KOMPAS/PRIYOMBODO

Kusyadi Abus, perajin sekaligus seniman dambus, memproduksi dambus dari bahan dasar kayu Luday di bengkel produksinya.

Liputan Dambus

Sukacita Perayaan Kehidupan * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 8 menit baca

Dambus adalah sukacita. Dia hadir dalam setiap perayaan kehidupan, mengusung syair sarat petuah, penuntun laku hidup manusia.

Setiap mendengar petikan dambus, perasaan sukacita selalu muncul. Seperti ketika Sulaiman Syachman (65), pedambus dari kelompok dambus Sinar Pinang Jaya, memainkan dambusnya membawakan lagu ”Mak Inang” dan ”Batanghari Sembilan” di kediaman Sulaiman di Kelurahan Kacang Pedang, Gerunggang, Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Senin (14/5/2018) malam. Dia ditemani dua anggota kelompok dambus Sinar Pinang Jaya, yakni Pirhantono, yang memainkan gendang indung dan gendang anak, serta Sukini yang memainkan tamborin.

Mereka tidak sedang merayakan sesuatu. Ketiganya sekadar menghibur orang di sekitar mereka. Di sela petikan dambusnya, Sulaiman sesekali menyanyi. Vokalnya tak terdengar jelas, tetapi cukup membuat alunan musik dambus terasa komplet, membangkitkan rasa senang.

Syair yang menyertai lagu dambus biasanya berupa pantun. Para pedambus senior seperti Sulaiman umumnya masih memiliki kemampuan memetik dambus seraya melantunkan pantun. Jenisnya bisa macam-macam. ”Kadang pantun percintaan, kadang juga pantun nasihat,” ujarnya.

Setiap pantun rata-rata memiliki durasi 5-7 menit. Bila sedang tampil di sebuah acara, setelah menyanyikan 3-5 pantun, mereka akan berhenti sejenak agar penonton tak bosan. Mereka biasa tampil di acara perayaan mulai syukuran saat mencukur rambut bayi, sunatan, hingga pesta perkawinan. Kadang juga di acara perayaan 17 Agustus dan perayaan-perayaan lain. Sesekali, Sulaiman memainkannya di rumah sembari menghibur diri.

”Dambus itu asal-usulnya dimainkan saat panen padi. Jadi waktu panen padi, orang tua dulu malam-malam main dambus untuk menghibur. Pestanya sampai 7 hari 7 malam,” katanya.

Dambus yang dimainkan pun tidak sembarangan. Kayu pemutar kunci nadanya masing-masing terbuat dari kayu yang diperoleh dari enam kampung berbeda, berjarak masing-masing kampung sejauh 40 kilometer. Badan dambus terbuat dari pohon nangka atau cempedak.

”Dulu, dambus hanya punya senar tiga dengan ciri khas kepala rusa atau kijang. Apa sebab kepala rusa dan kijang, karena orang-orang tua dulu kalau menjaring rusa sangat sulit. Kan, hewan ini sangat cekatan. Makanya, kepala rusa diambil untuk dambus karena mereka ingin jari-jari anak cucunya cekatan saat memainkan dambus,” papar Sulaiman.

Kecekatan tangan dalam memainkan dambus amat penting karena dambus tidak memiliki petak nada. Tanpa petak nada, tingkat kesulitan memainkannya sangat tinggi karena hanya mengandalkan rasa. Jam terbang tinggi dibutuhkan agar makin piawai memetik dambus.

Zaroti (63), pemain dambus asal Kecamatan Bukit Intan, dikenal tak hanya piawai memainkan dambus. Dia adalah salah satu pedambus senior yang dikenal dengan pantun-pantunnya yang penuh makna.

”Dengan pantun itu kita berharap orang mengerti, karena pantun kan punya makna. Apakah mengajak untuk bermasyarakat, beribadah, atau apa. Jadi memang senimannya juga harus paham. Menghibur penonton agar penonton senang, tetapi penonton juga bisa ambil nilai dari pantun. Bukan sekadar nonton, joget-joget, tetapi tidak dapat apa-apa. Jadi, memang dambus bisa jadi penuntun, panduan hidup,” tutur Zaroti.

Di acara yang banyak dihadiri pejabat, misalnya, sembari memainkan dambus, dia tak segan memberikan nasihat melalui pantun agar para pejabat jangan sampai terlena dalam korupsi. Di luar itu, Zaroti juga tak segan berpantun sembari mengajak untuk beribadah.

Seperti ini misalnya, banyak penyengat di pelempang patah, di semak-semak berpindah-pindah, ingat-ingat perintah Allah, tinggalkan maksiat, rajinlah ibadah. Atau yang ini, jangan lupa pesan seorang mualim, rajin ibadah serta bertakwa, jadi orang jangan dzolim, orang yang dzolim penghuni neraka.

”Maksud kita supaya orang jangan terlena, bukan maksud menyakiti karena kan sebenarnya ada bagusnya. Yang tadinya kita tidak tahu, jadi tahu. Oh, orang zalim rupanya masuk neraka. Saya sejak awal memang ada tujuan, berdambus untuk berdakwah juga,” kata Zaroti.

Sarana hiburan

Sebelum Islam masuk Bangka di abad ke-16, dambus diyakini menjadi sarana hiburan dan pergaulan muda-mudi. Namun, setelah Islam masuk, dambus juga digunakan untuk syiar agama. Biasanya dalam permainan dambus diselipkan pantun-pantun berupa ajaran, petuah, larangan, dan nasihat-nasihat. Biasanya juga untuk syiar agama Islam.

Sejarawan dan budayawan Bangka, Akhmad Elvian, mengungkapkan, sebagai sebuah kesenian, dambus menjadi satu-satunya sarana hiburan bagi masyarakat Bangka, di samping kesenian lain seperti tari-tarian dengan berbagai jenis dan fungsinya.

”Jadi, dia merupakan sarana hiburan. Dihadirkan di upacara-upacara yang berhubungan dengan daur hidup, kelahiran, cukuran pemberian nama, pernikahan, sunatan, bisa juga di khataman Al Quran. Prinsipnya yang sukacita. Dukacita tidak,” kata Elvian.

Dambus umumnya juga dihadirkan di upacara panen padi saat memasuki rumah baru yang biasa disebut sedekah rumah. Ada juga ritual terkait taber, kegiatan penyucian kampung, ladang, sungai, hutan, gunung, hingga laut. ”Kegiatan-kegiatan itu biasanya diiringi musik dan tarian,” tambah Elvian.

Musik dan tarian di Bangka selalu diikuti dengan pantun. Dengan pantun, nilai-nilai lebih terinternalisasi dalam sanubari masyarakat sehingga lebih khusyuk. Sementara tarian atau musik diiringi dengan syair-syair pantun agar tidak terkesan sepi.

”Peran syair-syair ini, pertama, sebagai media pergaulan. Jadi muda-mudi harus pandai berpantun, berdincak atau menari, dan main dambus karena ini jadi sarana untuk mencari pasangan. Syair-syairnya biasanya berisi tentang ujaran-ujaran syiar, pendidikan, dan hal-hal lain yang positif agar bisa jadi panduan hidup,” kata Elvian. Di bagian tangtut, menjelang akhir lagu, syair terpenting akan diulang untuk menegaskan pesan utama pantun tersebut.

Asal-usul

Terkait asal-usul dambus, hingga saat itu terdapat sejumlah versi. Beberapa di antaranya menganggap dambus dan gambus yang berasal dari Timur Tengah saling terkait.

Sebagian lainnya yakin dambus dan gambus adalah dua alat musik berbeda. Kalaupun sama, dambus dianggap telah melalui sejumlah penyesuaian dengan adat dan nilai lokal, salah satunya seperti terlihat dalam penggunaan kepala rusa atau kijang pada dambus. Dari sisi penamaan, penyebutan kata ”dambus” muncul dari sekadar perbedaan cara pelafalan atau dialek saat menyebut kata ”gambus”.

”Yang saya tahu dari orang-orang tua, dambus itu ya asalnya gambus. Dibawa ke sini oleh pendatang asal negeri Arab. Selain gambus, mereka juga membawa dan memperkenalkan alat musik rebab. Semua dimainkan, lalu diwariskan ke keturunan mereka hingga eksis sampai sekarang,” ujar Kusyadi Abus, pedambus sekaligus pembuat dambus dari Kecamatan Namang, Bangka Tengah.

Zaroti mengungkapkan hal senada. Menurut dia, penyebutan nama ”dambus” dan ”gambus” hanyalah masalah pelafalan dan logat saja.

”Zaman dahulu gambus itu dibawa oleh orang-orang Arab, termasuk ke Bangka sini. Sambil berdakwah dan jual-beli rempah-rempah, mereka juga bermain gambus. Mungkin orang kita lalu ada yang ikut dan belajar memainkannya. Malah ada juga yang mencoba membuat sendiri dengan menambahkan (hiasan) kepala rusa atau kijang karena di Bangka ini dahulu kan memang banyak terdapat hewan itu,” ujar Zaroti.

Salah satu lagu klasik dambus berjudul ”Abu Samah”, menurut cerita dari orangtuanya, berasal dari nama si pencipta lagu itu, yaitu Abu Samah, seorang ulama. Setiap usai berdakwah, masih dengan mengenakan jubahnya, Abu Samah memainkan alat musik dambus. Dengan begitu, di masa itu, Abu Samah berdakwah sembari menghibur.

Versi lain tentang asal-usul dambus diungkapkan Onny Nur Pratama, mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Pengkajian Musik (Nusantara) dalam penelitiannya tentang dambus. Menurut dia, berdasarkan bentuk dambus yang menyerupai rusa atau kijang, terdapat indikasi bahwa dambus merupakan asimilasi dari berbagai budaya yang ada di Bangka.

Fakta tersebut, menurut Onny, dapat dilihat dari bentuk kepala alat musik, penggunaan membran kulit binatang, pola permainan alat musik, dan kostum adat Bangka yang menggunakan warna merah yang dekat dengan unsur-unsur China. Di Bangka, pada masa lampau, terdapat beberapa etnis yang mempunyai pengaruh cukup besar, seperti Melayu, China dan Arab.

Menurut Elvian, dalam buku berjudul Schilderungen aus Hollandish-Ostinden yang ditulis Franz Epp terbit tahun 1852 disebutkan tentang keberadaan instrumen musik petik yang selalu tergantung di dinding beranda rumah-rumah tradisional Bangka. Bentuknya berupa alat musik senar yang terbuat dari kayu keras namun ringan, yang dilubangi di bagian perut lalu dilapisi kulit monyet.

Elvian menginterpretasikan alat yang disebut oleh Epp adalah dambus. Hal itu menjadi bukti otentik keberadaan gitar dambus sebagai instrumen musik asli Bangka. Kalaupun ada pengaruh dari budaya asing seperti Timur Tengah atau Arab, boleh jadi hanya terkait penamaan. Penyebutan kata dambus memang mirip dengan penamaan alat musik senar petik asal Timur Tengah, oud gambus atau populer disebut gitar gambus, atau qanbus dalam bahasa Arab.

Walau begitu, tambah Elvian, secara fisik bentuk keduanya berbeda, terutama di bagian kepala. Menurut Elvian, bentuk fisik gitar dambus lebih menyerupai atau merepresentasikan bentuk tubuh seekor rusa atau kijang secara utuh.

Rusa atau kijang, ujar Elvian, merupakan hewan penting dan sakral dalam kehidupan masyarakat Bangka. Salah satunya dalam tradisi nganggung, yaitu membawa makanan di dulang untuk disantap bersama-sama dalam acara yang berhubungan dengan daur hidup dan upacara keagamaan. Makanan paling mulia atau agung yang disajikan dalam tradisi nganggung adalah daging rusa atau kijang.

Untuk menangkap rusa atau kijang diperlukan ritual khusus. Sebelum berburu, kelompok pemburu yang disebut belapun atau berasuk harus lebih dahulu meminta izin kepada dukun hutan. Pembagian rusa atau kijang hasil buruan pun harus dilakukan secara adil dan merata, tidak boleh ada satu pun yang terlewat.

Bentuk dambus yang merepresentasikan tubuh rusa atau kijang tersebut, menurut Elvian, menegaskan bahwa dambus merupakan alat musik dan kesenian khas Bangka.

”Dalam Islam, bentuk alat musik kan tidak boleh menampakkan sesuatu, karena seperti berhala. Dambus itu kan (bentuknya) seperti rusa, yang bersuara. Tetapi, itulah, dia merupakan kesenian etnik Bangka, karena walaupun mendapat pengaruh Islam, tetap eksis bertahan dengan bentuknya yang seperti itu. Tidak diubah kepalanya atau menjadi kutung, enggak ada kepalanya. Kalau gambus kan enggak ada kepalanya,” kata Elvian.

Bagi masyarakat Bangka, dambus memiliki nilai tinggi. Dahulu, untuk membuat dambus, digunakan enam jenis kayu berbeda, yang diambil dari enam hutan yang berbeda pula. Hutan-hutan tersebut masing-masing dipisahkan oleh sungai kecil. Sementara pemetiknya berupa gigi harimau.

Agar suara yang keluar dari dambus membuat rindu atau menjerat hati pendengarnya, biasanya dambus diberi kemat (jimat). Caranya dengan mengasapi dambus menggunakan kemenyan, lalu diberi mantra.

Begitu juga dengan para pemain dambus. Ada sejumlah ritual, bentuknya bisa berbeda-beda, yang biasa dilakukan oleh para pemain dambus agar penonton atau pendengar terpikat alunan dambus yang mereka mainkan. ”Biar selalu rindu,” ujar Kusyadi.

Di masa kini, dambus tak perlu lagi mantra atau jimat. Kerinduan pada dambus hanya bisa dituntaskan apabila dambus bisa terus menjadi bagian masyarakatnya, berdialog dengan zaman, menjadi penuntun laku hidup.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Deretan dambus produksi perajin dan seniman dambus Zaroti di bengkel produksinya di Kelurahan Air Hitam Tengah, Kecamatan Bukit Intan, Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu (12/5/2018).

KOMPAS/PRIYOMBODO

Personel grup dambus Sinar Pinang Jaya, pemain dambus Sulaiman Syachman (tengah), pemain gendang Pirhantono (kanan), dan pemain tamborin Sukini alias Ros.

Artikel Lainnya