Jalan itu mulus. Aspal hitam melapisi permukaannya. Asap cerobong pabrik kimia memagari tepiannya. Seorang lelaki renta menggiring lima kerbau di sana.
Seorang anak muda memungut botol bekas di saluran air. Lelaki renta menyapa, kemudian berlalu. Ia bergegas mengiringi kerbau- kerbaunya. Jalan mulai menanjak.
Sukra, nama lelaki itu, berhenti di rumahnya. Rumah renta, setua usianya yang 84 tahun. Dari beranda rumahnya, jantung Kawasan Industri Pancapuri, Cilegon, Banten, terlihat jelas. Saat malam, cahaya lampu pabrik berpendar seperti bintang.
Pabrik-pabrik itu teramat dekat dengan Sukra, tetapi terasa jauh. Sukra tak pernah mencicip legit kerja di proyek, apalagi bekerja di pabrik. Janji-janji kemudahan lapangan kerja pada awal pendirian pabrik hanyalah pepesan kosong.
Pada kerbau-kerbau itulah harapan Sukra disandarkan. Seekor kerbau miliknya, empat ekor milik orang lainnya. Sukra tak pernah membedakannya.
Fragmen itu menuturkan kemiskinan dan penderitaan rakyat Banten karena diisap penguasa pribumi yang bersekutu dengan penjajah Belanda.
Melihat Sukra dengan kerbau-kerbaunya mengingatkan pada fragmen Saijah dan Adinda dengan kerbau-kerbau mereka, seperti yang ditulis Multatuli-nama samaran Douwes Dekker-dalam Max Havelaar, tahun 1860. “… kemudian larilah ayah Saijah meninggalkan desanya sebab ia merasa sangat takut dijatuhi hukuman jika sampai ia tidak membayar pajak tanahnya. Padahal, ia sudah tidak mempunyai peninggalan apa-apa lagi untuk membeli kerbau baru,” tulis Douwes Dekker. Berulang kali, kerbau-kerbau ayah Saijah dirampas oleh Kepala Distrik Parungkujang, Lebak. Dalam pelariannya, ayah Saijah kemudian ditangkap dan mati di penjara. Pada akhir fragmen, seluruh tokohnya mati.
Fragmen itu menuturkan kemiskinan dan penderitaan rakyat Banten karena diisap penguasa pribumi yang bersekutu dengan penjajah Belanda. Penderitaan yang bermula dari diambilnya kerbau, harta paling berharga bagi petani. Tanpa kerbau, mereka tak bisa menggarap ladang. Tanpa panenan, mereka tak bisa membayar pajak.
Hampir 150 tahun kemudian, fragmen itu terasa masih relevan untuk menggambarkan satu sisi wajah Banten. Bahkan, sering kali fragmen itu menemukan bentuknya yang lebih pedih. Jika dulu yang dirampas adalah kerbau, saat ini petani kehilangan tanah.
Tanah
Bojonegara, pesisir barat Banten, siang itu sangat panas. Matahari kemarau mencipta tanah retak. Ramsiah (45) menyiram tanaman timun suri dari sumur gali di tengah sawah. Bulan puasa hampir tiba, bulan di mana Ramsiah bisa menjual timun suri sebagai makanan berbuka.
Ramsiah berpeluh, tetapi tak mau berhenti. Sawah warisan satu- satunya itu sudah bukan miliknya lagi. Ramsiah menunggu waktu sebelum ladangnya diambil untuk diubah menjadi pabrik.
Kesenjangan
Dua ratus tahun sejak Herman Willem Daendels menginjakkan kaki di tanah Banten, Januari 1808, wajah luar kawasan di ujung barat Pulau Jawa ini berubah banyak. Dimulai ketika tahun 1970-an ketika pemerintah membangun kawasan industri di sana. Pabrik raksasa menjamur, sebagian di antaranya perusahaan asing. Hingga akhir tahun 2007, sedikitnya ada 1.500 industri di Banten.
Pendapatan domestik regional bruto (PDRB) di Banten pun terdongkrak dengan maraknya industri. Tahun 2002 nilai PDRB Banten Rp 60,35 triliun. Setahun kemudian meningkat menjadi Rp 66,87 triliun. Tahun 2004 melompat menjadi Rp 75,56 triliun, tahun 2005 naik lagi menjadi Rp 83,77 triliun. Setahun kemudian semakin tinggi, Rp 94,41 triliun.
Namun, pesatnya pertumbuhan industri yang diiringi PDRB Banten tak berbanding lurus dengan kesejahteraan warganya. Sebagian besar warga belum terserap ke industri. Mereka yang bekerja di sektor industri kebanyakan juga di level rendah, seperti tenaga buruh, petugas satpam, dan pegawai rendahan.
Banten tetap menjadi salah satu provinsi termiskin di Pulau Jawa. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2006 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Banten mencapai 904 keluarga (9,79 persen). Dari sekitar 6,1 juta pekerja, 51,39 persen bekerja di sektor informal dan 26,91 persen di antaranya bekerja di sektor pertanian. Industri pengolahan yang merupakan penyumbang terbesar PDRB hanya bisa menampung 22,85 persen tenaga kerja. Angka ini lebih kecil dibandingkan pengangguran yang mencapai 28,01 persen.
Namun, pesatnya pertumbuhan industri yang diiringi PDRB Banten tak berbanding lurus dengan kesejahteraan warganya.
Kondisi itu terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan dan kompetensi penduduk Banten. Dari 7,1 juta penduduk usia kerja, 32,18 persen di antaranya hanya lulus SD. Sebanyak 26,8 persen tidak tamat SD, lulusan SMP 17,54 persen, lulusan SMA 15,7 persen, lulusan SMK 3,89 persen, diploma 1,89 persen, S-1 1,86 persen, serta S-2 dan S-3 0,1 persen.
Jika sebagian besar warga menggantungkan hidupnya pada pertanian karena memang tak sanggup masuk ke sektor industri, apa jadinya jika lahan pertanian rakyat itu terus menipis karena diambil alih industri?
(ANITA YOSSIHARA/ AHMAD ARIF)