Sebagaimana watak dasar musik yang dinamis, begitu juga dengan gamelan. Baik dari sisi instrumen maupun gending (lagu), gamelan selalu berdialog dengan zamannya. Ini yang menjadi dasar para seniman melakukan kontemporisasi (contemporization) gamelan. Mereka membebaskan gamelan dari segala beban kulturalnya.
Jika dilacak selama dua dekade terakhir, terasa benar kontemporisasi gamelan tumbuh dan berdiaspora sedemikian signifikan. Bahkan, sampai ke bentuk yang sama sekali meninggalkan gamelan sebagai instrumen dan hanya menggunakan pola ketuk dan pakem dasar gamelan sebagai bingkai bermusik. Ada juga yang mengutak-atik instrumen gamelan untuk menghasilkan suara yang sedemikian baru, jika tidak disebut berbeda.
Kontemporisasi ini bukan saja dilakukan musisi Tanah Air, musisi-musisi di berbagai belahan dunia juga melakukan hal yang sama. Gamelan telah jadi milik dunia. Orkestrasi gamelan yang demikian canggih mengundang rasa penasaran para musisi dunia.
Sekitar tujuh tahun lalu, penyanyi kelahiran Islandia, Bjork, menggarap lagu ”One Day” di dalam album Biophilia (2011) menggunakan iringan Gameleste, yakni instrumen hasil modifikasi berbasis gamelan dan celeste yang menghasilkan 61 nada kromatis.
Lagu ini pernah dinyanyikan secara live oleh Bjork dengan iringan instrumen gamelan asli, tetapi diperkaya dengan kendang india, tanjidor, dan beberapa alat musik elektrik. Pesona gamelan tetap memukau berselingan dengan suara penyanyi yang mendapat lebih dari 80 penghargaan ini.
Jauh sebelumnya, sejak era 1980-an, Al Suwardi (67) telah bereksperimen dengan instrumen gamelan. Terciptalah beragam instrumen yang secara fisik sama sekali baru dari bentuk asli gamelan, seperti Gamelan Gentha, Vibrander, Thering, dan Gamelan Planet Harmonik. Suwardi dengan penuh percaya diri memainkan instrumen itu di pentas dunia, Europalia Arts Festival Indonesia, di Bozar, Brussels, Belgia, dan Barbican, London, Inggris, Januari lalu.
Seberapa kreatif hasil eksperimen Suwardi ini? Barangkali Vibrander dapat mewakilinya. Vibrander hasil kreasi Suwardi pada 1983 ini tak lain merupakan modifikasi gender konvensional dan vibraphone. Pada umumnya, gender dimainkan sambil duduk, kali ini sambil berdiri. Suwardi mencoba mewujudkan suara-suara imajiner dalam alam pikirnya dengan menaruh baling-baling di atas setiap tabung resonator. Ketika gender dibunyikan dengan cara digesek (bukan ditabuh sebagaimana lazimnya), getaran suaranya diteruskan ke resonator dan suaranya menjadi meliuk karena pengaruh baling-baling yang berputar.
Hampir bersamaan dengan masa-masa Suwardi bereksperimen, Djaduk Ferianto mendesakralisasi gamelan lewat kelompok Kua Etnika. Djaduk pernah menampilkan gamelan dalam bentuk yang benar-benar berbeda. ”Ketukan-ketukan dalam gamelan saya terapkan dengan menggunakan meja sebagai alat musiknya,” ujar Djaduk tentang penampilannya pada masa awal reformasi bertajuk ”Meja Agak Hijau”. Simak juga album-album Kua Etnika, seperti Unen-unen dan Pata Java. Di album itu, Djaduk dan kawan-kawannya mengawinkan gamelan dengan alat musik dari berbagai daerah dan dunia. Dalam balutan jazz yang aduhai, gamelan mengambil posisi yang tidak subordinat. Biasanya, Djaduk memakai beberapa instrumen gamelan, seperti kendang, saron, rebab, dan bonang bersanding dengan gitar elektrik, bas, drum, dan sejumlah instrumen dari daerah lain di Indonesia.
Kalangan agak muda, selisih antara 20 tahun dan 30 tahun dengan Suwardi dan Djaduk, tidak kalah progresif dalam kontemporisasi gamelan ini. Pernah pada suatu masa muncul kelompok Meruang Waktu yang menghadirkan gamelan dalam balutan musik rock. Kelompok ini digawangi Ismu, Ari Wulu, dan rekan-rekannya.
Salah satu lagu ciptaan mereka yang populer, ”Y in Penta”, banyak dimainkan oleh kelompok lain. ”Lagu ini terinspirasi oleh permainan Yanni,” kata Ismu menyebut komponis dari Yunani. Biasanya, gamelan dimainkan dalam tempo-tempo genap, seperti 4/4. Meruang Waktu mencoba memainkannya dalam tempo ganjil 7/8 dalam nada pelog.
Pijakan berpikir
Para musisi yang melakukan kontemporisasi berpijak pada pemikiran bahwa gamelan hanyalah sumber bunyi. Gamelan dilepaskan dari beban kulturalnya sehingga lebih luwes bersanding dengan musik ataupun instrumen lain.
”Saya memperlakukan gamelan sebagai sumber bunyi. Saya mau memainkannya dengan cara apa pun, ekstrem menggunakan gergaji, tidak masalah,” kata Djaduk.
Sementara itu, musisi Riki Putra menemukan keunikan bunyi gamelan yang berbeda dari instrumen musik lain. Dia lalu tertarik untuk membahasakan gamelan dalam musik yang lebih kontemporer. ”Saya mencoba meniru nada gamelan menggunakan piano, tidak bisa menemukan nada yang pas. Gamelan pelog, misalnya, nadanya seperti minor, tetapi yang diturunkan setengah nada lagi,” kata Riki yang kemudian memesan gamelan kromatis (12 nada).
Riki lantas memiliki gagasan untuk menggelar konser yang menggabungkan gamelan dengan orkestra. Bekerja sama dengan komunitas Gayam 16 dan Yogyakarta Symphony Orchestra, dia menggelar konser Gamelan Rules yang dikonduktori Guntur Nur Puspito di Yogyakarta pada awal tahun lalu.
Bingkai berpikir ini juga dipakai Dedek Wahyudi bersama Dedek Gamelan Orchestra. Begitu juga Suwardi. Bersama kelompok Dapur Kreatif Planet Harmonik, Suwardi menekankan untuk tidak mudah puas dengan segala yang telah dilakukan sehingga senantiasa muncul keinginan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. ”Yaitu kemungkinan baru terhadap apa yang pernah dilakukan sebelumnya demi mewujudkan sebuah karya yang segar, orisinal, dan berbeda dari karya-karya lainnya.”
Selain Riki dan Bjork, para seniman yang melakukan kontemporisasi gamelan di atas lahir dan tumbuh dalam tradisi gamelan yang kental. Sebagian besar malah keturunan dalang. Dengan kata lain, upaya pembebasan gamelan dari beban kultural itu tidak dilakukan secara asal berbeda, tetapi berangkat dari akar yang kuat. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)