Dalam perkembangannya, tifa sebagai identitas kultural masyarakat Maluku keluar dari beban kulturalnya. Para pegiat seni menjadikan tifa ikon pariwisata dengan meramu unsur budaya di dalamnya menjadi berdaya jual. Tifa pun kemudian bisa menarik siapa saja tanpa harus lebih dulu mengetahui makna dan nilai yang dikandungnya.
Malam itu, tujuh anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah memainkan beberapa lagu di Sanggar Booyratan, Ambon, Maluku, Sabtu (31/9/2018). Tiga di antaranya mulai dengan meniup tahuri, alat musik tiup dari keong raksasa. Lalu disusul tabuhan tifa dan totobuang (bonang). Mereka lalu menari dan bernyanyi di tengah tetabuhan tifa yang makin rancak.
Selang beberapa menit kemudian, suara musik mereda diganti suara seruling. Lalu, lagu gandong disenandungkan. Suara yang lirih dan musik yang rendah membawa suasana jadi sendu.
Selain dua lagu itu, ada juga musik tifa yang mengiringi petikan ukulele Jonas Silooy (43), pemilik Sanggar Booyratan. Jonas biasa meminta anggota sanggar memainkan tiga nomor tadi dalam banyak penampilan.
Siang harinya, mereka baru saja tampil di Bandara Pattimura, Ambon, menyambut rombongan pramuka yang baru saja mendapatkan penghargaan. Permainan tifa dan totobuang menggantikan sorakan dan tepuk tangan sebagai bentuk penghargaan kepada para kontingen pramuka.
Dekonstruksi sakralitas
Dalam sejarahnya, lagu gandong atau tiupan tahuri digunakan untuk upacara adat yang bersifat sakral. ”Kalau memanggil leluhur pakai barang ini,” kata Jonas sembari menjelaskan bahwa setelah Islam dan Kristen datang, upacara pemanggilan roh leluhur itu dilarang.
Akan tetapi, dia tidak ingin generasi Maluku kehilangan referensi musik leluhur. Maka, dia memainkan musik-musik sakral tadi dalam balutan modernitas. Dia menambahkan unsur ukulele, bahkan kibor dan terompet dalam kesempatan lain. Ini untuk menghindari kesalahan tafsir, musik yang dia mainkan bukan untuk memanggil roh.
Selain itu, Jonas ingin menunjukkan bahwa tifa memiliki kelenturan untuk berdialog dengan alat musik lain, seperti ukulele, terompet, kibor, dan gitar elektrik. Tifa yang sering dimainkan sebagai penjaga ritme atau drumming mampu menjaga keseimbangan nada dalam bermusik.
Corak musik Sanggar Booyratan, meskipun termasuk kreasi baru, unsur tradisinya masih sangat dominan. Dengan demikian, identitas kulturalnya mudah dikenali hanya dengan menyimak bebunyian yang dihasilkan.
Ini agak berbeda dengan garapan Band Sarafim, salah satu band di Kota Ambon. Dalam satu kesempatan, band ini memasukkan tifa di antara beragam alat musik Barat, seperti gitar elektrik, kibor, terompet, bahkan alat petik hawaian.
Pemain kibor Sarafim, Billy Terry (29), merasakan bahwa tifa memiliki keluwesan saat berinteraksi dengan alat musik lain. Pada bagian ritme, dia menemukan warna khas ambon dalam permainan tadi.
Eksperimen serupa dapat juga ditemukan pada rekaman lagu ciptaan Cela dan temannya di Amboina Bananas Band. Lagu berjudul ”5 & 9 Saru Parau” yang mengisahkan tentang persaudaraan di Maluku itu diiringi dengan tifa dan tahuri. Lagu itu menjadi bagian dari album berjudul Indahnya Amboina yang diperkenalkan bulan lalu.
Lagu dibuka dengan intro tiupan tahuri lalu disusul denting gitar yang langsung disambut tabuhan tifa dengan tempo lambat. Menjelang refrain, tempo naik dengan irama mirip lagu reggae yang cenderung rancak. Dalam lagu tadi, tifa menggantikan drum menjaga ritme.
Keluwesan
Eksperimen Band Sarafim dan Amboina Bananas Band setidaknya menghasilkan kesimpulan bahwa tifa dapat masuk dalam genre musik apa saja. Tifa tak ubahnya alat musik lain ketika dilepaskan dari beban kulturalnya. Ini peluang bagus bagi generasi muda Maluku mengembangkan tifa.
Sayangnya, pengenalan alat musik etnik di Ambon belum terlalu meluas. Bandar Udara Pattimura sebagai pintu masuk pengunjung ke Ambon pun belum dijadikan tempat promosi. Apabila ada acara besar di Ambon barulah ada permainan tifa di bandara. Ini berbeda dengan pengenalan musik di Bandara Honolulu Hawaii, AS, misalnya. Petikan ukulele sudah terdengar saat mendarat di daerah dengan kultur polinesia itu.
Tifa lebih sering dimainkan pada acara seremonial di negeri-negeri adat, pemerintahan, dan upacara keagamaan. Atau juga dalam perlombaan, seperti kolaborasi dengan totobuang dan rebana yang dimainkan oleh pemuda Islam dan Kristen. Itu pun tidak setiap waktu.
Peranan tifa belum banyak ditarik masuk berkolaborasi dengan musik modern untuk mengiringi lagu pop atau lagu kekinian yang digemari anak muda. ”Sebenarnya tifa bisa dikolaborasikan dengan musik yang lain, tetapi kalau untuk lagu-lagu pop itu terasa agak ganjil. Ini lebih tentang selera,” kata Celo Quezon, salah satu musisi jalanan di Ambon.
Upaya kontemporisasi ini belum masif, setidaknya apabila dibandingkan dengan alat musik tradisi lainnya, seperti gamelan, sape, atau angklung. Akan tetapi, peluang kreasi selalu terbuka, tinggal berpulang pada pegiat tifa.
Malam itu, anak-anak Sanggar Booyratan terus memainkan tifa, tahuri, dan seruling. Jonas sesekali memainkan ukulele sembari memberi arahan tata musik sampai koreografi. Di tangan anak-anak belia ini, tifa bisa jadi mengalami kontemporisasi dengan mengedepankan sisi menariknya tanpa harus lepas dari nilai-nilai tradisi. Dengan demikian, siapa saja dapat menikmati permainan tifa meskipun belum memahami makna dan nilai yang dikandungnya. (MOHAMMAD HILMI FAIQ/FRANS PATI HERIN)