Tihingan hanya sebuah desa kecil di pinggiran Kabupaten Klungkung, Bali. Akan tetapi, dari tungku-tungku kecil para perajin di desa itu, perjalanan gamelan Bali dimulai. Setelah menempuh masa ratusan tahun, kini gamelan Bali tak hanya menyebar ke sekitar Bali, tetapi juga melanglang buana hingga mancanegara.
Kami menyusuri gang-gang kecil berkelak-kelok sebelum tiba di rumah Komang Gede Suyasa (46) di Desa Tihingan, Minggu (8/7/2018). Suasana sepi karena sebagian warga sedang sibuk mempersiapkan upacara ngaben massal yang akan dilakukan beberapa hari kemudian. Memasuki gerbang rumah Suyasa, di sebelah kanan terdapat tungku pembakaran logam. Di sebelah kiri, Ni Nyoman Tampa (40) sedang menghaluskan permukaan alat musik kenong. Perempuan itu tampak perkasa tanpa masker pelindung mulut dan hidung dari paparan partikel-partikel logam.
Suara derit yang ditimbulkan mesin gerinda mengikis permukaan logam menyeruak ke seluruh desa. Sementara percik-percik bunga api berlompatan dari mulut tungku. Namun, dua pekerja tampak tenang-tenang saja. ”Kami sudah biasa,” kata salah satunya.
Tak lama kemudian, Suyasa bergerak ke depan tungku. Ia membakar lempengan logam kuningan sampai membara. Lalu, tiga pekerja, termasuk Ni Nyoman Tampa, bersiap memukulkan palu besi untuk membentuk lempengan tadi jadi kenong. Suara pukulan palu besi di atas logam berdentang-dentang tajam.
Aktivitas pembuatan bilah-bilah gamelan berlangsung setiap hari di rumah Suyasa. Ia mempekerjakan lima karyawan untuk membantunya melayani pesanan demi pesanan yang terus mengalir. Di rumah-rumah lain juga terdengar suara serupa. Desing suara mesin gerinda berpadu dengan pukulan-pukulan palu besi di atas lempeng logam. Suara-suara itu seolah mengabarkan kehidupan di Desa Tihingan.
”Saya menjalankan usaha ini sudah sekitar 30 tahun. Sebelumnya, bapak dan kakek saya. Jadi, sudah turun-temurun. Baru tahun ini saya memakai nama, perajin gong Putra Sentana,” tutur Suyasa. Ia adalah generasi keempat sebagai pembuat gamelan dalam silsilah keluarganya. Apabila dirunut ke belakang, usaha yang dimulai oleh leluhurnya itu diperkirakan sudah berlangsung selama ratusan tahun.
”Sudah sejak zaman kerajaan,” kata Suyasa. Kerajaan yang dimaksud adalah Kerajaan Gelgel di Klungkung.
Sebagaimana informasi yang beredar di kalangan perajin gamelan di desa itu, Tihingan diyakini merupakan cikal bakal pembuatan gamelan di Bali. Hal ini dibuktikan dari penemuan perapian gamelan yang biasa disebut prapen pada 2004. Letaknya di sebuah tebing tak jauh dari Pura Desa, berdekatan dengan sungai. Namun, berdasarkan penemuan prapen itu, tidak diketahui jelas sejak kapan aktivitas pembuatan gamelan di Tihingan dimulai. Dari tebing itu, aktivitas pembuatan gamelan kemudian berpindah hingga masuk ke kawasan permukiman.
Saat ini, selain usaha gamelan rumahan Suyasa, terdapat sedikitnya 60 rumah atau keluarga lain yang juga menjalankan usaha pembuatan gamelan dari total 260 keluarga yang ada di Tihingan. ”Sekarang kami sudah berani hidup dari membuat gamelan,” kata Suyasa.
Momentum kebangkitan
Menurut Suyasa, usahanya menerima pesanan mulai dari gangsa, ceng-ceng, hingga perangkat gamelan lain. Hanya gong yang diambil dari Solo, Jawa Tengah, karena ia, seperti halnya pemilik usaha gamelan rumahan lain di Tihingan, kesulitan tenaga kerja. ”Tetapi tetap dilaras di sini,” katanya.
Sejak 34 tahun lalu, tepatnya tahun 1985, ketika Pesta Kesenian Bali (PKB) semakin marak, pesanan gamelan tak pernah berhenti. Sebelumnya, pesanan gamelan hanya ramai menjelang upacara, seperti Galungan.
Tidak mengherankan jika PKB lantas disebut sebagai momentum kebangkitan industri gamelan Bali. Warga yang semula lebih banyak bekerja sebagai petani pun beralih menjadi perajin gamelan.
Di Tihingan, selain usaha gamelan rumahan, juga sudah terdapat ruang pamer (show room) gamelan. Jumlahnya mencapai 25 unit meski lokasinya masih tetap di rumah-rumah warga.
Suyasa setiap hari menerima pesanan setidaknya satu karena dia memang hanya menerima pesanan satuan. Jumlah tersebut baginya sudah lebih dari cukup. Dia bahkan bisa membayar pekerjanya dengan upah Rp 150.000-Rp 250.000 per hari, bergantung pada kemampuan si pekerja.
Selain Suyasa, usaha gamelan rumahan lain di Tihingan juga lebih condong menerima pesanan dalam bentuk satuan. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan para perajin menerima pesanan satu set gamelan.
”Kami enggak ada modal kalau pesanan satu set,” ujar Ketut Sumantra, pemilik usaha gamelan rumahan lain di Tihingan. Saat ini, harga seperangkat gamelan Bali buatan Tihingan berkisar Rp 200 juta-Rp 400 juta.
Meski lebih dari seperempat penduduk Tihingan bermata pencarian sebagai perajin gamelan, bisa dikatakan tak ada persaingan antarwarga. Menurut Sumantra, setiap pelaku usaha meyakini, bagi warga Tihingan, menjadi perajin gamelan adalah anugerah.
Karena saat ini tenaga kerja sulit didapat, sistem pewarisan ilmu pembuatan gamelan pun dilakukan dengan cara magang, setidaknya selama satu tahun. Itu terbilang singkat karena kini perajin umumnya hanya fokus pada satu alat tertentu.
Dahulu perajin gamelan dituntut menguasai pembuatan semua perangkat gamelan. Laras nada juga dilakukan hanya dengan mengandalkan pendengaran. Sementara kini, meski masih banyak yang menggunakan cungklik, alat laras nada dari bilah-bilah bambu, banyak perajin menggunakan aplikasi.
Dari Tihingan, gamelan-gamelan hasil karya para perajin juga ditampung oleh perusahaan gamelan lebih besar di kawasan Blahbatuh, Gianyar. Di sana, pembeli umumnya membeli gamelan lengkap. Kisaran harganya Rp 200 juta-Rp 600 juta dengan waktu pembuatan empat bulan.
Sebelum peristiwa bom Bali 2002, ekspor gamelan Bali sering dilakukan oleh perusahaan gamelan dari Blahbatuh, salah satunya oleh perusahaan gamelan Sidha Karya. Gamelan-gamelan tersebut dipesan untuk memenuhi permintaan dari sekolah-sekolah di luar negeri, juga seniman-seniman yang ingin berkolaborasi dengan gamelan Bali.
”Sejak masih dipegang bapak dulu, kami sudah ekspor. Paling dominan Jepang dan Amerika Serikat. Mereka, kan, sampai bikin grup gamelan Bali. Di Amerika Serikat, namanya Sekar Jaya. Di Jepang, namanya Sekar Jepun. Itu gamelannya dari sini,” kata I Wayan Pager (57). Beberapa peminat pribadi dari China, Taiwan, dan Hong Kong juga biasa memesan kepada Pager yang kerap disapa dengan nama Mangku.
Cerah
Mangku adalah pemilik Sidha Karya generasi ketiga. Meski kini bermukim di Blahbatuh, Mangku dan leluhurnya juga berasal dari Tihingan. ”Buyut saya pindah ke Blahbatuh hampir 200 tahun lalu. Mereka membawa keahlian dari Tihingan ke sini,” ujarnya.
Meski begitu, hingga kini, Mangku tetap mengambil suplai gamelan dari Tihingan. Sekitar 60 persen gamelannya diambil dari sana. Sisanya dibuat di bengkel kerja yang merangkap tempat usahanya di Blahbatuh.
Karena mewarisi darah pembuat gamelan, Mangku tak kesulitan menjalankan usaha sebagai perajin gamelan. Selain mampu membuat gamelan, sejak kecil ia juga sudah berkecimpung di bisnis gamelan. Ia pun memiliki keahlian melaras nada.
”Kalau warisan dari orangtua, ya, lewat telinga. Sekarang, saya juga memiliki digital tuner,” katanya. Meski memiliki standar laras nada, Mangku umumnya juga mengikuti selera konsumen karena banyaknya laras nada di gamelan Bali.
Seiring dengan membesarnya pasar gamelan di dalam negeri, khususnya Bali, yang saat ini tengah populer dengan gamelan gong kebyar, pelaku usaha gamelan pun semakin banyak. ”Sekarang, biarpun ekspor agak kurang, untuk pasar Bali saja kami sampai enggak bisa ambil,” ujarnya.
Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar I Gede Arya Sugiartha menambahkan, ”Dulu yang punya gamelan pasti desa, perangkat desa, desa adat, banjar adat, kemudian sekehe atau organisasi gamelan. Sekarang, banyak juga yang memiliki secara perorangan. Ini karena gamelan dianggap sebagai status sosial.”
Dengan perkembangan gong kebyar yang demikian pesat di Bali, Sugiartha yakin masa depan gamelan Bali akan terus cerah. Apalagi, saat ini juga makin banyak anak muda mulai melakukan eksplorasi baru terhadap gamelan. Ini berarti, di masa depan, denyut Tihingan pun akan semakin cepat. Suara dentang logam beradu logam akan terus terdengar.