KOMPAS/PRIYOMBODO

Personel kelompok musik Cak Macak Ethnic Ensemble, Zulfikar, memainkan dambus saat berlatih di Sanggar Cikar Sinar Gemala di Kelurahan Kacang Pedang, Kecamatan Gerunggang, Pangkal Pinang, Jumat (11/5/2018).

Liputan Dambus

Musik Tradisi: Membuka Jalan untuk Dambus

·sekitar 4 menit baca

Anak-anak muda Bangka mencoba merobohkan kesan tua dan tak kekinian yang melekat pada dambus. Di tangan mereka, dambus leluasa berdialog dengan beragam alat musik modern tanpa harus kehilangan akar tradisinya. Mereka ingin membuka jalan agar dambus tak lagi berwajah ”amang-amang” alias ketinggalan zaman.

Salah satunya dilakukan Komunitas Cak Macak Ethnic Ensemble yang dimotori Kevindra Ramadhani (25) asal Pangkal Pinang. Sejak tiga tahun lalu, Cak Macak yang didominasi orang muda aktif memperkenalkan kepada publik bahwa dambus tak hanya bisa menjadi alat musik pengiring tarian, tetapi juga bisa berdiri sendiri sebagai alat musik yang bisa leluasa bergaul dengan alat musik modern, misalnya bas, flute, biola, dan keyboard.

Dalam pergaulan itu, dambus tidak diposisikan sebagai ”anak tiri”. Di aransemen atau musik garapan baru Cak Macak, dambus tetap diposisikan sebagai instrumen penting, menghadirkan warna suaranya yang menjadi ciri khas dambus Bangka, kental nuansa Melayu.

”Enggak susah juga menggabungkan dambus dengan alat musik lain. Kalau yang lain main di kunci G, dambusnya juga main di kunci G. Yang penting harus sama kuncinya,” tutur Zulfikar, pemain dambus di Cak Macak.

Dambus yang dia gunakan adalah dambus bersenar 6 yang menurut Zulfikar sedang naik daun, menggeser dambus tradisional bersenar 3-4. Dengan dambus bersenar 6 itu, tak hanya memasang kunci G, tetapi juga kunci-kunci lainnya karena dambus modern bisa disetel sesuai kebutuhan. Ini jelas membuka kesempatan bagi dambus untuk menjelajah ragam nada sesuai kebutuhan.

Dambus bersenar 6 itu juga bisa disambungkan dengan listrik sehingga suara yang dihasilkan pun nyaring, tak kalah atau tenggelam di antara suara alat musik modern lain. Beberapa di antaranya tersimak di lagu berjudul ”Raga” dan ”Harmoni Rumput” yang merupakan lagu garapan Cak Macak. Di kedua lagu, dambus dimainkan bersama keyboard, gendang Bangka, biola, akordion, dan jimbe.

Gabungan berbagai alat musik tersebut memberikan nuansa tradisional yang kental. Pergaulan alat musik tradisional, termasuk dambus, dengan alat musik modern di komposisi baru Cak Macak itu menghadirkan warna musik yang tersimak muda, segar, dan kekinian.

Tak hanya membuat lagu garapan baru, Cak Macak juga membawakan lagu-lagu dambus lama, tetapi dengan aransemen baru. Penggunaan ragam alat musiknya disesuaikan dengan kebutuhan.

”Lagu ’Abu Samah’ itu relatif susah dimainkan, chord-nya sebentar-sebentar main di A, sebentar lagi pindah. Kalau kita ikuti yang klasik memang susah,” kata Romansyah, pemain keyboard.

Dengan kreativitas yang mereka usung, Cak Macak ingin dambus bisa masuk ke wilayah yang lebih luas. Dengan begitu, anak-anak muda juga akan tertarik memainkan dambus.

Upaya mereka memang tidak mulus. Cak Macak pernah tak mendapat restu dari para pedambus senior di tanah Bangka. Mereka dicemooh, bukannya memainkan dambus, tetapi memainkan musik rock.

”Itu maksudnya mengejek kami. Padahal, kami mau ubah image dambus. Kalau mau main dambus yang asli susah karena pedambus yang asli harus bisa nyanyi juga. Amang-amang yang main dambus itu main dambusnya sambil berpantun dan itu susah,” kata Kevin.

Pelan-pelan, upaya mereka mulai mendapat tempat. Jejak Cak Macak bahkan kini mulai banyak diikuti anak muda lain di Bangka. Variasi dan eksperimen yang mereka lakukan membuka jalan agar dambus makin dekat dengan generasi muda.

Upaya mengawinkan dambus dengan musik modern dilakukan oleh pedambus senior Sulaiman Syachman (65) bersama musisi jazz Idang Rasjidi. Keduanya tampil setahun lalu dalam pergelaran musik jazz yang dihelat di Pangkalpinang.

”Waktu itu enggak terlalu susah mengolaborasikan dengan jazz karena dia yang ikut kita. Dia (Idang) yang kasih tahu harus main seperti apa,” ujar Sulaiman. Kala itu, mereka memainkan ”Mak Inang” dan ”Batanghari Sembilan” yang mendapat respons positif dari penonton.

Sulaiman pun senang karena dia tak pernah anti dengan kolaborasi. Baginya, ini justru jadi cara untuk mengenalkan dambus kepada anak muda.

Orkestra

Di Tanjung Pandan, Belitung, seniman sekaligus pembuat gitar gambus berbahan limbah kayu, Usni Mariosha, juga punya ide ”mengawinkan” permainan instrumen khas daerahnya dengan orkestra. Nantinya orkestra itu akan memainkan lagu gambus khas Belitung, ”Sayang Ketembab”, yang terdiri atas rangkaian syair-syair pantun asli Belitung.

Ketembab adalah nama pohon yang tumbuh di Belitung. Bentuknya seperti pohon jati, tetapi dengan batang yang hanya dua rumpun.

Usni lebih suka dan memilih menggunakan kata ”gambus” untuk mendeskripsikan gitar dambus. Saat ini Usni telah mulai melakukan proses rekaman solo instrumen gitar gambusnya di Jakarta. Nantinya gitar gambus itu akan berperan menjadi solis dalam orkestra, seperti biasa dimainkan oleh instrumen lain seperti biola.

”Biasanya dalam orkestra kan solisnya instrumen seperti biola. Nah, ini akan saya ganti menjadi gambus. Jadi nanti tak akan sulit (memadukan) karena orkestranya yang bakal mengikuti solis (gambus). Bukan sebaliknya,” kata Usni yang punya pengalaman puluhan tahun di bidang rekaman studio.

Sejak kembali ke kampung halamannya tahun 2005 setelah berkiprah di dunia rekaman studio sejak akhir 1970-an di Bandung dan Jakarta, Usni telah menghasilkan dua album rekaman lagu-lagu pop daerah Belitung, Lagu Kite Bekisa volume 1 dan 2.

”Tujuan saya memperkenalkan gambus ini sekaligus menunjukkan gambus juga bisa berkolaborasi dengan orkestra. Alat musik petik tradisional lain seperti gitar sasando kan sudah pernah ada yang berkolaborasi begitu,” ujarnya.

Upaya-upaya untuk menghadirkan wajah dambus yang lebih modern seperti itu, dinilai Abusar (56), pedambus asal Kampung Dul, Bangka Tengah, sangat penting untuk dilakukan. Dengan cara seperti itu, dambus bisa menarik perhatian generasi muda.

”Dambus ini perlu kita angkat lagi bagaimanapun caranya. Kalau cuma orang-orang tua yang terus memainkan, ya kurang. Bisa punah nanti. Yang bisa membuat kreasi-kreasi baru ya anak-anak muda ini. Yang tua-tua sudah enggak mampu,” ujarnya.

Di Bangka dan Belitung, kegairahan anak-anak muda mempelajari dambus terus tumbuh meski untuk menemukan warna dambus yang sesungguhnya diperlukan waktu panjang. (DWA/DOE)

Artikel Lainnya