KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Petugas rumah kompos milik Gerakan Lingkungan Ciliwung Hijau yang terletak di Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, menggiling sampah organik sebelum diolah menjadi kompos, Rabu (28/1). Setiap hari rumah kompos di bawah naungan Sanggar Ciliwung tersebut mengolah 40 kilogram sampah organik dari lima rukun tetangga di kawasan tersebut. Rumah kompos yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat tersebut dimaksudkan mengurangi pembuangan sampah ke sungai.

Liputan Kompas Nasional

Aspek Ekonomi: Sampah Ciliwung Sumber Rupiah

·sekitar 5 menit baca

Usaha mengatasi masalah sampah, termasuk sampah Ciliwung, tak hanya dapat dilakukan dengan mencari alternatif tempat pembuangan akhir lain. Solusi masalah sampah juga bisa ditemukan dengan menumbuh kembangkan pandangan bahwa sampah merupakan sumber daya ekonomi yang menguntungkan.

Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Apakah sampah bisa menjadi pemicu bencana banjir atau menghasilkan rupiah, itu sangat bergantung pada sikap warga menghadapi limbah rumah tangga yang jumlahnya melimpah di Sungai Ciliwung.

Jika dikelola dengan baik, sampah ternyata tak selalu jadi masalah. Sanggar Merdeka Ciliwung, kelompok pemberdayaan masyarakat bantaran Ciliwung di RT 5 8 RW 12 Bukit Duri, Jakarta Selatan, telah membuktikannya.

“Sekarang ada sepuluh orang yang terlibat bisnis sampah. Sampah yang tidak diolah dibuang ke penampungan di Tebet,” kata Rachmat (39), seorang warga Kelurahan Bukit Duri.

Sampah yang menjijikkan mampu mereka olah hingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi. Kegiatan mengolah sampah menjadi kompos sekaligus mendidik warga untuk mau memilah sampah. Meskipun pemisahan antara sampah organik dan anorganik oleh warga belum sempurna, langkah ini mampu mengubah gaya hidup warga bantaran kali dan mengajak mereka untuk hidup lebih sehat.

Dari 50-80 kilogram sampah organik, yang terdiri atas sayuran, sisa makanan, dan tumbuhan, setelah ditambah dengan bahan-bahan pengurai bakteri mampu menghasilkan sekitar 100 kilogram kompos. Harga jual kompos Rp 5.000 per kilogram. Kekurangan pasokan sampah dari warga ditutup pengelola dengan sampah sayuran yang diambil dari Pasar Jatinegara.

Setelah didampingi selama 15 tahun lebih, warga bantaran Ciliwung akhirnya mau mengolah sampah. Dengan memberinya nilai ekonomis, sampah akan dilihat warga kelas bawah yang berpenghasilan minim sebagai peluang menambah rezeki.

Peluang emas

Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia Sri Bebassari mengingatkan, kontributor sampah bukan hanya masyarakat, tetapi juga industri yang jumlahnya sangat besar. Setiap orang menghasilkan sampah sebanyak 0,5 kilogram per hari. Sumber sampah yang dihasilkan, salah satunya, adalah dari penggunaan produk-produk industri, terutama aneka kemasan makanan dan minuman dari plastik.

“Selama ini yang disalahkan hanya konsumen. Demi keadilan, produsen yang menghasilkan barang-barang yang digunakan konsumen juga harus dituntut tanggung jawabnya,” kata Sri Bebassari. Produsen seharusnya menggunakan menggunakan kemasan produk yang dapat dengan mudah diurai alam, seperti plastik yang cepat terurai atau mengganti plastik dengan kertas.

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Setyo Sarwanto Moersidik menambahkan, pengelolaan sampah yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah umumnya masih bertumpu pada proyek pembangunan fisik, berteknologi tinggi dan membutuhkan investasi besar.

Padahal, sebagian masyarakat masih memiliki modal sosial yang tinggi dan dapat diberdayakan, khususnya untuk pengelolaan sampah. “Pemerintah masih belum memandang rekayasa sosial dalam penanganan sampah sebagai hal yang penting,” ujar Setyo.

Kondisi itu justru sering kali menimbulkan kekonyolan dalam pengelolaan sampah. Warga disuruh membuang sampah ke tempat sampah, tetapi tak ada tempat sampahnya. Warga diminta memisahkan sampah kering dan basah, tetapi setelah diangkut ke tempat pembuangan sementara, sampah berbeda jenis itu kembali disatukan.

Setyo mengakui, memang tidak semua masyarakat dapat diberdayakan untuk mengelola sampahnya sendiri. Karena itu, pemerintah perlu memetakan kelompok masyarakat mana saja yang dapat digarap. Penentuan kelompok masyarakat ini juga harus dilakukan dengan memerhatikan etnohidrolik atau budaya airnya. Hal ini akan memberikan langkah yang tepat bagi pemerintah untuk mengingatkan warga agar tidak membuang sampahnya di kali, bukan dengan seruan semata.

Salah satu kelompok masyarakat yang dapat diberdayakan adalah kelompok kaum ibu yang tergabung dalam kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) seperti pada masa Orde Baru. Memang cara ini masih melibatkan peran pemerintah yang cukup kuat. Namun, cara itu mampu mengajak masyarakat untuk mencegah penyakit.

“Masih 30-40 persen warga Jakarta dapat didorong untuk membuat sistem pengelolaan sampah mandiri, termasuk mereka yang berasal dari pendidikan tinggi maupun ekonomi menengah,” katanya.

Pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri memang membutuhkan waktu panjang. Tetapi, hal itu harus dilakukan dari sekarang melalui penganggaran yang memadai untuk melakukan rekayasa sosial tersebut. Sayangnya, rekayasa sosial ini masih dipahami pemerintah hanya dengan cara sosialisasi dan imbauan. (IWAN SANTOSA/MUHAMMAD ZAID WAHYUDI/ESTER LINCE NAPITUPULU)

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Salah satu kegiatan di rumah kompos milik Gerakan Lingkungan Ciliwung Hijau di Jakarta Timur adalah memasukkan sampah ke dalam komposter.

Sampah: Solusi Sementara Diperlukan

Usaha mendidik masyarakat untuk mengubah sampah menjadi komoditas ekonomi belum banyak dilakukan. Pemindahan warga bantaran pun masih dilakukan secara bertahap. Walhasil, perlu solusi sementara untuk menampung sampah bantaran Sungai Ciliwung.

Menurut Gubernur Fauzi Bowo, jumlah warga bantaran Sungai Ciliwung di wilayah DKI Jakarta sudah mencapai 70.000 keluarga. Terbayang, betapa besar sampah domestik yang dihasilkan mereka.

Bagi masyarakat di sekitar Ciliwung, tidak tersedianya tempat pembuangan sampah menimbulkan kesulitan sendiri. Godaan pun datang untuk dengan mudah melempar sampah ke kali.

Menurut Endang Budi, Ketua RT 03 RW 09, Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, sampai saat ini belum ada penanganan sampah yang serius. Padahal, warga sudah lama mengajukan permohonan untuk disediakan bak sampah yang bisa diangkut truk.

“Warga tak mampu mengadakannya sendiri. Cara yang paling mudah, ya buang ke kali. Ini masalah yang sedang kami coba pecahkan. Tetapi pemerintah lamban merespons,” ujarnya.

Penyempitan bantaran kali karena sampah ini menjadi pemandangan lazim jika menyusuri Sungai Ciliwung. Pembuangan sampah bukan hanya dilakukan secara perorangan oleh warga yang tinggal membelakangi Ciliwung, tetapi kenyataannya tempat pembuangan akhir sampah di Ciliwung juga dilakukan oleh pemerintah daerah setempat.

Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, mengatakan, dari pantauan udara ditemukan ada lebih dari 100 lokasi pembuangan sampah di sepanjang Ciliwung. Di Jakarta, pembenahan masalah sampah sering kali tidak tuntas karena pengelolaannya dilakukan dua institusi yang berjalan sendiri-sendiri.

“Pekerjaan membersihkan sampah yang ada di badan sungai menjadi tugas dinas pekerjaan umum, sementara membersihkan sampah yang ada di pinggir Ciliwung menjadi tugas dinas kebersihan,” kata Pitoyo.

Ia menambahkan, tumpukan sampah di Kali Ciliwung menjadi potret kegagalan pengelolaan sampah.

“Masyarakat harus diajak untuk melihat sampah bukan hanya sebagai masalah, tetapi juga harus dilihat sebagai sumber ekonomi. Ini perlu upaya dan kerja sama dari banyak pihak,” katanya.

Bagi Pitoyo, solusi sementara untuk daerah bantaran yang belum dibersihkan dari warga adalah perlu dibuat kontainer-kontainer penampung sampah di lokasi pembuangan sampah. Namun, diperlukan akses bagi kendaraan besar, seperti truk, untuk dapat mengangkut sampah-sampah itu. (MZW/ELN/ONG)

Artikel Lainnya