KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana di tepi pesisir kota kecil Ba'a yang menjadi ibukota Rote, Nusa Tenggara Timur, Selasa (30/10/2018).

Liputan Sasandu

Denting Pengantar Doa * Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 6 menit baca

Selama sasandu terus berdenting di penjuru Rote, Nusa Tenggara Timur, kemakmuran tak akan meninggalkan Rote. Pohon-pohon lontar akan terus memberikan kehidupan, ladang dan sawah akan terus memberikan hasil, dan masyarakat Rote hidup berkecukupan dalam damai. Denting sasandu mengantarkan doa itu.

Rabu (31/10/2018) pukul 11.00 Wita, matahari bersinar terik di Rote, NTT. Hawa terasa panas, meninggalkan jejak kemerahan di kulit dan bulir keringat mengalir deras. Sudah berbulan-bulan tak ada hujan di Rote. Di mana-mana, terlihat tanah pecah dan retak. Pepohonan pun meranggas kekeringan, menyisakan ranting rapuh. Hanya pohon-pohon lontar yang tetap rimbun dan hijau.

Di pinggir pantai tak jauh dari Tempat Pendaratan Ikan Tulandale, dua pemain sasandu gong, Stevanus Ki’ak (28) dan Anderias Thonak (52), memainkan lagu ”Batu Matia”. Di tengah alam terbuka, denting sasandu tradisional bersenar 9 itu terdengar nyaring, begitu melodius. Sasandu, selama ini biasa kita sebut juga sebagai sasando.

Sembari melantunkan syair ”Batu Matia” dalam bahasa Rote, jari-jemari Stevanus dan Anderias bergerak mengantarkan melodi dalam pola ritmis yang berulang. Daun lontar lebar yang berfungsi sebagai resonator pada sasandu, menutupi kelincahan jemari mereka.

”Batu matia artinya batu yang keras. Syairnya berkisah tentang alam Rote yang keras. Tapi hidup harus tetap dijalani,” ujar Stevanus. Lagu itu menuturkan keharmonisan hidup masyarakat Rote yang dalam suka-duka, berupaya mencapai kesejahteraan.

”Batu Matia” lalu disambung dengan ”Teo Renda”. Melodinya lebih riang dan penuh semangat karena lagu ini biasa dinyanyikan dengan syair yang menggambarkan ucapan syukur pada Tuhan dan para leluhur atas hasil panen.

”Syair-syair lagu sasandu zaman dulu biasanya memang menggambarkan kehidupan masyarakat Rote. Meski nada lagunya sama, syairnya tidak persis sama. Tiap kecamatan punya syair tersendiri dengan tutur (dialek) yang berbeda,” kata Christian Dae Panie, pegiat seni musik yang aktif mengembangkan sasandu di antara generasi muda Rote.

Menurut Christian, sebagaimana kisah yang dituturkan orang-orang tua, sasandu sesungguhnya merupakan simbol kemakmuran. Sasandu dimainkan dalam ritual khusus memanggil arwah leluhur agar membantu menyejahterakan warga Rote. Hal ini dilatari kondisi alam Rote yang keras.

”Syair-syairnya khusus, dimainkan dengan sasandu dan pukulan gong serta tari kebersamaan. Kalau permintaan direstui, akan turun hujan,” kata Christian. Ritual dimaksud adalah hus.

Dalam buku yang ditulis oleh Paul A Haning, Pertanian Tradisional (2011) dan James J Fox, The Rotinese: The Study of Social Organization of an Eastern Indonesian People disebutkan, hus adalah upacara pertanian. Hus diambil dari akar kata hu yang berarti pangkal atau asal mula atau sumber.

Orang Rote percaya, kesejahteraan hidup mereka bersumber dari hasil pertanian. Hasil yang dicapai adalah berkah dari Tuhan. Karena itu, mengucap syukur atas berkat yang diterima dan memohon berkat berikutnya adalah mutlak. Dalam upacara hus, terdapat beberapa acara, pawai kuda hias, lomba pacuan kuda, dan doa-doa.

Selain mengantar ucapan syukur pada Tuhan, hus juga dilakukan untuk mengantar doa agar Tuhan menurunkan hujan melimpah sehingga hasil pertanian tahun berikutnya lebih baik. Mereka juga berdoa agar lontar menghasilkan nira yang melimpah, juga berdoa agar masyarakat beroleh kekuatan dalam bekerja.

Hus menjadi pesta rakyat yang menandai awal penghitungan siklus pertanian, dilaksanakan sebelum puncak musim sadap lontar. Saat ini, hus masih digelar di Boni, Rote Barat Laut, dan menjadi salah satu atraksi pariwisata yang ditawarkan kepada turis.

Menebar cinta

Penelitian yang dilakukan oleh Ganzer Lana, pemain sasandu asal Atambua yang menimba ilmu di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia di Yogyakarta mengungkapkan hal serupa. Menurut Ganzer, sasandu yang berasal dari kata sari (dipetik) sandu (bergetar), lahir dalam kaitan dengan acara ritual tertentu. ”Awalnya, sasandu diciptakan sebagai media untuk berdoa,” ungkap Ganzer.

Penciptaan sasandu memiliki tiga tujuan, yakni kemakmuran, menebarkan cinta, serta sebagai hiburan. Kemakmuran, ujar Ganzer, menjadi hal yang sangat sentral bagi orang Rote karena saat itu di sana tidak ada makanan. ”Yang ada hanya lontar. Hujan juga kapan (jarang). Dari situ lahir sasandu sebagai media untuk berdoa, salah satunya untuk memohon hujan,” ujarnya.

Sasandu juga dipercaya mampu mengalirkan energi positif untuk menebarkan cinta. Ini bisa dimaknai ganda, menebarkan cinta dalam semangat komunal untuk merangkul kebajikan, kebersamaan, serta persaudaraan, sekaligus menebarkan cinta dalam lingkup yang lebih pribadi.

”Kisah yang terjadi di Pulau Ndana itu adalah sejarah penyalahgunaan sasandu. Sasandu digunakan untuk memikat lawan jenis,” kata Ganzer.

Elias Ledoh (79), pemain sasandu yang banyak bersinggungan dengan sejarah sasandu, menuturkan, menurut salah satu catatan sejarah, Pulau Ndana adalah tempat ditemukannya sasandu.

Kisahnya bermula dari terdamparnya Sangguana dan Manukoa di Pulau Ndana. Di situ, Sangguana memenuhi permintaan raja Ndana untuk menciptakan sebuah alat musik. Namun, alat yang jadi cikal bakal sasandu itu justru membuat putri raja terpikat, hingga sang putri berbadan dua. Di tempat asalnya, Sangguana telah beristri dan tengah hamil besar.

Sangguana akhirnya harus menerima murka raja. Nasibnya pun berakhir di Pulau Ndana. Bertahun-tahun kemudian, anak Sangguana, Nella Sanggu, datang ke Pulau Ndana dan membalas dendam. Dia menghabisi hampir semua penghuni Pulau Ndana.

Secara pribadi, Ganzer menyikapi hal itu dengan kesadaran bahwa saat memainkan sasandu, dirinya juga ibarat menaburkan cinta kepada pendengarnya sehingga semua bisa menikmati. ”Bagiku ini ibadah, berkebaikan,” ujarnya.

Di sisi lain, dengan memainkan sasandu, Ganzer juga merasa menjadi pribadi lebih baik, terutama dalam memperlakukan sesama. ”Marah sudah jadi hal yang tak penting lagi.”

Relevansi

Pada masa kini, ketiga fungsi sasandu tetap menemukan relevansinya. Pemain sasandu muda asal Kupang, Vivian Tjung, adalah salah satunya. Berkat sasandu, Vivian bisa menikmati kemakmuran, berkeliling ke seluruh Indonesia, juga berbagai belahan dunia.

”Sasando (pengucapan sasandu, ketika di Kupang menjadi sasando) juga lebih dari sebuah alat musik. Dari bentuk daun lontar yang bulat menunjukkan bahwa di dalamnya ada persatuan dan kesatuan,” kata Vivian. Dalam konteks ini, sasandu menemukan relevansinya sebagai alat untuk menebarkan cinta kepada sesama.

Pengalamannya mempelajari sasandu selama bertahun-tahun juga mengajari Vivian satu hal penting. Baginya, sasandu tak semata benda mati. ”Bila tidak dimainkan dengan hati, bunyinya pasti jelek. Berbeda kalau dimainkan dengan hati. Ini mengajarkan Vivian bahwa dalam setiap kehidupan, apa pun harus disertai dengan hati sehingga akan memberikan efek baik bagi semua orang, juga bagi Vivian,” katanya.

Jackob Hendrich A Bullan, pemain sasandu asal Rote yang kini bermukim di Jakarta, pernah merasa dipandang sebelah mata saat pertama kali memperkenalkan diri sebagai pemain sasandu pada 2.000. Kini, masa-masa itu sudah tertinggal jauh di belakang.

”Sasando hari ini tidak dilihat seperti itu lagi. Saya main saat Obama datang ke Bali, lalu saat APEC di depan 12 kepala negara. Saya juga tetap main di istana sampai sekarang. Pada zaman Presiden SBY, saya malah main hampir setiap minggu,” kata Jackob.

Sejak 2008, Jackob telah mengunjungi 40 negara. ”Saat main di Belanda saya kira baru saya orang pertama yang mainsasando di sana. Ternyata saya lihat, tahun 1500, Raja Rote sudah main sasando di sana,” kata Jackob yang sudah 7 kali tampil di Belanda.

Jackob juga menikmati kemakmuran sebagai pembuat sasandu elektrik yang bisa menjual alat musik itu hingga puluhan juta rupiah per buah. Stevanus, yang setia pada sasandu gong, pun turut menikmati kemakmuran. ”Dari main sasando saya bisa pergi ke mana-mana tanpa keluar biaya sendiri,” katanya.

Bagi Japri Imanuel Nunuhitu (35) yang berdarah Ndana, memainkan sasandu juga bermakna mengirimkan pesan cinta. Dia yakin, tak ada orang yang tak akan terhibur mendengar denting sasandu. ”Apalagi kalau bukan cinta. Saya saja yang orang Ndana, sekarang malah membuat dan memainkan sasando. Tidak ada rasa dendam. Kalau mengikuti dendam, pasti tak akan ada habisnya,” ujanya.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Vivian Evelyn Christine atau Vivian Tjung memainkan lagu dengan alat musik sasandu di tepi Pantai Lasiana, Kupang, Senin (29/10/2018).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah pohon Lontar hidup diantara pemukiman penduduk di Kota Kupang, Minggu (28/10/2018).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Monumen Sasandu yang berdiri di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/10/2018).

Artikel Lainnya