KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sape’ buatan Siprianus Gunung.

Liputan Sape

Kontemporisasi: Dipetik Sampai ke Jepang

·sekitar 4 menit baca

Sape’ sangat luwes menerobos sekat-sekat budaya, melepaskan diri dari jerat kultural, lalu bertransformasi menjadi bagian dari alat musik modern. Dengan cara itu, sape’ berdenting dari pedalaman Kalimantan sampai ke Jepang.

Pada Jumat (22/3/2018) sore itu, jari-jemari Fery Sape’ (39) piawai memetik dawai dan terdengarlah lagu nasional ”Tanah Airku” di rumah betang di Pontianak, Kalimantan Barat. Di antara nada-nada diatonis, terdengar nada agak meliuk khas sape’ yang memberi warna unik pada lagu itu. Pada banyak lagu pop Indonesia ataupun Barat, liukan serupa dilakukan Fery saat memainkannya dengan sape’.

Improvisasi permainan sape’ yang dimainkan Fery kini menjadi salah satu cara alat musik khas Dayak itu berdialog dengan perubahan zaman. Dulu, di samping menjadi alat pengiring ritual adat, alat musik ini juga menjadi bahasa pergaulan muda-mudi. ”Sejak 2007 saya bermain solo, memainkan lagu daerah versi sape’, juga merekamnya. Saya juga memainkan lagu pop dengan sape’. Lagu Despacito pakai cengkok sape’ pun bisa,” tutur Fery.

Untuk lagu-lagu modern semacam itu, digunakan sape’ dengan empat atau lima senar. Penambahan jumlah senar dilakukan untuk memperluas khazanah suara sape’ sehingga semakin banyak lagu bisa dimainkan. Nadanya pun menjadi diatonis, mirip gitar. Semula sape’ hanya terdiri atas dua senar, yang sampai saat ini masih digunakan untuk mengiringi ritual adat Dayak.

Lewat petikan sape’, Fery juga pernah mengisi latar musik (scoring) film pendek, mengiringi pertunjukan tari karya sejawatnya, juga turut mengiringi lagu ”Indonesia Raya” tiga stanza. Belum lama ini Fery membuat kompilasi musik instrumental berjudul ”Heart of Borneo”, mengolaborasikan sape’ dan biola. Ditambah suara latar berupa kicau burung, mereka yang mendengar bakal merasa seakan sedang berada di tengah rimba Kalimantan.

”Dua atau tiga tahun belakangan ini banyak produser dan pemain (musik) melirik sape’. Bagi saya, pengembangan atau kreasi sape’ harus tetap menjaga nada-nada aslinya karena asalnya alat musik ini dari tradisi,” ujarnya.

Notasi sape’ bisa berkembang, dawai pun tidak hanya dipetik, tetapi bisa digesek atau dipukul. Begitu pun fungsinya bisa sebagai melodi atau bas. Namun, lanjut Fery, karakter sape’ tidak boleh hilang.

Karakter yang dia maksud antara lain adalah cengkok tadi, yakni teknik bermain sape’ dengan mencolek dawai lalu pindah fret. Dalam bermain gitar, teknik ini mirip dengan slide dan slurs. Ada juga teknik idat, yang dalam memainkan gitar, teknik ini dikenal dengan ”hammer on”. Memukul senar dengan cepat.

Berdialog dengan ”keyboard”

Kolaborasi sape’ dengan keyboard menjadi bintang utama pada Festival Budaya Kapuas Hulu bertajuk ”Proud in Harmony” di halaman kantor Kepolisian Resor Kabupaten Kapuas Hulu, Sabtu (24/3/20018) malam. Ramai warga datang menyaksikan pertunjukan tersebut.

Dominikus Uyub, musisi sape’, membawa serta beberapa anak asuhnya yang masih duduk di SMA untuk main dalam kolaborasi bersama pianis Agnes Hapsari. sape’ berdawai enam disandingkan dengan keyboard untuk memainkan lagu pop You Raised Me Up yang dipopulerkan Josh Groban. Liukan petikan sape’ yang jadi ciri khas alat musik itu tetap terdengar harmonis di antara dentingan tuts keyboard.

Uyub memainkan sape’ sebagai melodi. Faskalis Boby bermain sape’ sebagai bas, Kristianus Milianus Redi bermain rythm bersama Luis Firnando Gisang dan Dasius Simu. Sape’ juga mengiringi lagu ”Ibu Pertiwi” dan ”Indonesia Tanah Air Beta”. Kolaborasi dua macam alat musik tradisional dan modern ini, diakui Uyub, tidak mudah. Ada beberapa nada di keyboard yang tidak ada pada sape’, salah satunya F#. ”Akhirnya, ya, dilepas saja,” katanya.

Uyub dan Fery sudah sejak lama memodifikasi sape’ sebagai bagian dari kontemporisasi. Selain memodifikasi sape’ hingga menjadi bersenar enam, juga ditambah dengan pick up sebagaimana gitar elektrik. Dengan begitu, karakter suara dan getaran bisa diatur.

Ini juga dilakukan Asfian Nur Gusprada (22) yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur. ”Biar tinggal colok saja dan bisa diatur volumenya. Seperti gitar listrik,” kata Asfi yang juga mengubah nada pentatonis pada sape’ sehingga bernada diatonis. Dia menambah fret atau grip agar bisa muncul nada ”fa” dan ”si”.

Bagi para pemain sape’ kontemporer, segala modifikasi tadi tidak menjadi soal. Yang lebih penting, menurut Uyub, semangat agar sape’ bisa dimainkan lebih banyak orang, melampaui fungsinya sebagai pengiring ritual dalam tradisi masyarakat Dayak. Sape’ keluar dari habitat kulturalnya dan berdialog dengan bebunyian lain. Dengan begitu, sape’ tidak ditinggalkan tergantung di dinding tanpa suara.

Agnes Hapsari yang tengah belajar musik di Hochschule für Musik Theater und Medien Hannover, Jerman, mengatakan, sape’ memiliki peluang besar untuk berkembang di luar habitat aslinya. Sebab, sape’ tidak hanya dapat berkolaborasi dengan musik pop, tetapi juga masih banyak kemungkinan untuk berkolaborasi dengan musik lain, seperti jazz, klasik, paduan suara, dan lainnya. Sape’ juga dapat berkolaborasi dengan segala bentuk seni, seperti tari, teater, pembacaan puisi, cerita rakyat, atau mungkin bahkan seni lukis atau seni rupa. ”Di sini, pemain sape’ dan kaum muda harus lebih inovatif untuk melahirkan ide-ide baru dalam penyajian musik sape’,” kata Agnes.

Di Youtube dapat dengan mudah kita temukan sape’ bermain di ranah kontemporer ini. Di sana juga dapat ditengarai tingkat penerimaan publik terhadap sape’ kontemporer. Gara-gara media sosial pula, akhirnya Fery bisa membawa sape’ kontemporer berdenting hingga ke Jepang. (M HILMI FAIQ/FRANSISCA ROMANA NINIK/LUKAS ADI PRASETYA)

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Melubangi kayu cempedak di bengkel pembuatan sape’ Dian Pangestu alias Atong di Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (22/3/2018).

Artikel Lainnya