Gamelan menjadi sumber nilai hidup. Sikap dan perilaku manusia tak lain adalah cara ungkap dari filosofi permainan dan perlakuan terhadap gamelan. Pada posisi ini gamelan selayaknya menjadi guru kehidupan.
Dalam pengertian umum, gamelan dapat diartikan sebagai orkestrasi sejumlah instrumen pukul, gesek, tiup, dan petik. Instrumen itu antara lain berupa gong, kempul, kenong, kempyang, bonang, sitar, rebab, suling, gambang, gender, saron, kendang, peking, balungan, dan slentem. Semua disusun sedemikian rupa dan membentuk pakem dalam konteks permainan tradisional.
Tidak ada catatan pasti sejak kapan gamelan ada di bumi Nusantara. Leksikografer sekaligus filolog Belanda, Jan Laurens Andries Brandes, menyebut gamelan sebagai salah satu dari sepuluh kebudayaan asli Nusantara. Beberapa relief di Candi Borobudur menggambarkan beberapa instrumen gamelan, yang berarti kesenian ini sudah menjadi keseharian masyarakat sejak abad ke-9. Gamelan lalu tersentuh beragam budaya, seperti Eropa dan Arab, hingga berevolusi seperti sekarang ini dengan beragam variannya.
Pagi itu, Minggu (4/2), Bangsal Sri Manganti Keraton Ngayogyakarta mulai ramai oleh wisatawan yang duduk di atas kursi yang berderet menghadap puluhan pengrawit. Satu per satu pengrawit mengelilingi gamelan Kyai Sangu Mulyo dan Kyai Sangu Mukti sambil merapatkan kedua tangan di dada lalu menunduk seperti seorang abdi menghormat kepada junjungannya. Setelah itu, mereka berjalan dalam posisi jongkok sampai di posisi masing-masing.
Di salah satu tepi geber mengepul asap kemenyan dari wadah yang bertabur bunga setaman dan dua sisir pisang. Dalang Gunawan membaca doa. Terdengar gending mengalun tanda sebentar lagi pertunjukan wayang dimulai.
Para pengrawit selalu menggelar ritual tersebut sebelum memainkan gamelan. ”Ini sebagai bentuk izin atau salam. Demi kebaikan bersama,” ucap pengrawit yang juga abdi dalem, Riya Dipodipuro (70).
Dua sisir pisang itu merupakan metafora dari dua tangan yang menengadah berdoa. Para pengrawit dan semua yang hadir di sana ingin pertunjukan berjalan lancar dan membawa energi baik. Selepas pertunjukan, pisang dibagi-bagi untuk dimakan.
Masyarakat keraton dan sebagian besar orang-orang di luar keraton memandang gamelan sebagai benda sakral yang di dalamnya tinggal makhluk lain yang dapat diajak hidup berdampingan. Caranya, dengan memperlakukan gamelan penuh hormat. Kepercayaan ini demikian kuat hingga tecermin dalam sikap dan perilaku. Ini diperkuat oleh peristiwa-peristiwa acak yang menguatkannya.
Pada suatu hari, datang perempuan pengunjung memakai rok dan berjalan tegak di depan gamelan. Dia memotret sesuka hati. Tiba-tiba, tubuhnya jungkir, kepala di bawah dan kaki di atas. ”Anehnya, roknya tidak tertarik ke bawah, tetap menghadap ke kaki. Kami percaya ini hukuman jika tidak sopan di depan gamelan,” kata KRT Purwadiningrat dari KHP Widyabudaya, instansi yang membidangi kebudayaan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di kalangan keraton terdapat larangan melangkahi, duduk, atau berdiri di atas gamelan. Posisi lutut tidak boleh lebih tinggi dari slentem atau saron sehingga harus berjalan berjongkok. Perempuan tersebut dianggap tidak sopan terhadap gamelan.
Media doa
Sakralitas itu terkait erat pula dengan ritual-ritual keagamaan atau spiritual yang memperlakukan gamelan sebagai sarana doa. Banyak sekali gending dan lirik di dalam gending difungsikan sebagai doa kepada Yang Maha Kuasa. Lewat alunan nada-nada gamelan yang ritmis dan repetitif, pengrawit dapat masuk ke gelombang alpha. Banyak sekali kajian tentang hal ini, antara lain oleh ahli musik dari Amerika, Judith Becker (1993).
Pada titik gelombang alpha ini, mereka percaya bisa menembus dimensi lain yang memberi keyakinan bahwa mereka dapat berkomunikasi lebih intensif dengan Tuhan. ”Rasanya nglayap-ngluyup, antara sadar dan tidak. Biasanya sudah otomatis mainnya, seperti tangan gerak sendiri,” ujar abdi dalem Keraton Surakarta, KRT Hasto Nagoro (61).
Pada kondisi demikian, perapal doa kerap mendapati tanda tertentu yang menjadi landasan keyakinan doanya diterima atau tidak. Rekan Hasto, KRT Hartono Wignyo Hadiningrat (66), suatu hari hatinya kalut, tidak tenang, karena keesokan harinya akan menjalani ujian akhir tentang tari, pedalangan, dan karawitan di sekolah Konservatori Karawitan Indonesia (sekarang SMK Negeri 8). Dia sudah belajar, tetapi masih tidak tenang. Malam harinya, dia bermain bonang sambil berdoa. Lewat tengah malam, Hartono mendapati sinar terang menerpanya.
Setelah itu, dia yakin lulus. Memainkan bonang membuat hatinya tenang dan sinar tadi menjadi sugesti Hartono. ”Hapalan saya keluar semua saat ujian,” ujar Hartono yang saat itu akhirnya juara sesekolah.
Para abdi dalem Keraton Surakarta rutin semadi diiringi gamelan pada setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon. Selasa Kliwon dipercaya sebagai malam datangnya Ratu Nyi Roro Kidul ke daratan memberikan berkah. Adapun Jumat Kliwon sebagai hari lahirnya Sunan Kalijaga, wali yang banyak menyuntikkan nilai-nilai agama Islam dalam gamelan. Jika gurunya, Sunan Bonang, menyumbang bonang dalam orkestrasi gamelan, Kalijaga menambah instrumen rebab untuk menghadirkan bunyi syahdu.
Gamelan Kyai Guntur Madu yang dimiliki Keraton Ngayogyakarta dan Keraton Surakarta merupakan peninggalan Sunan Kalijaga. Gamelan yang bersanding dengan Kyai Guntur Sari di Surakarta dan Kyai Nogowilogo itu sangat sakral dan hanya dimainkan di hari tertentu, seperti saat Sekaten.
Akan tetapi, sakralitas terhadap gamelan tidak lagi mutlak. Di kalangan pembuat gamelan, ritual-ritual sebelum membuat gamelan kadang dilakukan kadang tidak. ”Tergantung pemesannya. Kalau ingin dikasih ritual, kami lakukan, tetapi ada biaya tambahan. Bisa puluhan ribu sampai jutaan rupiah,” kata Saroyo, pemilik tempat pembuat gamelan Palu Gongso di Desa Wirun, Bojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Memaknai gamelan
Berinteraksi dengan gamelan sama artinya belajar hidup sopan. Penabuh gamelan harus lembut. ”Duduknya harus bersila. Perangai penabuh tidak boleh jelalatan, harus fokus. Menabuhnya tidak boleh ugal-ugalan. Artinya, hidup harus bisa mengendalikan diri dan menjaga sopan santun, tidak jemawa,” tutur Purwadiningrat.
Dalam orkestrasi gamelan, seorang pengendang menentukan ritme gending. Dia seumpama pemimpin. Dia perlu menyimak dengan baik tabuhan kenong, bonang, dan saron. Mempunyai pendengaran tajam suara suling dan rebab. Perlu juga mengetahui kemampuan para pengrawit lain sehingga menghasilkan gending harmonis. Pengendang dituntut paham kapan menurun-naikkan tempo. ”Pengendang itu harus ngemong,” kata Purwadinigrat menambahkan.
Orkestrasi gamelan juga mengajarkan hidup berdemokrasi, tepa selira. Saat memainkan saron, pengrawit segera memegang (memites) bilah yang baru saja dipukul, sebelum memukul bilah yang lain. Tujuannya agar dengung dari bilah pertama tidak mengganggu bilah kedua. ”Kalau ada orang lain berbicara, kita harus berhenti bicara, jangan menyela. Gamelan mengajarkan memahami orang lain,” kata Cermo Taksoko (62), pengrawit, memaknai.
Dari gamelan, masyarakat belajar memahami diri sendiri. Bagi mereka yang cenderung temperamental, misalnya, merasa lebih cocok main instrumen tabuh, seperti saron atau gambang. Sebab, instrumen lain, seperti rebab atau siter, lebih cocok bagi mereka yang berkarakter lembut sehingga instrumen tersebut disebut alusan. Itu setidaknya yang diserap Agung Pambudi (36) dan Fajar Sri Sadono, pengrawit. Agung lebih cocok main instrumen pukul, sementara Fajar main siter dan rebab.
Bagi pengrawit Mas Ngabehi Kadaryadi (58), gamelan mengajarkan sikap menerima, patuh, dan damai. Karena itu, dia rela menjadi abdi dalem di Keraton Surakarta selama 20 tahun dengan gaji Rp 122.000 per bulan. Dia percaya pengabdiannya akan berbuah. Dua anaknya yang sekarang kuliah S-2 dan S-1 serta menjadi dosen adalah berkah pengabdiannya itu.
Di luar nilai-nilai agung tersebut, praktik gamelan dituduh turut melanggengkan feodalisme dan sikap pasif. ”Di sana juga ada strata, ada kelas. Ini tidak pernah diomongkan karena hidup orang Jawa itu prasaja (sederhana), tidak berani ngomong. Pemain gong itu kasihan. Kalau salah, ditonton banyak orang. Namun, kalau benar, tidak ada yang memuji,” kata pegiat gamelan kontemporer Djaduk Ferianto.
Bagi Djaduk, sikap pasif seperti yang ditunjukkan banyak pengrawit melahirkan sikap tidak percaya diri. Lalu, memunculkan sikap kurang menghargai dari orang lain terhadap pengrawit dan gamelan itu sendiri. Djaduk mengalami betapa masih banyak orang yang membayar rendah pengrawit dibandingkan pemain musik modern. Dia ingin orang melihat pengrawit itu setara dengan pemain musik lain. Begitulah, kadang guru kehidupan perlu juga dikoreksi.