KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Perajin menyelesaikan pembuatan kolintang menggunakan bahan baku kayu cempaka di Desa Leilem, Kecamatan Sonder, Minahasa, Sulawesi Utara, Kamis (7/6/2018). Satu set kolintang ditawarkan dengan harga Rp 40-60 juta.

Liputan Kolintang

Kolintang: Bahasa Pergaulan Tong-ting-tang…

·sekitar 4 menit baca

Sepuluh remaja usia sekolah menengah atas dan kuliah berjajar rapi di sanggar asuhan Luddy Wullur, di Desa Lembean, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Mereka bersiap di belakang kolintang masing-masing. Luddy Wullur memberi aba-aba agar mereka menyanyikan lagu, menabuh kolintang, sembari menari. Anak-anak itu pun sesekali memutari kolintang sambil tangannya memukul-mukul bilah. Kadang kala, tubuh mereka meliuk seperti menari.

Sekitar 50 kilometer dari tempat mereka latihan, anak-anak usia sekolah dasar sampai sekolah menengah atas berlatih kolintang di Rumah Budaya Nusantara Wale Ma’zani Tomohon asuhan Joudy Aray dengan gaya lebih rancak. Mereka berputar, berkacak pinggang, menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat, berteriak, lalu mengaum seperti singa. Sesekali mereka saling melampar tawa atau tersenyum gembira. Lagu ”Yamko Rambe” khas Tanah Papua mereka nyanyikan dengan gaya baru.

Menyaksikan para pemain kolintang asuhan Luddy dan Joudy seperti melihat sekelompok anak muda tengah berpesta. Mereka melepaskan segala tawa dan gairah kegembiraannya. Bermain kolintang tanpa beban.

Luddy menjelaskan, apa yang mereka mainkan itu merupakan kreasi baru. Salah satu bentuk kontemporisasi terhadap kolintang. Para pemain kolintang bebas mengaransemen ulang beragam lagu, termasuk lagu-lagu baru yang digemari anak muda. Di kanal-kanal media sosial, hasil kontemporisasi ini mudah ditemukan. Yang terkenal antara lain penampilan Fantastic Prima Vista yang dimotori Stave Tuwaidan di Lembean serta Kolintang Kawanua Jakarta yang pernah tampil di dekat Menara Eiffel, Paris, Perancis.

Lewat kolintang, generasi muda Minahasa mengekspresikan gaya hidup. Di sekolah dan di lingkungan pergaulan, mereka kerap membicarakan kolintang. Memiliki keahlian bermain kolintang memudahkan mereka menjalani kehidupan sehari-hari. ”Bisa kenal banyak orang. Mulai orang biasa sampai pejabat. Dari situ bisa mendapat undangan tampil,” kata Marselina Maria Pondaag (22) yang belajar kolintang sejak usia 9 tahun.

Gengsi sosial

Banyak sekali anak muda berpandangan seperti Marselina. Kolintang mereka jadikan modal sosial dalam bergaul. Marselina bukan hanya mudah mencari uang lantaran kolintang. ”Bisa main kolintang jadi gampang juga cari pacar,” ujarnya sembari tersenyum lalu melirik ke Romario Pantouw (23), pacar Marselina yang mengantarnya latihan kolintang di Wale Ma’zani.

Bagi Romario, perempuan yang menyukai, apalagi bisa bermain kolintang, adalah sosok berkarakter. Dia bukan saja mencintai budaya nenek moyang, melainkan juga bisa jadi memahami nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, kolintang mengangkat gengsi sosial.

Itulah alasan di balik ramainya orang-orang berlatih kolintang di Lembean. Pada suatu malam, puluhan remaja dan manula memenuhi salah satu ruangan di rumah toko. Mereka berlatih menari dan memainkan kolintang. Dua di antara mereka adalah Maritje Runtunuwu (72) dan Neli Lasut (71). Maritje kadang perlu dipapah saat berjalan, tetapi tangannya demikian lincah ketika memukul kolintang. Malam itu dia memainkan dua lagu. Dua sahabat ini pernah tampil di hadapan Presiden Soekarno pada awal 1965 menjelang peristiwa G30S. ”Waktu itu, kami masih muda dan segar jadi percaya diri jabat tangan dengan Presiden,” kata Maritje.

Kebanggaan orang-orang seperti Maritje ini terhadap kolintang terus menurun kepada generasi berikutnya. Apalagi, pemerintah dan organisasi yang bergerak di kolintang serius memberi stimulasi dengan beragam lomba. Dengan demikian, kreasi-kreasi baru selalu muncul sehingga kontemporisasi berjalan dinamis.

Saudara kembar Sheren Doodoh (19) dan Vheren Doodoh (19) menceritakan, bagian terpenting dalam mengikuti lomba kolintang adalah untuk menunjukkan bahwa mereka mencintai tradisi juga gengsi. Mereka sama sekali tidak berorientasi finansial karena hadiahnya sering kali jauh lebih kecil dibandingkan biaya latihan dan akomodasi lomba. ”Kalau sering lomba dan menang, kan, dikenal banyak orang. Jadi, banyak jaringan dan mudah cari kerja nanti,” kata Vheren yang kuliah di Universitas Katolik De La Salle Manado.

Vheren dan rekan-rekannya langganan juara lomba kolintang. Karena lima kali berturut-turut menang lomba, mereka tidak boleh lagi ikut sebagai peserta. Akan tetapi, mereka tidak berhenti main kolintang. Agar bisa tetap ikut, mereka berganti nama kelompok menjadi Sinar Kaki Dian.

Kontemporisasi bentuk

Kontemporisasi kolintang tidak sebatas pada kreasi lagu. Para pembuat kolintang pun terus mengembangkan nilai artistik sampai fungsi bunyi. Semula kolintang hanya berupa melodi dan dimainkan dengan iringan gitar, bas betot, banjo, dan ukulele. Belakangan, warga Minahasa membuat kolintang melulu kayu, tidak ada lagi iringan alat musik lain. ”Ini mulai terjadi tahun 1960-an,” kata Luddy.

Dulu mereka membuat dari kayu wanderan, kini sebagian besar dari kayu cempaka. Kayu ini ditebang di saat bulan mati atau bulan sabit karena dipercaya saat itu serat-serat kayu sedang rapat sehingga tahan dari serangan rayap. Lalu diteruskan selama sepekan. ”Ada juga yang direbus atau dioven untuk menurunkan kadar air,” kata Hentje Kawed (52), pembuat kolintang di Tomohon.

Bentuk kolintang pun beragam. Masing-masing produsen memiliki ciri khas masing-masing. Satu produsen bisa memproduksi sampai 24 set dalam setahun dengan harga sekitar Rp 45 juta sampai Rp 90 juta per set yang berisi lima sampai sepuluh unit kolintang.

Kolintang telah menjadi identitas kultural masyarakat Minahasa. Untuk meningkatkan nilai itu, sekolah-sekolah menjadikannya sebagai ekstrakurikuler atau muatan lokal. Bahkan, pemerintah mewajibkan semua nyong dan noni Sulawesi Utara harus bisa bermain kolintang. Nyong-noni sebagai perwakilan generasi muda Sulut efektif mengangkat citra kolintang.

Singkatnya, di Minahasa, tidak peduli kaya, miskin, cantik, atau tampan, selama bisa main kolintang, mereka tidak akan kekurangan teman. Mereka menjadikan nada tong-ting-tang sebagai bahasa pergaulan. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kelompok kolintang Sinar Kaki Dian sedang berlatih di salah satu ruang aula Gereja Katolik Santo Paulus, Lembean, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Minggu (10/6/2018).

Artikel Lainnya