KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Warga menari tor-tor bersama saat menghadiri upacara pesta pernikahan di Lumban Nainggolan, Desa Narumontak, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Senin (6/8).

Liputan Gondang Batak

Menyelami Kearifan Gondang * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 5 menit baca

Batak tanpa gondang bisa seolah menjadi etnis tanpa identitas. Sedemikian identik antara Batak dan gondang. Gondang menjadi nyawa dalam setiap kegiatan adat, bahkan dulu, dalam setiap ritual sakral. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, gondang pun menjadi sumber kearifan.

Pada konteks masyarakat Toba, gondang bukan melulu merujuk pada alat musik. Dia dapat bermakna ensambel musik, repertoar musik, komposisi lagu, tempo lagu, suatu upacara, atau suatu segmen dari kelompok kekerabatan yang sedang menari tortor (Harahap 2016 dan 2011).

Instrumen gondang antara lain terdiri dari sarune (alat musik tiup), taganing (seperangkat kendang), hasapi (alat musik petik berdawai ganda), garantung (alat musik pukul yang terdiri dari bilah-bilah kayu digantung), ogung (gong), hesek (perkusi dari pelat besi atau botol), dan sulim (suling).

Komposisi instrumen tadi bisa berubah sesuai peruntukan. Dalam khazanah penganut Ugamo Malim (Parmalim), gondang terbagi dalam dua ensambel, yakni gondang hasapi dan gondang sabagungan. Keduanya berbeda dalam penggunaan jenis instrumen.

Gondang hasapi yang biasa dimainkan di dalam ruangan terdiri dari hasapi, sarune etek, garantung, dan hesek. Adapun gondang sabangunan yang biasa dimainkan di luar ruangan terdiri dari sarune bolon, taganing, ogung, dan hesek.

Siang itu, Senin (5/8/2018), ratusan warga berbaju adat berkumpul di salah satu halaman rumah warga di Lumban Nainggolan, Desa Narumontak, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir. Mereka menghadiri pernikahan Bethia Letape Tambunan dan Manjamot Sirait. Mereka bergantian berpidato memberikan ucapan selamat dan doa-doa kebaikan untuk kedua mempelai. Di sela-sela doa itu, gondang sabangunan dimainkan.

Velda Sitorus (38), pargonsi atau pemain gondang, menyimak dengan baik kata demi kata yang dirapal pemberi sambutan. Ada kalanya kata-kata itu penuh semangat. Di lain waktu, kata-kata itu lirih seperti bersedih. Tanpa diperintah, Velda sebagai pemimpin gondang, menyesuaikan nada dengan irama sambutan.

Kadang memang sang pemberi sambutan yang juga mempunyai otoritas sebagai paminta (pemesan) gondang, tidak secara tegas menjelaskan gondang yang ingin dimainkan, cukup dengan bahasa isyarat. Para pargonsi harus peka merespons dengan memainkan gondang yang cocok. Dalam ritual keagamaan yang dilakukan Parmalim seperti Sipaha Lima, pargonsi harus dapat menerjemahkan permintaan ihutan atau petinggi agama yang memimpin ritual.

Dengan kata lain, paminta gondang memahami bahwa pargonsi dapat memainkan gondang yang dia minta. Sebaliknya, pargonsi memahami permintaan paminta gondang. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini diterjemahkan bahwa sebagai manusia perlu memahami perasaan orang lain. Segala ucapan dan tindakan harus selaras dengan suasana batin orang lain sehingga tidak menimbulkan disharmoni.

”Tidak mungkin pargonsi memainkan gondang bernada gembira ketika paminta gondang sedang bercerita tentang kesedihan. Harus selaras,” kata Jintar Naipospos, Ulu Punguan Parmalim di Sibadihon, Kabupaten Toba Samosir.

Guyub

Gondang juga mengajarkan keguyuban, empati, dan simpati. Tanpa tiga hal dasar tadi, mustahil penabuh ogung, penabuh taganing, dan peniup sarune bisa menghasilkan harmoni yang menggerakkan orang lain untuk menari tor-tor (manortor).

Antarpargonsi pun tumbuh solidaritas kukuh. Ketika seorang pargonsi sakit, misalnya, pargonsi lainnya bahu-membahu meringankan bebannya dengan menyumbang sejumlah uang dan menjenguk.

”Kami juga tidak memperhitungkan materi. Saat kawan sesama pargonsi kekurangan penabuh taganing atau pemain sarune, kami siap membantu. Tanpa dibayar juga tak masalah. Yang penting jangan sampai upacara adat gagal dilakukan karena kurang pargonsi,” kata Baha Raja Samosir (52), pargonsi yang tinggal di Onan Runggu, Kabupaten Samosir.

Filosofi serupa ditemukan Marsius Sitohang (65), seorang pargonsi sekaligus dosen luar biasa di Fakultas Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, dalam pelarasan taganing. Taganing terdiri dari lima atau enam gendang yang berukuran kecil sampai besar, yakni ting-ting, paidua ting-ting, painonga, paidua odap, dan odap-odap. ”Saat stem (melaras), harus ikut nada ting-ting, gendang paling kecil,” papar Marsius.

Itu dimaknai, setiap perilaku harus mendahulukan orang kecil atau yang lebih lemah. ”Misalnya kalau kami ada tanggungan biaya yang harus dibayar bersama, tanya dulu yang paling kecil kuatnya berapa. Baru sisanya ditanggung yang besar,” ungkap Marsius memberi metafora.

Tatkala Velda dan rekan-rekannya memainkan gondang, tanpa sadar beberapa warga, yang sedari tadi duduk, turut menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama. Warga lain menari tortor bersama. Para pargonsi memegang keyakinan, semakin bagus permainan, semakin banyak orang yang larut dalam alunan gondang.

Bagi orang Batak, terutama Parmalim, permainan gondang menyimbolkan perilaku. Semakin mulia perilaku seseorang, dia menjadi teladan dan panutan, tanpa paksaan.

Tanpa paksaan

Prinsip ini juga mereka terapkan dalam kehidupan beragama. Umat Parmalim tidak memaksa kelompok lain masuk ke dalam agamanya. Yang paling utama bagi mereka adalah selalu berbuat baik sebagai implementasi dari iman. Jika kemudian perbuatan baik dan kemuliaan perilaku itu menarik orang lain untuk masuk, mereka dengan senang hati menerimanya.

Mereka mempunyai prinsip ”boto, haporseai, ulahon”, kira-kira maknanya kenali, yakini, dan laksanakan. Seseorang yang sudah mengenali dan meyakini, tidak perlu dipaksa pasti siap melaksanakan. ”Semua harus dilakukan dengan ikhlas,” ujar Baringin Silalahi (58), parmalim yang juga pargonsi.

Para pargonsi memercayai bahwa mustahil mereka dapat memainkan gondang dengan baik tanpa restu leluhur atau Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan). Oleh karena itu, mereka selalu merapal doa sebelum acara dimulai. Dalam kehidupan sehari-hari pun, pantang bertingkah tanpa restu Debata.

Pargonsi dijuluki batara guru yang berarti sumber pengetahuan karena dia berfungsi sebagai perantara doa manusia kepada Debata tatkala gondang dimainkan dalam ritual sakral. Oleh karena itu, mereka dituntut lebih arif dan bijak dalam berperilaku.

Itu sebangun dengan keyakinan para pargonsi bahwa notasi gondang sulit ditulis secara presisi. Mereka mempelajarinya dengan menghafal ketukan lalu mentransformasikan setiap ketukan ke dalam ungkapan kebajikan ”beta tu huta, beta tu huta, tu huta hangoluan”. Ini diucapkan mirip dengan ketukan taganing. Ungkapan tadi kira-kira bermakna ”ayo ke kampung, ayo ke kampung, ke kampung kehidupan”.

Baringin menerjemahkan ungkapan tadi dalam prinsip perilaku baik kepada semua orang. Kampung kehidupan berarti menjamin setiap tamu dan warga untuk nyaman tinggal. Setiap bertemu orang, entah kenal atau tidak, harus diterima dengan tangan terbuka dan diajak mampir. ”Kalau sudah mampir, tak mungkin kita tidak menjamu dengan makanan atau minuman, seperti Bapak sekarang ini,” ujarnya saat berbincang di basis Parmalim di Desa Sibadihon, Kecamatan Bonatua Tua Lunasi, Kabupaten Toba Samosir.

Parmalim memegang keyakinan bahwa panutan dan junjungan mereka, Raja Sisingamangaraja, bereinkarnasi menjadi Raja Nasiak Bagi. Mereka yakin Raja Nasiak Bagi masih ada dan dapat menyaru menjadi siapa saja. Bisa saja dia orang yang baru kita kenal.

Berdasar keyakinan itu, mereka berusaha bersikap baik pada siapa saja, karena setiap orang bisa saja Raja Nasiak Bagi. Berbuat baik pada sesama bukan saja menenangkan hati, tetapi juga memuliakan Raja Nasiak Bagi.

Selama gondang masih dimainkan, selama itu pula kearifan hidup disebarkan.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ

Anak-anak menikmati sore di tepi Danau Toba di Kecamatan Pusukbuhit, Kabupaten Samosir, Minggu (5/8).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Penampilan para pargonsi dalam sebuah pesta pernikahan di Dusun Lumban Nainggolan, Desa Narumontak, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Senin (6/8/2018).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Samuel Harianja menyelesaikan pembuatan taganing berbahan kayu nangka di Dusun Banjar Dolok, Desa Pancur Napitu, Kecamatan Siatas Barita, Tapanuli Utara (Taput), Sumatera Utara, Selasa (7/8/2018).

Artikel Lainnya