KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Stevanus Ki’ak dan Anderias Thonak (kiri) memainkan alat musik sasandu gong di Ba’a, Rote, Nusa Tenggara Timur, Rabu (31/10/2018). Pulau Rote menjadi asal leluhur alat musik dawai yang khas dengan resonansi daun lontar ini. Namun, di tempat kelahirannya, tidak banyak daya dukung untuk mengembangkan alat musik ini. Hanya sebagian seniman dan warga yang memainkannya dan tetap menyadari bahwa alat musik itu merupakan kekayaan budaya setempat.

Liputan Sasandu

Sasandu: Lontar adalah Susu * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 7 menit baca

Orang Rote, Nusa Tenggara Timur, menyebut lontar sebagai pohon kehidupan. Setiap jengkal bagian pohon lontar memberikan manfaat ibarat air susu ibu yang memberikan kehidupan bagi anak-anaknya.

Hari masih pagi di Desa Daudolu, Kecamatan Rote Barat Laut, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Sinar matahari yang hangat menerobos dari sela-sela pohon lontar yang tinggi menjulang ke angkasa.

Kesibukan terlihat di halaman belakang kediaman Margaretha Lani (53). Bersama adik-adiknya, Mama Ita, begitu Margaretha biasa disapa, bahu-membahu membuat gula lempeng. Salah seorang dari mereka bertugas memasak nira hasil irisan pagi tadi. Tangannya cekatan mengaduk tiga panci air nira di atas perapian yang ada di depannya.

Setiap panci memiliki tingkat kematangan berbeda. Panci di ujung kanan berisi air nira yang dimasak lebih dulu sehingga akan matang lebih cepat. Setelah diangkat, air nira masak berwarna putih sedikit kental itu dituang ke dalam batok kelapa. Lalu, ditumbuk kuat-kuat menggunakan batang pisang hingga menjadi karamel berwarna coklat muda.

Karamel ini kemudian dituang ke dalam papan yang di atasnya sudah ditata gelang-gelang lontar berdiameter sekitar 2,5 sentimeter. Tak sampai setengah jam, adonan akan mengeras. Itu tandanya gula lempeng sudah jadi. Proses itu diulang kembali hingga air nira yang ada habis.

Mengikuti orangtuanya, pekerjaan membuat gula lempeng sudah dilakoni Margaretha sejak dulu. ”Untuk hidup hanya ini saja. Dari orangtua masih ada, kami punya kerja hanya gula lempeng. Iris lontar,” ujarnya.

Suami Margaretha yang biasa pergi untuk mengiris lontar. Hasilnya lalu diolah menjadi gula lempeng oleh Margaretha. Dalam satu hari, ia bisa membuat 400 gula lempeng, tergantung dari nira yang dihasilkan.

Untuk setiap 15 gula lempeng, dijual Rp 10.000. Seminggu dua kali, dia membawa gula lempeng ke Pasar Busalangga. ”Sekali bawa kalau diuangkan bisa sampai Rp 500.000-Rp 600.000. Dalam satu minggu bisa mendapat Rp 1 juta, bahkan lebih,” ujar Margaretha.

Uang hasil penjualan gula lempeng itu digunakan untuk berbagai kebutuhan, yaitu biaya sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari.

Salah satu anaknya sudah rampung kuliah dan bekerja sebagai tenaga honorer di kantor agama di Kupang. Satu lagi bersekolah Alkitab dan sudah menikah di Kupang. Adapun si bungsu sudah tamat SMA dan sekarang bekerja di Jakarta. ”Semua dihidupi dari lontar. Dari orangtua, kami punya nenek moyang, hanya ini saja,” katanya.

Sesekali Margaretha juga membuat gula semut. Margaretha adalah Ketua Kelompok Gula Semut di desanya. Namun, karena proses membuat gula semut lebih lama, sementara hasilnya jauh di bawah gula lempeng, gula semut pun hanya dibuat apabila ada pesanan. ”Gula semut 5 mug susu Rp 20.000. Kerjanya berat. Gula lempeng, 30 biji sudah dapat Rp 20.000,” katanya.

Selain dibuat menjadi gula lempeng dan gula semut, air nira dibuat menjadi gula air atau gula cair yang biasa digunakan sebagai bekal bekerja di sawah. ”Kalau sudah minum gula air, tidak lapar lagi,” kata Margaretha.

Seperti umumnya masyarakat Rote, lontar-lontar milik Margaretha juga digunakan untuk keperluan lain. Margaretha menggunakan batang lontar menjadi tiang penyangga rumah, pelepahnya sebagai pagar halaman kebun, dan daunnya untuk atap rumah.

”Bagi mama, lontar ini betul-betul pohon kehidupan. Dia itu seperti susu. Hidup Mama, semua dari pohon lontar,” kata Margaretha. Namun, dia resah, tak ada lagi anak muda yang mau bekerja mengolah lontar, mengiris atau membuat gula lempeng.

Kemakmuran

Di Desa Tuanatuk, Kecamatan Lobaian, Rote Ndao, lontar juga telah menjadi bagian hidup keluarga Amelia Otto (58). Sejak 10 tahun terakhir, Amelia menganyam daun lontar menjadi kerajinan, seperti ti’ilangga (topi khas Rote), tondas (tempat sirih pinang), bakul, tikar, dan miniatur sasandu.

Keahlian itu dia tularkan kepada suaminya, Lazarus Ki’ak (71), yang khusus membantu membuat ti’ilangga. Juga kepada anaknya, Nona Ki’ak alias Mama Elsi (40), dan diikuti cucu-cucunya.

Amelia mewarisi keahlian membuat anyaman lontar dari ayahnya. ”Kami memilih lontar karena sudah menjadi tradisi di Rote, semua bisa dibuat dari lontar,” kata Nona.

Saat ini, pesanan terbanyak berupa topi ti’ilangga. Pengerjaannya membutuhkan waktu selama dua hari dengan harga jual Rp 100.000-Rp 150.000. Untuk memenuhi pesanan, mereka kerap harus bergadang.

”Bagi kami, lontar ini penopang hidup. Sawah, dalam satu minggu belum menghasilkan. Kalau topi, seminggu bisa mendapat Rp 300.000-Rp 400.000. Ini jauh dari cukup,” kata Nona. Dia berharap, di masa depan, lontar terus memberikan kemakmuran bagi keluarganya.

Anderias Thonak (52) yang tinggal tak jauh dari pelabuhan Baa, Rote, juga menikmati kemakmuran lontar. Mengikuti jejak sang ayah yang merupakan pemain sasandu, sejak usia 20 tahun, Anderias tak hanya membuat sasandu, tetapi juga memainkannya.

”Saya belajar dari Bapak saya. Dulu kalau Bapak saya keluar, saya sering ikut pukul-pukul sasandu minta main. Lama-lama senang,” kata Anderias yang fokus membuat sasandu gong.

Sasandu gong adalah sasandu tradisional yang dimainkan bersama gong. Senarnya hanya 7 buah. Salah satu bahan utama pembuatan sasandu gong adalah daun lontar, setidaknya berukuran panjang 50 cm.

Anderias mengerjakan seluruh proses pembuatan sasandu gong secara manual belaka. Fungsi lontar pada sasandu adalah sebagai resonator. Satu sasandu dikerjakan selama dua hari. Pembelinya datang dari Surabaya, Bali, dan juga Jakarta. Dia mematok harga mulai Rp 200.000 per sasandu.

Selain membuat sasandu, Anderias juga kerap diundang bermain sasandu berpasangan dengan Stevanus Ki’ak (28). ”Biasanya kami main di acara adat, penyambutan tamu, di tempat orang pinangan, juga di acara kematian. Pernah pergi main ke Jakarta, Bali, dan Salatiga berulang kali,” kata Anderias.

Dia senang, berbekal sasandu, ia bisa melanglang ke berbagai tempat tanpa keluar uang pribadi sepeser pun. ”Kalau yang mendengar senang, terhibur, sebagai pemain sasandu saya juga senang dan bangga,” katanya.

Saiboa

Lontar dalam bahasa Latin dikenal dengan nama borassus (Flabelifer) sejenis palem dengan batang tunggal. Tingginya bisa 15-30 meter dengan diameter batang sekitar 60 cm. Jenis pohon palem lain yang juga dimanfaatkan adalah pohon gewang (Corypha elata Roxb) yang banyak tumbuh di Rote. Umumnya, kedua pohon palem ini tidak ditanam, tetapi tumbuh subur. Sebab itu, Rote disebut ”The Island of Thousand Palms”.

Dari laut

Dalam bahasa lokal, lontar dikenal dengan nama saiboaSai berarti laut, boa berarti buah. Saiboa artinya buah dari laut, diucapkan saboak. Dari cerita yang berkembang di Rote, saiboa ditemukan pertama kali terapung-apung di lautan. Namun, warga tidak mengetahui nama buah tersebut.

”Dulu kan di Rote tidak ada lontar, adanya di India sana,” kata Elias Ledoh (79), salah seorang penutur. Elias adalah seniman sasandu yang kini pensiun. Dia banyak bersinggungan dengan sejarah Rote, termasuk soal sasandu dan lontar.

Buah itu, lanjut Elias, setelah membusuk, lalu pecah dan tumbuh menjadi tiga pohon. Dari saiboa, pohon itu kemudian dikenal sebagai pohon tuak dan lambat laun dikenal sebagai pohon lontar.

Diyakini, lontar pertama kali tumbuh di Nusak (kerajaan) Ringgou, Rote Barat Laut, sekitar tahun 1400. Dari situ, lontar berkembang ke seluruh daratan.

Data Pemerintah Kabupaten Rote Ndao menunjukkan, luas tanam lontar di daerah itu 16.606 hektar. Tahun 2016, produksi nira mencapai 929,84 ton. Secara keseluruhan, Rote Ndao memiliki luas 1.280,10 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 143.155 jiwa (tahun 2016).

Sesuai dengan anjuran orang-orang pintar, untuk ”menikmati” pohon lontar, tangkai bunga pohon lontar harus dipotong agar meneteskan air yang bisa diminum. ”Itulah makanan orang Rote pertama kali dulu. Utamanya membantu ibu-ibu yang punya bayi. Lontar itu makanan asli orang Rote,” kata Elias.

Di Rote, ada keyakinan, sebelum seorang bayi menyusu air susu sang mama, dia harus lebih dulu mengenyam air nira lontar yang dioleskan di bibir dan lidahnya. Setelah itu, baru sang bayi diberi air susu mamanya.

Ini menjadi penanda bahwa sang bayi telah meminum makanan pokoknya sejak bayi sampai kelak akhir hidupnya. Setelah mati, orang Rote dikubur dalam peti mati terbuat dari kayu lontar.

Dalam buku Max Havelaar karya Multatuli, ada bagian yang mengisahkan pengalaman pedagang kopi asal Amsterdam, Batavus Drystubble. Dia mendapat naskah dari Scarfman, penulis, yang menyebutkan, Rote adalah negeri di bagian selatan Pulau Timor yang penduduknya tidak makan.

Pandangan senada disampaikan Christian Dae Panie, pegiat seni di Rote mengutip James J Fox, antropolog asal Amerika Serikat (kini di Australian National University) yang pernah meneliti Rote, juga Sawu (Pulau Sabu, NTT). Penduduk dari kedua wilayah ini adalah satu-satunya masyarakat di dunia yang meminum makanannya.

Hal itu terkait dengan cara hidup orang Rote yang bertahan di musim-musim sulit. Salah satu buku James J Fox yang penting soal itu adalah Harvest of the Palm (1977).

”Makanya, tahun 1965, kala Indonesia dilanda masalah pangan, di Rote tidak terjadi karena ada lontar,” ujar Christian Dae Panie.

Rote, yang merupakan wilayah di busur selatan Indonesia, memiliki iklim relatif buruk. Musim hujan tidak teratur, musim kemarau panjang dengan siklon tropis, kondisi tanah sulit meresap air dan mudah mengalami erosi sehingga sangat kering saat kemarau.

Curah hujan di Rote tercatat 1.165 mm per tahun, bahkan bisa kurang dari itu. Di Baa, ibu kota Rote, menurut ahli hidrologi asal Inggris yang pernah mengukur sumber-sumber air di Rote, curah hujan selama 15 tahun hanya 960 mm. Tak heran apabila sehari-hari, cuaca di Rote sangat panas. Pepohonan kering meranggas, dengan kondisi tanah yang pecah-pecah.

Dahulu, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas berkah lontar, setelah musim iris lontar habis, petani biasa membuat arak-arakan upacara pengucapan syukur. Mana kala dibutuhkan, upacara tersebut selalu digelar. Di acara itu sasandu biasanya dimainkan.

Begitu besarnya manfaat lontar bagi masyarakat Rote, tetapi hingga kini pengolahan lontar yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Rote masih bersifat tradisional. Hal itu tampak dalam praktik sehari-hari masyarakat Rote.

Dr Wilson M A Therik dalam bukunya, Relasi Negara dan Masyarakat, di Rote menyebut, pengolahan lontar masih sebatas pengolahan tradisional, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Padahal, dengan budaya mengiris lontar yang sudah ada sejak dulu, seharusnya orang Rote memperoleh keuntungan ekonomi lebih besar untuk menjamin kehidupan mereka.

Artikel Lainnya