Pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg dari Anyer hingga Panarukan yang dimulai pada 1808 ditandai dengan mobilisasi besar-besaran tenaga kerja wajib dari masing-masing kabupaten. Karena anggaran pembangunan terbatas, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Hindia Timur tahun 1808-1811, yang memprakarsai pembangunan jalan raya itu, meminta para bupati menyediakan tenaga kerja wajib dengan upah murah. Mobilisasi kerja wajib yang oleh sejumlah kalangan disebut dengan kerja paksa itulah yang memicu terjadinya ketegangan antara penduduk pribumi dan penguasa Belanda.
Ketegangan terjadi karena para pekerja menanggung beban kerja yang amat berat dalam kondisi perbekalan terbatas dan upah sangat kecil, yakni antara 1 ringgit perak hingga 10 ringgit perak per meter. Ketegangan itu juga muncul di ruas Cadas Pangeran, Kabupaten Sumedang, karena pekerja wajib membelah bukit di medan yang curam. Padahal, saat itu alat yang tersedia hanya berupa linggis.
Dalam cerita rakyat Sumedang, Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX atau yang dikenal sebagai Pangeran Kornel tidak rela rakyatnya diperlakukan semena-mena selama pembangunan Jalan Raya Pos itu. Juru kunci pertapaan Cadas Pangeran, Iri (83), mengatakan, Pangeran Kornel menumpahkan kekecewaan kepada Daendels yang menginspeksi pembangunan jalan di ruas Cadas Pangeran.
Tangan kiri
Cerita yang berkembang di masyarakat menyebutkan, Pangeran Kornel berjabat tangan menggunakan tangan kiri dengan Daendels, sedangkan tangan kanannya memegang keris.
“Pangeran Kornel tidak senang rakyatnya dikorbankan hanya untuk memenuhi keinginan Belanda membangun jalan melalui Cadas Pangeran, kata Iri menurutkan legenda Pangeran Kornel.
Sejarawan dari Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis, mengatakan, cara bersalaman yang tidak lazim itu tidak sekadar menunjukkan protes Pangeran Kornel terhadap Daendels, tetapi juga merupakan ancaman. Keberanian Pangeran Kornel yang kini diabadikan melalui patung di batas Cadas Pangeran itu tentu saja membuat bangga rakyat Sumedang hingga sekarang.
Cerita yang berkembang di masyarakat menyebutkan, Pangeran Kornel berjabat tangan menggunakan tangan kiri dengan Daendels, sedangkan tangan kanannya memegang keris.
Di lain pihak, keberanian Pangeran Kornel itu justru dipertanyakan karena umurnya masih sangat muda saat Jalan Raya Pos dibangun. Sejarawan dari Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, mengatakan, kepahlawanan Pangeran Kornel dibangun dengan pijakan cerita rakyat sehingga memiliki banyak peluang untuk disikapi secara kritis. Berdasarkan konsep dekonstruksi, sejarah harus dibangun di atas bukti, seperti arsip. Dalam arsip berbahasa Belanda dan Melayu Sunda disebutkan, Jalan Raya Pos itu memberikan manfaat untuk kelancaran pengangkutan komoditas kopi.
Dalam tradisi administrasi kolonial, setiap peristiwa penting di daerah-daerah yang berkaitan dengan pemerintah pasti akan langsung dilaporkan. Pertemuan antara Pangeran Kornel dan Daendels bisa dianggap penting mengingat Pangeran Kornel berani bersalaman menggunakan tangan kiri. Namun, ternyata tidak ada satu pun arsip yang menyebut pertemuan Pangeran Kornel dengan Daendels.
Melihat prasasti yang menyebut bahwa Cadas Pangeran dibobok pada 26 November-12 Maret 1812, Djoko menyimpulkan, patut diduga bahwa yang datang meninjau pembangunan jalan dan bersalaman dengan Pangeran Kornel tersebut bukan Daendels karena Daendels meninggalkan Nusantara pada 29 Juni 1811.
(Agustinus Handoko/Mukhamad Kurniawan)