KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kelompok kolintang Sinar Kaki Dian sedang berlatih di salah satu ruang aula Gereja Katolik Santo Paulus, Lembean, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Minggu (10/6/2018).

Liputan Kolintang

Yang Sakral dan yang Profan * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 5 menit baca

Penyebutan kolintang bermula dari salah kaprah. Alat musik ini lalu menjadi bagian penting bagi masyarakat Minahasa sehingga selalu hadir di setiap kegiatan, mulai dari yang sangat profan sampai yang sakral.

Pagi itu hari sangat cerah. Jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Baitani Paslaten Wilayah Minawerot, di Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara, memenuhi gereja yang tengah direnovasi itu. Mereka mengikuti rangkaian ibadah yang dipimpin pendeta Johny Longdong dengan khidmat. Di pengujung peribadatan, pendeta mempersilakan Billy Tuerah (20) dan kawan-kawannya untuk maju.

Billy dengan sigap menata sepuluh unit kolintang mulai melodi, ukulele, rhytm, hingga bas. Mereka mengajak jemaat menyanyikan lagu pujian dengan iringan kolintang. Bunyi tang-ting-tong memenuhi ruangan gereja selama hampir sepuluh menit. Para jemaat penuh khidmat menyimak nyanyian tadi sebelum mendengarkan khotbah pendeta.

Pada kesempatan lain, Ivan Sondakh, Stave Tuwaidan, Ambrosius M Loho, dan beberapa rekannya mengiringi doa seorang pendeta dalam ibadah syukur hari ulang tahun ke-31 Jacky Sonny Karamoy, sekitar 1 kilometer dari gereja tadi. Tak kurang dari lima lagu dinyanyikan sang pendeta diikuti sekitar 250 hadirin. Stave dan rekan-rekannya mengiringinya dan menambah syahdu lagu-lagu itu.

Hanya ini Tuhan persembahanku. Segenap hidupku, jiwa, dan ragaku. Sebab tak kumiliki harta kekayaan yang cukup berarti untuk kupersembahkan”, begitu hadirin bernyanyi bersama diiringi suara bilah-bilah kolintang yang dipukul secara harmonis oleh Stave dan rekan-rekannya.

Bagi jemaat, bernyanyi diiringi kolintang menambah mantap rasa di hati. ”Bernyanyi menggunakan kolintang membuat proses penyembahan menjadi lebih sungguh-sungguh. Juga meningkatkan keinginan jemaat untuk bernyanyi,” kata Billy, yang juga melatih beberapa rekannya sebelum bermain kolintang di gereja.

Di banyak gereja di Minahasa, kolintang dimainkan sebagaimana piano di gereja-gereja lain. Gerakan kolintang masuk gereja semakin masif belakangan ini antara lain karena dukungan kebijakan pemerintah setempat. Hanny Joost Pajouw, pengurus Persatuan Insan Kolintang Nasional (Pinkan) Sulawesi Utara (Sulut) yang juga Staf Khusus Gubernur Sulut, mengatakan, pemerintah telah menganggarkan dana untuk pengadaan kolintang bagi seluruh gereja dan sekolah di Sulut. Kemungkinan tahun depan mulai cair.

Pihak gereja sangat akomodatif dengan budaya lokal berupa ensambel kolintang ini. Dalam kitab suci pegangan jemaat GMIM disebutkan bahwa perlu memuliakan Tuhan dengan musik, rebana, dan alat musik lain. Kolintang sebagai alat musik tradisional Minahasa, dengan demikian, sangat relevan masuk gereja. Kedekatan psikologis antara kolintang dan jemaat menambah nilai spiritual dalam peribadatan.

”Lebih terasa dan diresapi jika budaya sendiri yang diangkat. Secara tidak sadar, emosi lebih tersentuh. Ini lebih akrab seperti ini,” kata pendeta Johny menjelaskan nilai lebih penggunaan kolintang dalam peribadatan.

Pendeta Johny tidak tahu persis sejak kapan kolintang masuk gereja. Akan tetapi, pada 1980-an, dia sudah menemukan peribadatan menggunakan kolintang sebagai pengiring. Makin hari makin ramai gereja memakainya untuk kepentingan peribadatan yang sakral ini.

Prof Perry Rumengan, etnomusikolog yang juga dosen Universitas Negeri Manado, mengatakan, kolintang masuk gereja, terutama gereja Katolik, sejak tahun 1960-an. Sebab, berdasarkan Konsili Vatikan II tahun 1962 disebutkan bahwa musik adalah rahmat Allah.

Asal-usul

Konon, nama kolintang lahir dari bunyi atau nada yang muncul dari alat musik pukul ini. Bunyi ”tong” untuk nada rendah, ”ting” untuk nada tinggi, dan ”tang” untuk nada sedang. Dalam banyak literatur disebutkan, nama kolintang muncul dari ucapan orang-orang saat hendak bermain alat ini. ”Mari kita ber-tong-ting-tang” atau ”Maimo kumolintang”.

Versi lain menyebutkan, nama kolintang lahir berdasarkan cerita rakyat di sekitar Danau Tondano. Konon, dulu, ada dua pemuda yang memperebutkan satu perempuan. Salah satu pemuda itu, Lintang, kalah bersaing. Lalu, pemuda satunya mengajak perempuan itu ke tepi danau. Lintang rupanya tidak bisa menerima kekalahannya dan dia mengikuti arah perginya sang perempuan dan si pemuda. Lintang berharap masih ada harapan.

Untuk menarik perhatian, Lintang memukul-mukul badan perahu dan terdengar bunyi bernada. Lalu ia susun beberapa bilah kayu dan memukul-mukulnya sehingga menimbulkan bebunyian dan menarik perhatian si perempuan, yang kemudian mencari sumber suara.

Ketika mengetahui bahwa suara itu dari ulah Lintang, si perempuan berujar, ”Oh, ko reen Lintang,” untuk mengatakan bahwa ternyata itu Lintang. Dari situ muncul istilah kolintang.

Masih ada beberapa versi cerita tentang asal-muasal kolintang ini. Di daerah Tomohon, sekitar 30 kilometer dari Manado, seorang pembuat kolintang, Hentje Kawet (52), mempunyai cerita lain. Berdasarkan cerita yang dituturkan mendiang neneknya, Hentje mengisahkan, dulu ada seorang kakek sebatang kara bernama Intang yang tinggal di Tonsea. Dia kerap mengumpulkan kaleng bekas. Ketika hujan, kaleng-kaleng itu dia gunakan untuk menampung tetesan air dari atap rumahnya yang bocor. Suara air yang menetes itu menimbulkan variasi bunyi sesuai ukuran kaleng. Lama-kelamaan pria tersebut mengenalinya sebagai nada.

Pada kesempatan lain, pria tadi melemparkan beberapa batang kayu untuk di bakar. Lama-lama dia sadar bahwa kayu tersebut menimbulkan suara yang berbeda bergantung pada panjang pendeknya. Makin pendek makin tinggi nadanya.

Dari situ, dia duduk dan mencoba menyusun kayu di pahanya lalu ditabuh. Dari sini, dia menyusun bilah-bilah untuk kolintang yang dentingnya dia sesuaikan dengan bunyi air menetes ke kaleng tadi. ”Dari peristiwa tadi, lahirlah kolintang,” kata Hentje yang meyakini bahwa cerita ini benar adanya karena sangat masuk akal.

Banyaknya varian cerita tersebut merupakan cermin dari watak masyarakat Minahasa yang egaliter sekaligus kreatif. Mereka tidak pernah terusik dengan jenis cerita yang berbeda. ”Saya kira bisa dibilang demikian,” kata Prof Perry Rumengan, yang mencurahkan waktunya selama 20 tahun dalam menyusun buku tentang kolintang.

Dari penelusurannya itu, Perry berani menyimpulkan bahwa istilah kolintang sebenarnya salah kaprah yang telanjur dibakukan. Istilah kolintang sudah ada sejak tahun 1800-an untuk menyebut alat musik logam mirip kenong. Di Filipina juga ada istilah kollitong atau kulintangan, suku Manaraw di Mindanau, Pihilipina Selatan, mengenal istilah kelintang, sementara Malaysia mengenal istilah kalenang.

Dia menjelaskan, hubungan orang Minahasa dan Filipina sangat dekat, terutama di daerah Bitung, Bentenan, dan Tonsea. Beberapa bukti menunjukkan bahwa penyebutan kolintang terpengaruh dari Filipina, yakni kulintang. Akan tetapi, hanya sebatas penyebutan karena bentuk fisik dan estetika musikal antara kolintang dan kulintang sama sekali berbeda. Yang satu berupa alat musik kayu, sementara lainnya berupa alat musik logam sejenis gong.

Jadi, kolintang yang dimainkan Billy dan teman-temannya di gereja adalah murni hasil kreasi orang-orang Minahasa.

Siang itu, seusai beribadah di gereja dan mengiringi lagu pujian menggunakan kolintang, Billy meluncur menggunakan sepeda motor menuju sebuah sanggar yang diampu Luddy Wullur. Di sana, mereka bertemu rekan-rekan sesama pemain kolintang yang tengah berlatih. Mereka mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba. Jika di gereja mereka bermain kolintang untuk Tuhan, kali ini mereka bermain sambil bersukaria. Kadang-kadang sambil joget. Kegiatan yang sangat profan. Dari Billy, bisa disimak cara kolintang berayun dari titik sakral menuju titik profan dan sebaliknya.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kelompok kolintang mengiringi peribadatan di salah satu gereja di Lembean, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Minggu.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Penampilan salah satu kelompok kolintang dalam perlombaan kolintang antarpelajar di Bitung, Sulawesi Utara, Rabu (6/6).

Artikel Lainnya