KOMPAS/RIZA FATHONI

Kelompok pemusik angklung tradisional Kampung Kasepuhan Adat Ciptagelar, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, membawakan musik tradisional di antara deretan lumbung atau leuit padi ciri khas kampung tersebut, Kamis (6/9/2018). Angklung dan padi tidak terpisahkan dari kehidupan warga Kampung Ciptagelar yang memegang teguh tradisi turun-temurun untuk memuliakan bahan makanan pokok tersebut.

Liputan Angklung

Saling Mendengarkan * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 6 menit baca

Angklung tak sekadar alat musik bermaterial bambu. Dia sakral karena hadir sebagai perwujudan harmoni antara dunia spiritual dan material yang menjadi kearifan hidup secara turun-temurun bagi masyarakat ladang yang memuliakan padi. Saat dimainkan, angklung memberi ajaran kehidupan bahwa manusia selayaknya menghargai perbedaan, saling peduli dan mendengarkan satu sama lain.

Dewi Kanti Setianingsih (43), putri bungsu sesepuh komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Pangeran Djatikusumah (86), memainkan komposisi ”Kebo Jiro” dan ”Sisir Gunda” bersama pemain angklung takol Paseban Tri Panca Tunggal Edi Dami Suryadi (14). Bunyi angklung yang ditabuh itu mengalun semarak untuk menyambut tamu di sebuah perayaan.

Komposisi lagu ”Sisir Gunda” lebih kerap dimainkan untuk mengiringi tarian menimang padi atau gabah kering yang hendak ditumbuk, sebagai penghormatan kepada Dewi Padi. Salah satunya di acara seren taun. Padi yang ditimang itu diibaratkan bayi yang bernyawa karena ada ”roh urip” atau roh hidup di padi itu.

Tahun ini, seren taun di Cigugur digelar pada awal September, bertepatan dengan tanggal 22 Rayagung di kalender Sunda. Upacara ini bermakna sebagai penutup tahun atau perayaan untuk menyambut tahun yang baru.

Ritual penghormatan dan puncak rasa syukur diwujudkan dalam simbolisasi padi. Di balik simbol padi ada penghormatan terhadap Nyi Pohaci atau Dewi Padi. Puncak perayaan dilakukan dengan ritual menumbuk 22 kuintal gabah kering bersama-sama. Jumlah 22 ini sesuai dengan tanggal 22 Rayagung. Berbagai kesenian digelar, salah satunya angklung.

Bagi masyarakat ladang, angklung telah menjadi alat musik yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. ”Untuk menengok filosofi angklung, kita mesti kembali pada filosofi bambu,” ujar Dewi Kanti, Rabu (5/9/2018).

Bambu dalam bahasa Sunda disebut awi yang bermakna asali. Saat menggunakan bambu untuk alat musik, filosofinya dikaitkan dengan mengunggah kesadaran asali. Kesadaran asali tersebut terkait dengan kebenaran hakiki karena kesadaran asali mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki.

”Agar kehidupan manusia selaras dengan alam, harus mengenali kebenaran-kebenaran hakikinya. Satu di antara semua kesadaran asali adalah menghargai keberagaman yang tercipta di bumi ini,” ujar Dewi.

Kesederhanaan dan keteraturan

Di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi, selama seren taun berlangsung, angklung juga tak bisa jauh dari padi. Hal ini ditunjukkan dari posisi bermain kelompok angklung Kasepuhan Ciptagelar yang dipimpin Karda (64) atau Aki Dai.

Bersama kelompoknya, Aki Dai selalu bermain di bagian belakang Imah Gede Kasepuhan, dekat dengan dapur yang menjadi tempat menyimpan beras dan tungku penanak nasi, bukan di panggung seperti wayang golek, jipeng (tanji-jaipong-elektone topeng (dramaturgi), dan kesenian lainnya. “Angklung, ya, di sini tempatnya. Dekat dengan padi,” tuturnya.

Hal ini, ujar Aki Dai, tak lepas dari keberadaan angklung yang memang tak bisa dipisahkan dari padi sejak awal musim tanam hingga panen. ”Pas lagi menanam, kami main (angklung) di sawah. Saat bulir padi keluar, kami main lagi. Sampai saat dimasukkan ke lumbung, angklung juga dibunyikan,” kata Aki Dai.

Angklung, ujar Aki Dai, adalah alat musik untuk menghibur Dewi Sri yang dianggap berjasa besar dalam kesuburan tanah. ”Kalau orang yang diminta senang kepada kita, pasti pemberiannya akan lebih banyak lagi. Begitu juga dengan alam, akan memberikan padi yang melimpah jika dihibur. Angklung inilah yang jadi alatnya,” ujarnya.

Sebagai alat musik, Aki Dai mengatakan, angklung mencerminkan kesederhanaan dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Karena setiap angklung memiliki nada berbeda, dibutuhkan keharmonisan dalam permainan agar bisa menghasilkan irama yang teratur.

Untuk kebutuhan adat, angklung yang dimainkan adalah angklung buhun tiga ruas. Tiga ruas ini merupakan simbol 3 yang melambangkan tiga dunia, yaitu dunia atas, tengah, dan bawah, merujuk pada fungsi angklung yang sakral sebagai penghubung dunia spiritual dan material.

Dalam satu kelompok, terdapat lima angklung ditambah dua alat musik pukul bernama dogdog, juga terbuat dari bambu. Lima angklung dibedakan berdasarkan nadanya, yaitu gonggong, panembal, kingking, inclok, dan loer. Sementara dogdog berbentuk memanjang, dan ditabuh sebagai penyeimbang. ”Angklung ini mengajarkan kehidupan. Kalau main dogdog, harus melihat ke kiri, ke kanan, dan ke belakang. Artinya, hidup jangan terus (melihat) ke depan. Kita juga harus memikirkan orang-orang di sebelah kita,” ujarnya.

Adhani (65) atau dikenal sebagai Aki Aad, sesepuh angklung Kasepuhan Ciptagelar, mengatakan, angklung adalah sebuah rangkaian yang saling mengisi dan saling mendengarkan. ”Irama harus mengikuti ritme gonggong. Jika tidak diikuti, suaranya berantakan, tidak enak didengar. Begitulah kehidupan. Harus saling peduli dan mendengarkan,” ujarnya.

Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten, mengenal angklung yang antara lain terdiri dari indung, ringkung, dongdong, engklok, gunjing, dan torolok. Indung dimainkan sebagai pemandu angklung-angklung lain.

”Kalau tidak ’melihat’ indung, suara angklung tidak akan enak didengar. Berantakan,” ujar Ayah Armah, pemain dan pembuat angklung dari Baduy Dalam. Dalam kehidupan sehari-hari, angklung merefleksikan ketaatan mereka kepada puun, sang pemimpin adat. Segala keteraturan bisa dicapai dengan mendengar dan taat pada petunjuk sang pemimpin.

Di sisi lain, angklung tetap memiliki fungsinya yang menghibur. Amin yang juga dikenal sebagai Ki Pantun dari Kampung Sawilah, Desa Kanekes, mengungkapkan, baginya, angklung juga menjadi ungkapan kegembiraan.

”Kalau susah, bunyikan angklung. Hilang kesusahan, tidak resah. Hasil panen pun bagus,” kata Ki Pantun yang menjabat sebagai pendamping jaro tanggungan 12 (pimpinan suku Baduy yang membidangi pelaksanaan adat).

Pegiat angklung dari Sanggar Angklung Lumbu di Kuningan, Pendi, mengungkapkan, angklung adalah simbol kesederhanaan, baik kesederhanaan bunyi maupun kesederhanaan bahan alaminya. Namun, meski sederhana, menurut pemusik asal Kota Bandung, Uwie Prabu, bambu memiliki kekuatan besar, berfungsi melindungi kehidupan manusia. ”Saat angin topan berembus ke arah rumpun bambu, ajaib, angin topan akan hilang,” ujarnya.

Babak baru

Setelah melalui proses pembuatan angklung kuno tanpa laras nada, berkembang menjadi tritonis dengan tiga nada, pentatonis lima nada, sampai diatonis tujuh nada, angklung kini memasuki babak baru. Angklung yang semula dikenal dengan cara memainkan yang sifatnya ”keroyokan”, komunal, kini bisa dimainkan tanpa satu tangan pun alias mengandalkan mesin robotik menjadi klungbot atau angklung robot yang diperkenalkan pengajar Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung, Eko Mursito Budi (51).

Rintisan awal klungbot menggunakan delapan motor dan tiga prosesor LEGO NXT Mindstrom yang dijalankan program LeJos. Pada pengembangan berikutnya, dilakukan melalui bahasa pemrograman Java untuk sistem robotiknya yang memberikan perintah mikroprosesor AT 328 untuk menggerakkan lengan robotik.

Klungbot menganut sistem modular. Satu modular semula menggunakan delapan buah angklung. Sekarang sudah dipatenkan dengan satu modular menggunakan 16 buah angklung. Untuk memenuhi panjang atau pendeknya oktaf, tinggal ditentukan sedikit atau banyaknya modular tersebut.

Klungbot dilengkapi perangkat lunak canggih guna memainkan seperangkat angklung dengan berbagai jenis musik dan lagu. Robot ini berupa perangkat mikroprosesor yang dilengkapi banyak motor dan lengan mekanis. Robot ini kemudian dikontrol oleh sebuah komputer.

”Dengan klungbot, anak-anak TK atau SD akan mudah memainkan angklung. Bisa untuk memainkan aransemen musik angklung yang komplit, juga berkolaborasi dengan alat musik modern,” kata Eko. Dalam kemodernan, harmonisasi tetap dibutuhkan. (SAMUEL OKTORA/DWI BAYU RADIUS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/ABDULLAH FIKRI ASHRI)

KOMPAS/RIZA FATHONI

Kelompok pemusik angklung tradisional Kampung Kasepuhan Adat Ciptagelar, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, membawakan musik tradisional di antara deretan lumbung atau leuit padi ciri khas kampung tersebut, Kamis (6/9/2018). Angklung dan padi tidak terpisahkan dari kehidupan warga Kampung Ciptagelar yang memegang teguh tradisi turun-temurun untuk memuliakan bahan makanan pokok tersebut.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pekerja menyetem angklung di bengkel produksi Saung Angklung Udjo di kawasan Pasirlayung, Cibeunying Kidul, Kota Bandung, Jumat (7/9).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Dosen Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), Eko Mursito Budi, memainkan klungbot, robot buatan tim mahasiswa ITB di bawah bimbingannya, Jumat (7/9). Eko telah membuat empat paten untuk angklung robot dan analisis akustik angklung.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Ayah Armah, warga Desa Cikartawarna, Kampung Baduy Dalam, bersama angklung buhun khas Baduy saat tengah berada di luar Kampung Baduy Dalam, tepatnya di sebuah saung huma ladang di Desa Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (6/9).

Artikel Lainnya