KOMPAS/RIZA FATHONI

Pemusik angklung turut berpartisipasi dalam arakan ritual tradisi seren taun di Kampung Adat Ciptagelar, Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (9/9/2018).

Liputan Angklung

Angklung Pemikat Nyi Sri Pohaci * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 6 menit baca

Bagi masyarakat ladang di tanah Sunda, angklung dan Nyi Sri Pohaci adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Alunan angklung akan membuat Nyi Sri Pohaci gembira sehingga menjadikan tanah Sunda subur makmur, hasil padi melimpah, gemah ripah loh jinawi.

Calik dina bale agung/Lenggahing di pancaniti/Leleson di pajuaraan/Numpi nganti seuweu siwi/Hirup hurip paripurna/Gemah ripah loh jinawi/Diaping para sesepuh/Candakna menyan satanggi/Rurujakan tujuh rupi/Tektek rook puncak manik/Rupa-rupa sasajian/Pikeun bukti ka Dewi Sri.

Larik di atas adalah potongan kidung yang dilantunkan Juru Kawih AM Soebali dalam acara Seren Taun ke-650 Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (9/9/2018). Kidung yang dilantunkan dengan iringan suling dan kecapi itu mengiringi prosesi ngadiukeun pare, yaitu prosesi memasukkan padi ke dalam leuit (lumbung padi) Si Jimat.

Prosesi yang dipimpin Pemimpin Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Abah Ugi Sugriana Rakasiwi itu berlangsung khidmat, disaksikan warga, tamu-tamu, dan wisatawan yang sengaja datang menyaksikan seren taun. Suara kidung terdengar menyayat. Ada nuansa kesedihan yang menyeruak.

Kidung itu secara keseluruhan bercerita tentang upacara seren taun yang telah menjadi ritual turun-temurun di Kasepuhan Ciptagelar. Di dalamnya ada doa dan harapan agar hasil tani mereka selalu baik, juga puja dan puji memuliakan Nyai. Nyai yang dimaksud adalah Nyi Pohaci atau disebut juga Dewi Sri, sang dewi kesuburan.

Sebelum kidung dilantunkan, lagu-lagu yang diiringi angklung khusus diperuntukkan bagi Nyai sudah lebih dulu dimainkan oleh kelompok angklung pimpinan Aki Aad. Angklung yang selalu menyertai seren taun juga disebutkan di dalam kidung, sebagai petuah leluhur yang tak boleh ditinggalkan di setiap ritual yang berhubungan dengan padi. Angklung diyakini menjadi kesukaan Nyai sehingga harus selalu ada dalam setiap ritual padi.

”Ini, kan, emang tulisan dari leluhur. Emang seperti ini. Enggak hanya yang mendengar, saya juga rasanya penuh di dalam hati. Terharu. Air mata sampai turun saat membawakannya. Ini karena Nyai itu seperti magnet untuk kita semua,” tutur Soebali (52), yang sudah lebih dari 20 tahun membawakan rangkaian kidung di acara Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar.

Kalimat Soebali itu jelas menunjukkan penghormatan yang agung terhadap Nyai. Namun, ia tak berani bercerita lebih jauh tentang Nyi Pohaci. Buru-buru dia menjawab, ”Enggak boleh.” Dia lalu memilih diam, menyisakan sorot mata dan mimik wajah yang terlihat misterius meski bibirnya menyungging senyum.

Setahun sekali, setiap kali seren taun, Soebali membawa buku berisi rangkaian kidung seren taun ke acara Seren Taun Kasepuhan Ciptagelar. Bila tidak digunakan, buku itu disimpan saja di rumahnya.

Agak sulit memastikan apakah kidung tersebut berusia 650 seperti halnya usia seren taun yang hari itu mencapai 650. Soebali juga tak paham. Yang pasti, kidung itu berasal dari leluhur mereka yang dituturkan melalui Abah Anom, sesepuh Ciptarasa sebelum menjadi Ciptagelar, yang lantas dituliskan sebagai catatan oleh Soebali.

”Bukunya enggak dibaca-baca juga. Hanya kalau mau ada ritual, diambil. Kan, seperti baca Al Quran, Yasin, kan, hafal. Tapi, tetap harus buka (buku). Ini syarat, harus ada. Kalau sudah selesai, disimpan lagi,” ujarnya.

Di bagian akhir rangkaian kidung, Soebali kembali melantunkan larik-larik kidung yang isinya berupa doa dan harapan agar hasil panen mereka di musim yang akan datang tetap melimpah. Sakitu nu kapihatur/Pamungkas, panutup catur/kasadaya dulur-dulur/Muga-muga tukang tani sugih mukti.

Komunikasi alam semesta

Penghormatan terhadap Nyi Pohaci seperti halnya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga menjadi hal utama bagi masyarakat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan. Namun, di sana, Nyi Pohaci tak hanya dipahami sebagai Dewi Padi, tetapi lebih sebagai Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi yang harus dimuliakan demi kelangsungan hidup mereka.

Sisir Gunda yang digubah oleh Pangeran Djatikusumah (86), sesepuh Sunda Wiwitan, biasa dilantunkan saat seren taun dengan iringan angklung takol. Lagu berlaras pentatonik itu tidak dikenal dalam tulisan seperti sebuah partitur, hanya untuk dihafal. Seperti ini penggalan liriknya: Aduh bagja nu bagja urang jeung urang/eyong eyong anggeanNyai Pohaci/Dina ieu seren taun di Cigugur/keur sukuran.

Menurut putri bungsu Pangeran Djatikusumah, Dewi Kanti Setianingsih (43), membunyikan alat musik bambu ibarat menjalin komunikasi dengan alam semesta. ”Suara yang dihasilkan dari resonansi bambu lebih disukai tumbuh-tumbuhan. Karena itu, memainkan musik dari bambu seperti angklung sering diwujudkan sebagai doa untuk kesuburan padi yang kita tanam,” kata Dewi.

Di sisi lain, angklung juga dimainkan untuk memanjatkan doa pada alam semesta agar hama pengganggu tanaman padi terkendali. Namun, Dewi menggarisbawahi, hal itu bukan berarti usaha untuk memusnahkan hama. ”Kita harus hidup berdampingan dan mampu mengendalikan setiap energi negatif. Begitu pula dengan hama pengganggu tanaman,” ujarnya.

Bagi warga Baduy yang berdiam di Desa Kanekes, Kecamatan Leudidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Nyi Pohaci juga diyakini sangat berperan dalam kehidupan mereka. Angklung dimainkan sebagai bagian dari ritual saat mengawali musim tanam padi hingga masa ngubaran pare (mengobati padi).

”Sesuai kisah yang disampaikan turun-temurun, musik angklung itu kesukaannya Nyai (Dewi) Sri. Ibarat anak sedang menangis, bisa terhibur dengan musik itu,” ujar Ayah Armah (46), pemain dan pembuat angklung dari Baduy Dalam.

Dia menolak menjelaskan lebih jauh tentang ”sosok” Nyai Sri karena tidak diperbolehkan adat. Armah jauh lebih terbuka berbicara tentang angklung yang tak bisa dipisahkan dari Nyai.

”Menurut petuah, Nyai Sri harus dihibur dengan angklung bila mereka hendak menanam padi. Padi yang kecil bisa menjadi besar. Bulir yang kosong lantas berisi. Kalau tak dihibur, Nyai Sri merasa panas. Lahan menjadi gersang,” ujarnya.

Setidaknya, 25 lagu dimainkan dengan angklung setiap kali tradisi itu dilakukan. Durasinya sekitar 30 menit. ”Lagu-lagu itu mengagungkan Nyai Sri supaya nyaman,” ujarnya.

Di Baduy, angklung dibuat dari bambu, tetapi pemilihan bambunya tak bisa sembarangan. Bambu tak boleh dimanfaatkan jika belum mati. ”Bambu harus berukuran besar, sudah mati, dan kering. Paling bagus jika bambunya disambar petir,” kata Armah. Saat petir menyambar, roh petir dipercaya masuk ke dalam bambu sehingga menjadikan angklung berbunyi nyaring.

Pemberi kehidupan

Berdasarkan Pantun Sulanjana, Wawacan Nyi Pohaci (versi Bandung) dan Wawacan Pohaci Terus Dangdayang (versi Bandung) yang menjadi bahan penelitian pemerhati sastra Sunda, Jakob Soemardjo, Nyi Pohaci konon berasal dari telur yang berasal dari air mata Dewa Naga Anta yang hidup di dunia atas bersama para dewa. ”Dia diberi nama Pohaci dari kata Pwah AciPwah artinya perempuan, aci inti atau hakikat. Pohaci artinya hakikat keperempuanan,” tutur Jakob.

Saat Nyi Pohaci meninggal, Dewa Guru meminta tubuhnya dikubur di dunia tengah, tempat tinggal manusia. Dari kuburnya lantas tumbuh berbagai tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat Sunda.

Padi berasal dari kedua mata Nyi Pohaci. Mata kanannya menjadi padi putih, mata kirinya jadi padi merah. Begitu juga bambu yang sangat penting dalam kultur masyarakat Sunda. Bambu yang dikenal dengan nama bambu aur berasal dari paha kanan Nyi Pohaci, paha kirinya menjadi bambu tali.

Bagian tubuh yang lain menjadi tanaman yang tak kalah bermanfaat seperti kelapa dan enau. Nyi Pohaci pun menjadi dewi yang dipuja dalam kultur masyarakat Sunda.

”Sosok Nyi Pohaci sangat dihormati dan dipuja karena padi sangat dihormati oleh masyarakat Sunda, seperti di Ciptagelar yang sejak padi ditanam sampai diangkut ke lumbung diperlakukan dengan hati-hati. Sebab, itu tubuh Pohaci,” kata Jakob.

Begitu juga saat padi dimasukkan ke dalam leuit. Posisinya harus ditidurkan. Sesajian yang melambangkan harmoni tiga dunia juga turut menyertai. ”Kalau padi mau diambil, dibangunkan dulu, ditegakkan, baru diambil untuk ditutu (ditumbuk). Ini menunjukkan Pohaci sangat mulia dan dihormati karena padi memberi kehidupan,” tambah Jakob.

Keterikatan Pohaci pada angklung, menurut Jakob, dikarenakan angklung merupakan alat musik yang merepresentasikan pola 3, yaitu dunia atas, tengah dan bawah. Membuatnya pun tak boleh sembarangan. Angklung harus dibuat dari pohon bambu yang tumbuh di tempat paling tinggi, pilihan ”dukun” angklung.

”Pohon bambu itu kemudian ditebang tiga ruas dari tanah. Setelah itu dipotong menjadi tiga bagian. Yang pangkal untuk yang ujung, yang ujung untuk yang pangkal sebagai perwujudan harmoni, penyatuan antara yang spiritual dengan duniawi yang material. Yang material dispiritualkan, yang spiritual dimaterialkan. Semua itu ada pada angklung,” papar Jakob. (DWI BAYU RADIUS/ABDULLAH FIKRI ASHRI/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA)

Artikel Lainnya