Hamparan mangrove di Teluk Arguni, Kaimana, sejak lama menjadi sandaran hidup nelayan pencari ikan ganadi di Kampung Feternu. Namun, kini mereka dibayangi kekhawatiran karena hasil tangkapan ganadi terus menyusut dari waktu ke waktu.
Matahari baru saja terbit saat Sawajir Wegiri (45) sibuk menarik jaringnya di perairan Teluk Arguni, sekitar 500 meter dari bibir pantai Kampung Feternu, Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Sambil terombang-ambing di sampan, ia berharap ikan yang dicari, terjerat di jaring.
“Sudah semalaman tebar jaring. Belum ada (ikan) ganadi yang didapat,” ujar Sawajir, terus menarik jaring yang ia tebar sepanjang 30 meter.
Lebih dari 20 menit berlalu. Tangkapannya kurang memuaskan. Sawajir hanya mendapat satu ikan ganadi dengan berat kurang dari 100 gram. Sedangkan, ikan sembilang –yang bukan menjadi incaran– malah bisa sampai 11 ekor. Dengan tangkapan tak seberapa ini, ia bersiap kembali ke darat.
Baca juga : Jalan Terjal Berbatu di Nduga
Pengalaman Sawajir rupanya juga dialami oleh nelayan lain. Dali Ufenia (45), misalnya, sudah jarang sekali mendapat ganadi meski sampai empat kali menebar jala dalam sehari. “Rasa-rasa, ganadi sudah menghilang,” katanya.
Padahal, di tahun 1998, nelayan pernah mendapatkan ikan ganadi seberat 3 kilogram. Perbedaan dahulu dengan sekarang ialah mata jaring yang digunakan para nelayan. Saat itu, nelayan memakai mata jaring 6-7 inci sehingga ikan yang terjaring bisa sangat besar.
Lambat laun, akibat ditangkapi secara masif tanpa dibatasi, ukuran ikan ganadi di perairan Teluk Arguni semakin mengecil. Para nelayan pun ikut memperkecil mata jaringnya. Mulai dari 5 inci, hingga sekarang menjadi 3-4,5 inci. Tak heran, yang terjaring adalah ikan anakan. “Ini karena tiap hari nelayan pergi ambil ganadi,” tutur Dali.
Komoditas ekspor
Mengapa nelayan sangat ambisius mencari ikan ganadi atau biasa disebut juga ikan gulama? Ternyata, gelembung dari ikan itu yang mereka incar. Gelembung ikan gulama memiliki harga jual jutaan rupiah per kilogram (kg) dan menjadi komoditas ekspor. Setidaknya ada tiga negara tujuan ekspor, yakni Singapura, Cina, dan Jepang.
Gelembung gulama merupakan sumber kolagen yang dapat diolah menjadi makanan mewah atau dijadikan asupan ibu hamil. Kolagen juga digunakan sebagai bahan produk kecantikan. Selain itu, gelembung ganadi juga dapat diolah menjadi benang operasi yang digunakan dokter bedah.
Para nelayan di Teluk Arguni sudah mengetahui keistimewaan ganadi ini sejak 2001. Mulai saat itu, pencarian ganadi masif. Kapal penampung berduyun-duyun ke perairan Teluk Arguni untuk mengambil gelembung ganadi.
Penadah gelembung ganadi di Kampung Feternu, Johanadi Hasan (42), mengatakan, dari tahun ke tahun, hasil tangkapan nelayan di Teluk Arguni kian menyusut. Belakangan ini, dalam seminggu saja, gelembung ganadi baru terkumpul 1 kg. Padahal, di 2012, saat awal ia menjadi penadah, seminggu bisa mencapai 10 kg.
Baca juga : Derita Warga Sima Setelah Hutan Sirna
Selain itu, berat gelembung ganadi juga semakin ringan. Dahulu, berat gelembung berkisar 20-40 gram. Sedangkan, sekarang, berat gelembung 30-40 gram bisa dibilang sudah tidak ada. Lalu, untuk 10-20 gram itu mulai jarang ditemukan.
“Yang banyak, tinggal (yang beratnya ) 5 gram dan minus (kurang dari) 5 gram Sudah sekitar lima tahun kondisinya begini,” ucap Johanadi.
Johanadi harus menunggu sampai terkumpul 2 koli atau sekitar 20 kg terlebih dahulu sebelum akhirnya dikirim ke Jakarta atau Surabaya. Dari para penadah di Jawa itulah, kemudian ganadi diekspor ke sejumlah negara tujuan.
Gelembung yang dijual pun sebenarnya bukan cuma ganadi, tetapi juga gelembung jenis ikan lain, seperti kakap dan ikan sembilang. Namun, gelembung ganadi memiliki harga jual yang lebih tinggi dibanding gelembung ikan-ikan lain.
Tidak ada pendingin
Sementara itu, ada persoalan lain yang lebih kompleks di perairan Teluk Arguni, yakni ketiadaan kapal penampung ikan beku (frozen fish) dan pendingin (cold storage) untuk menyimpan ikan.
Akibatnya, seperti disampaikan Dali Ufenia, selama ini para nelayan langsung membuang daging ikan ganadi ke laut setelah mengambil gelembungnya, Begitu pula ikan-ikan lain yang sudah mati akibat terjerat jaring, semua ikut dibuang.
penjaringan ganadi yang masif apalagi dengan mata jaring yang besar, terbukti telah mengancam ekosistem ikan tersebut. Untuk itu, pola pencarian ikan ini harus mulai diatur.
Para nelayan beralasan, jika dibiarkan tetap di sampan, ikan-ikan itu akan menambah beban. Alasan lain, jika mereka membawanya langsung ke kota, ikan-ikan juga dipastikan sudah membusuk. Karena itu, nelayan berharap ada kapal penampung, yang datang ke Teluk Arguni.
Kepala Kampung Feternu Adam Wegiri mengingatkan bahwa penjaringan ganadi yang masif apalagi dengan mata jaring yang besar, terbukti telah mengancam ekosistem ikan tersebut. Untuk itu, pola pencarian ikan ini harus mulai diatur.
Seorang pemuda di Kampung Feternu, Hamis, mengungkapkan kegelisahannya. “Mungkin bapa dorang (nelayan yang tua) bisa ambil ikan lebih (banyak) sekarang. Tetapi, generasi kitorang tak bisa menikmati,” ujar Hamis.
Para nelayan kini meratapi hasil tangkapan ganadi di Teluk Arguni yang kian menyusut. Elegi yang berisi kesenduan tentang ganadi itu akan terus berlangsung jika tak ada solusi di teluk tersebut. (Nikolaus Harbowo/Denty Piawai Nastitie)