KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Dengan menggunakan perahu karet, Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 melakukan pengamatan di Teluk Jakarta di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Kamis (22/1). Ekspedisi menyusuri Sungai Ciliwung dari hulu hingga hilir yang dilakukan sejak 16 Januari itu ditutup Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada Kamis di Taman Impian Jaya Ancol.

Liputan Kompas Nasional

Ekspedisi Ciliwung Kompas 2009: Mimpi Revitalisasi Peradaban Sungai

·sekitar 4 menit baca

Ekspedisi Ciliwung Kompas 2009 berakhir sudah. Setelah menyusuri sungai tersebut dari hulu ke hilir selama satu pekan, 16-22 Januari, tim ekspedisi menangkap pesan yang jelas dan tegas dari sungai tua itu: Ciliwung menderita dan tak sanggup lagi menopang kehidupan manusia yang bermukim di sepanjang daerah alirannya!

Ciliwung merana akibat pencemaran yang berlebihan. Dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor pada 2007 antara lain disimpulkan, air Ciliwung tak bisa lagi dimanfaatkan untuk keperluan apa pun. Terutama di daerah hilir, air Ciliwung bahkan sudah tak layak dimanfaatkan, bahkan sekadar menyiram tanaman.

Penelitian kualitas air Ciliwung juga dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup Wilayah DKI Jakarta pada tahun yang sama. Dari penelitian itu antara lain ditemukan kenyataan bahwa sumber utama pencemar Sungai Ciliwung di wilayah DKI Jakarta bukan limbah buangan industri, tetapi sampah rumah tangga yang berasal dari berbagai permukiman.

Ciliwung sudah tercemar mulai dari hulu di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Menurut Kepala Balai Taman Nasional Gede-Pangrango (TNGP) Bambang Sukma, zat pencemar juga bisa berasal dari sisa-sisa pupuk kimia dan bahan insektisida yang umum digunakan pekebun dan petani di daerah penyangga kawasan TNGP. Sisa-sisa bahan kimia beracun ini menyerap ke dalam tanah atau ikut dihanyutkan air hujan masuk ke kali-kali kecil pemasok air Ciliwung.

Tak heran jika warga sejumlah kampung di daerah hulu Ciliwung tak lagi berani mengonsumsi air Ciliwung dan sungai-sungai pembentuk hulunya. Warga Desa Tugu Utara dan desa-desa tetangganya di daerah Puncak, sudah lebih dari 20 tahun memilih tak mengonsumsi air Ciliwung dan membangun saluran air sendiri yang bersumber dari Telaga Warna.

Jenis sampah yang jumlahnya paling besar ditemukan di sepanjang aliran Ciliwung adalah sampah plastik, styrofoam, dan berbagai limbah padat lain.

Sampah dan pencemaran air baru salah satu persoalan. Penyempitan dan pendangkalan badan sungai akibat okupasi tanah bantaran sungai oleh manusia memunculkan persoalan lain yang kian membuat Ciliwung merana. Sungai yang di daerah Depok lebarnya masih sekitar 30 meter, di beberapa titik di Jakarta mengalami penyempitan ekstrem yang membuat lebar Ciliwung tinggal beberapa meter. Seharusnya sungai kian melebar di bagian hilir.

Hancurnya peradaban sungai

Arkeolog senior Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Dr Hasan Djafar, mengatakan, 2.000 tahun silam, manusia mulai bermukim dan mengembangkan budayanya di tepi Ciliwung.

Sungai Ciliwung sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Sunda. Nama Ciliwung dipungut dari kata Sunda, haliwung, kata sifat yang artinya tak menentu atau mudah berubah. Ciliwung memang sungai yang kondisinya tak menentu. Airnya sering mendadak deras dan meluap-luap.

“Akibat luapan dan lumpur di sepanjang tepiannya, bantaran sungai ini menjadi daerah pertanian yang subur. Kondisi ini mendukung berkembangnya kebudayaan manusia sejak zaman masa prasejarah, zaman Kerajaan Sunda, sampai zaman muncul kota-kota besar, seperti Jakarta,” kata Hasan Djafar.

Pada awal periode sejarah Indonesia, dalam Prasasti Batutulis yang bertarikh 1255 Saka atau 1333 Masehi, ada disebut bahwa Sri Baduga Maharaja Sunda membuat samida atau hutan larangan di dekat Telaga Warna. Tujuannya untuk menjaga kelestarian alam dan menyediakan sumber air demi kelangsungan hidup penduduknya. Menurut Hasan Djafar, amat mungkin hutan larangan tersebut merupakan cikal bakal Kebun Raya Cibodas.

Berdasarkan analisis Hasan Djafar, pada masa lalu manusia dan sungai saling menghidupi, maka keduanya pun lestari. Kini, meski masih hidup di bantarannya, manusia semena-mena terhadap sungai. Sungai yang terusik itu kini menjadi penabur bencana.

Menurut Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, kehancuran Ciliwung tidak terlepas dari peradaban dunia yang kita dukung sekarang. Peradaban yang tumbuh sejak zaman Pencerahan pada abad pertengahan di Eropa itu kemudian melahirkan industrialisasi dan kapitalisme yang cenderung mengeksploitasi alam tanpa batas.

“Menurut para ahli, dunia yang renta ini hanya mampu mendukung kehidupan 6,5 miliar manusia. Padahal, sekarang saja jumlah penduduk bumi sudah melebihi 6,5 miliar jiwa. Kemudian, 20-30 tahun lagi, populasi manusia diperkirakan mencapai 10 miliar. Bisa dibayangkan, pada saat itu akan terjadi kekurangan pangan, krisis air, dan muncul pandemi berbagai penyakit,” papar Gumilar dalam diskusi praekspedisi Ciliwung, Kamis (8/1).

Indonesia sebagai negara berpenduduk terbanyak kelima di dunia, lanjut Gumilar, bukan mustahil bakal lebih awal dilanda krisis. Krisis diyakini akan bermula di Jawa sebagai pulau terpadat dan lebih spesifik lagi di Jakarta sebagai kota dengan jumlah penduduk terbesar.

Terkait ancaman krisis itu, Ciliwung punya andil besar. Menurut Gumilar, Ciliwung adalah ikon Jakarta. Usaha penyelamatan sungai yang sudah mulai terbentuk sejak enam juta tahun lalu itu bisa menjadi langkah awal untuk meminimalisasi ancaman krisis pada masa depan. Caranya, dengan membangun kembali peradaban sungai yang pernah hidup di sepanjang tepiannya pada masa silam.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menegaskan, penyelamatan Ciliwung hanya bisa dilakukan jika didasari pada pemahaman bahwa sungai ini adalah milik bersama. Tidak perlu lagi saling menyalahkan antara daerah hulu dan hilir.

Kedua kepala daerah itu berlega hati ketika Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur ditetapkan.

Namun, menurut Fauzi Bowo, yang kini amat dibutuhkan adalah petunjuk pelaksana dan teknis penerapannya serta institusi yang berwenang penuh atas pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Tanpa itu, perpres tersebut hanya selembar peraturan tak bermakna.

Artikel Lainnya