuk lumpur berwarna hitam yang cukup dalam.

Ulat-ulat sagu seukuran jempol tangan berbaris tak beraturan saat batang terbelah. Mereka seolah mengantre untuk disantap.

Yulius yang tiap hari pulang-pergi ke hutan sagu terlihat berjalan normal bak di atas jalan beraspal. Dengan amat tenang, ia susuri satu per satu kayu pohon, ibarat aktor Hollywood Joseph Gordon Levitt dalam film The Walk yang dengan santai meniti seutas tali dari satu gedung tinggi ke gedung lainnya.

”Brak… Aduhhh…,” suara cipratan lumpur yang diikuti teriakan Ditto memecah keheningan hutan. Hal yang ditakutkan terjadi. Ditto terpeleset saat menyeberang. Satu kakinya terperosok ke dalam rawa.

Setelah kakinya ditarik, terlihat bekas lumpur yang membasahi hingga bagian betis. Alhasil, sepatu dan celana panjang Ditto basah plus berbau tidak sedap. Kami hanya bisa tertawa melihatnya yang sedang garuk-garuk kepala.

Seukuran jempol

Keringat kami masih mengucur deras saat langkah Yulius mulai melambat. Tak terasa, perjalanan telah berlangsung sekitar 20 menit. Yulius kemudian melirik ke arah warga kampung yang sedang beraktivitas mengolah sagu.

Tiga warga Kampung Sima, Andreas Wayoi, bersama istrinya, Alfrida Maniburi, dan adik iparnya, Flora Maniburi, sibuk menokok dan memproduksi pati sagu basah. Suara tokokan itu mendominasi suasana hutan sagu Malawari, mengalahkan kicauan burung dan suara serangga yang berbunyi tanpa henti.

Dengan rasa penasaran berlebih, segera saya dekati Andreas. Dia sedang membelah kayu dalam posisi duduk. Lelaki berusia 65 tahun ini asyik bekerja ditemani tiga anjing peliharaannya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Flora Maniburi di Hutan Sagu Manawari, Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Senin (26/4/2021).

”Di dalamnya tidak ada ulat sagu, Pak?” kata saya penasaran. Setiap kali menonton acara petualangan di televisi, hal paling lazim dalam peliputan di hutan sagu adalah memakan ulat sagu. Bagi sebagian orang, memakan ulat bisa dikatakan kegiatan ekstrem.

Andreas bangkit dari posisinya. Perasaan saya mulai tidak enak. Pertanyaan yang saya lemparkan bisa menjadi bumerang kalau Andreas serius menanggapinya. ”Ada nih, sebentar saya ambilkan dulu,” katanya lalu menuju batang pohon sagu yang belum dibelah.

Ulat-ulat sagu seukuran jempol tangan berbaris tak beraturan saat batang terbelah. Mereka seolah mengantre untuk disantap. Tanpa banyak basa-basi, Andreas langsung mempersilakan kami mencicipi ulat sagu yang masih segar tersebut.

Karena saya yang menanyakan pertama kali, rasanya menjadi punya tanggung jawab besar untuk mencobanya lebih dulu. Berbalut rasa cemas sekaligus penasaran, saya ambil ulat sagu itu, lalu melahapnya secepat mungkin.

Segera setelah masuk, rongga mulut serasa dipenuhi ulat sagu di segala penjuru. Saya bayangkan ulat itu masih hidup dan bergerak-gerak. Saya merasa agak jijik sebab dalam bayangan saya, ulat biasa dimakan oleh ayam ataupun ikan, bukan manusia.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga menokok sagu di Hutan Sagu Manawari, Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Senin (26/4/2021).

Namun, setelah mengunyahnya berkali-kali, ternyata rasanya tidak seburuk bayangan awal. Hambar tetapi ada sedikit kesan gurih. Tekstur ulat bertubuh gempal itu amat kenyal. Untungnya, tidak ada bau-bau aneh dari cairan yang keluar saat tubuh ulat tergigit.

Setelah berhasil mengirim ulat masuk perut, ganti saya mengompori teman-teman lain untuk mencoba. Mulai dari Ditto hingga Ilo, sang kepala ekspedisi, yang akhirnya tertantang. Mereka pun turut melahap ulat sagu.

Sama seperti saya, awalnya keduanya terdiam sejenak. Lalu, mulai merasakan sensasi berbeda dari ulat tersebut. ”Rasanya kayak permen karet. Enak juga,” ujar Ditto yang mulai melupakan celana dan sepatunya yang basah.

Kata Andreas, rasa ulat sagu ini memang gurih. Namun, lebih enak lagi jika ulat dibakar terlebih dulu. ”Rasa”-nya akan lebih keluar. Dia mengibaratkan ulat sagu ini seperti olahan ayam bagi warga setempat.

Kisah pedih

Saat rasa gurih di dinding mulut mulai pudar, Andreas kembali bercerita tentang sagu. Ulat ataupun sagu merupakan makanan turun-temurun yang diwariskan nenek moyang. Mereka bisa memakan sagu dalam tekstur kenyal (direbus) atau keras (dibakar). Tak lupa, ulat sagu ditambahkan sebagai sumber protein.

”Sagu ini yang menyelamatkan kami. Kalau tidak ada ini, saya tidak tahu lagi apakah warga bisa hidup atau tidak. Sagulah yang menghidupi leluhur kami hingga melahirkan generasi suku Yerisiam berikutnya. Saya sudah menokok sagu dari masa remaja hingga sekarang telah memiliki cucu,” ujar Andreas yang punya 12 anak tersebut.

Karena itu, Andreas dan seluruh warga Kampung Sima sangat murka ketika hutan sagu sempat hendak diambil alih. Pada 2017, perusahaan kelapa sawit berniat mengubah hutan sumber kehidupan warga itu menjadi perkebunan sawit.

Seluruh warga pun menolak keras keinginan perusahaan sawit. Mereka bersama-sama mendorong keluar perusahaan yang menggunakan bantuan aparat itu. Kata Andreas, saat itu mereka siap mati asalkan hutan sagu tidak direnggut.

Kompas/Bahana Patria Gupta

Flora Maniburi beristirahat di tengah bekerja menokok sagu di Hutan Sagu Manawari, Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Senin (26/4/2021).

Saat Andreas tengah berapi-api bercerita dan mulai mengeluarkan nada-nada tinggi, Yulius mendatangi kami. Ia hendak mengajak tim keluar hutan karena hari mulai sore. Namun, mendengar cerita temannya itu, Yulius ikut tertarik mencurahkan isi hatinya.

”Sagu itu yang menghidupi leluhur kami dahulu kala sampai sekarang ini. Jadi tidak diperbolehkan untuk dibongkar. Hutan sagu itu adalah ciptaan Tuhan bagi orang Yerisiam. Jadi kalau sampai habis, segala-galanya nanti uang. Orang (suku) Yerisiam tidak terlalu makan tanaman. Kalau kami di pesisir pantai dan lembah itu tidak terlalu ke tanaman. Sekadar saja tanaman bisa hadir, tetapi yang pokok adalah sagu,” ukatanya.

Bagi warga setempat, sagu bukan sekadar bahan makanan utama, melainkan juga sumber penghasilan sehari-hari. Sagu hasil mengambil dari hutan, laku dijual di pasar. Uangnya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Hutan Sagu Manawari, Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Senin (26/4/2021).

Saat cerita berakhir, hari mulai sore. Kami harus kembali. Perjalanan hari itu membantu menjawab pertanyaan di pikiran. Namun, di sisi lain, juga membuat kami gamang. Pikiran pun seakan campur aduk memproses semua yang terjadi di hutan sagu.

Lidah saya memang merasakan gurih ulat sagu, tetapi perasaan berakhir perih mengetahui kisah pedih di baliknya. Kami tentu tak dapat mencicipi ulat sagu jika saat itu hutan sagu telah hilang berganti dan kebun sawit.

Di antara kebingungan, ada satu hal yang saya pahami: warga Kampung Sima yang sangat menikmati konsumsi sagu dan olahannya.

Itulah harta yang selalu mereka punya, sagu yang selalu setia menemani dari generasi ke generasi. Perjalanan panjangnya berubah menjadi sebuah rasa yang tak tergantikan. (Kelvin Hianusa)