SEPTA/BESTARI

Liputan Kompas Nasional

Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009: Ciliwung dari Mata Air ke Mata Air

·sekitar 4 menit baca

Sabtu (17/1) ini, Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 memulai kegiatan menyusuri Ciliwung dan daerah alirannya. Ekspedisi ini dilakukan mulai dari beberapa lokasi sungai kecil pembentuk hulu sungai di daerah Puncak sampai ke muaranya di Teluk Jakarta. Kegiatan yang akan berlangsung selama sepekan ini bertujuan mengamati dan memotret berbagai fenomena hubungan antara Ciliwung, manusia dan budayanya, masalah sosial, serta potensi yang melingkupi sepanjang tepiannya.

Kenapa Ciliwung? Ciliwung merupakan sungai terpenting dan berpengaruh terhadap kehidupan penduduk Jakarta. Di antara 13 sungai yang melintasi Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta, Ciliwung merupakan sungai yang mengalir persis di jantung kota, melalui daerah-daerah permukiman yang paling padat.

Ciliwung, yang panjangnya lebih dari 100 kilometer, dibentuk dari penyatuan aliran puluhan sungai kecil di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Ciliwung mengalir melalui wilayah Kabupaten dan Kota Bogor, juga Kota Depok, sebelum memasuki wilayah Jakarta.

Menurut para geolog, alur dan aliran Ciliwung di Jakarta terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan alam dataran rendah Jakarta dan sekitarnya sekitar 5.000 tahun silam. Bagian hulunya berumur lebih tua, terbentuk seiring dengan proses lahirnya daerah pegunungan dan dataran tinggi Bogor pada kala neozoikum, antara 6 juta dan 20.000 tahun lalu.

Dr Hasan Djafar, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan, sebagai sebuah sungai purba, Ciliwung menjadi saksi kehidupan manusia yang tinggal di sepanjang tepiannya dan menjadikannya sumber kehidupan sejak ratusan, bahkan ribuan, tahun silam.

Mengacu pada penelitian Hasan Djafar, Ciliwung telah disebut sebagai sarana transportasi utama sejak masa Sunda klasik. Hasan mengungkapkan, berdasarkan catatan perjalanan Bujangga Manik, perjalanan dari Kalapa (Pelabuhan Sunda Kelapa) ke ibu kota Kerajaan Sunda (sering disebut Pakuan Pajajaran) melalui Cihaliwung (sebutan Ciliwung pada masa Sunda klasik).

Hasan menegaskan, setidaknya ada 15 situs purbakala di sepanjang aliran Cihaliwung, yang menunjukkan adanya perkembangan peradaban manusia berbasis sungai. Beberapa situs ditemukan di daerah Depok, Condet, Cililitan, sampai daerah Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di situs-situs itu ditemukan berbagai sisa kebudayaan manusia prasejarah, seperti kapak, beliung batu, gurdi, dan sisa-sisa barang gerabah. Semua dari masa sekitar 2.500 tahun silam.

Peran penting

Memasuki masa awal sejarah Indonesia, Ciliwung terus memainkan peran penting bagi kehidupan manusia. Pada zaman Kerajaan Sunda abad ke-10 hingga ke-16, di muara Ciliwung, yang berlokasi di daerah Jakarta Kota sekarang, telah berdiri Pelabuhan Kalapa. Cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa ini termasuk salah satu pelabuhan terbesar kala itu di Nusantara.

Di Pelabuhan Kalapa inilah pada tahun 1522 terjadi perundingan persahabatan dan perdagangan internasional pertama di Nusantara, yakni antara Portugis dan kerajaan Sunda Hindu.

Para pedagang Belanda, sekitar seabad kemudian, menyusul datang untuk pertama kalinya ke Sunda Kalapa. “Pedagang Belanda menyatakan kekagumannya dan mengatakan pelabuhan di muara Ciliwung ini amat baik. Airnya lebih dalam dibandingkan Sungai Banten sehingga memungkinkan Ciliwung dilayari ke arah hulu sampai sejauh beberapa kilometer,” kata Hasan.

Dari masa ke masa, dari zaman ke zaman, jumlah penduduk yang bermukim dan berusaha di sepanjang tepian Ciliwung terus tumbuh dan berkembang. Kini, daya dukung Ciliwung bagi kehidupan manusia yang hidup di sepanjang tepiannya tampaknya sudah melampaui ambang batas. Ciliwung tak sanggup lagi menampung sampah yang setiap hari dalam jumlah berton-ton dibuang ke sana oleh jutaan warga Bogor, Depok, dan Jakarta.

“Dulu manusia memilih kawasan di sekitar Ciliwung untuk tempat tinggal dan mengembangkan budaya. Tingginya tingkat ketergantungan manusia pada sungai kala itu menyebabkan Ciliwung dihargai dan dijaga kelestariannya,” kata Dr Restu Gunawan, MHum, ahli sejarah banjir Jakarta yang juga staf Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Namun, lanjutnya, sekarang orang berkumpul tinggal di bantarannya tidak lagi dengan alasan membutuhkan air dan aliran Ciliwung, tetapi lebih karena kawasan itu dianggap sebagai bagian dari dataran yang mudah dicapai dan relatif murah. Okupasi lahan bahkan sampai ke badan sungai yang dipastikan bakal dibanjiri air kala sungai meluap pada musim hujan.

Restu mengatakan, ditilik dari sejarahnya, ada fakta dan pemahaman yang terbalik terhadap keberadaan Ciliwung. Sayangnya, apa yang terjadi saat ini diikuti dengan pembiaran terhadap sungai purba itu. Jalan airnya, tempat parkir air kala meluap, dan pepohonan di hulu serta sepanjang bantaran sungai dibabat atas nama kebutuhan manusia yang terus meningkat.

Ciliwung bukan manusia, ia tak bisa marah, tetapi hanya bisa mengalir apa adanya. Semakin banyak bangunan penghalang alirannya, banjir makin kerap terjadi dan meluas.

Kekerasan terhadap Ciliwung terus berlangsung dalam 40 tahun terakhir. Industri tumbuh subur di sepanjang tepian Ciliwung dan sejumlah percabangannya. Di banyak tempat, air sungai itu bahkan tak layak lagi dipakai untuk mandi. Air Ciliwung telah tercemar limbah berat. Kini yang tersisa paling hanya ikan sapu-sapu.

Perubahan perilaku

Kepala Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio mengatakan, usaha untuk mengatasi banjir secara sistematis dan konsepsional di Jakarta sudah dilakukan sejak hampir seabad lalu. Tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membangun Pintu Air Manggarai dan Banjir Kanal Barat (BKB). BKB adalah sungai besar buatan untuk mengalihkan sebagian air Ciliwung ke arah sisi paling barat Jakarta.

Sejumlah kanal, sodetan, dan pintu air lain juga dibangun. Tujuannya sama, menyelamatkan kawasan pusat kota, termasuk Istana Gubernur Jenderal yang sekarang menjadi Istana Merdeka, dari ancaman banjir.

Pemerintah kini giat membangun Banjir Kanal Timur (BKT) yang dapat menampung sebagian air Ciliwung sebelum menggelontorkannya ke laut di ujung timur Teluk Jakarta. “Namun, upaya ini bakal sia-sia jika tak diiringi perubahan perilaku masyarakat, termasuk pemerintah dengan kebijakannya, warga di sepanjang bantaran, dan masyarakat umum dengan sampahnya,” kata Pitoyo Subandrio.

Ciliwung, tak bisa dibantah, telah beralih peran dari sumber kehidupan menjadi sumber bencana. Kini saatnya, jangan ditunda lagi, melestarikan Ciliwung dengan mengubah perilaku kembali bersahabat dengan sungai.

(NELI TRIANA/MULYAWAN KARIM)

Artikel Lainnya