KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Penggunaan bantaran Sungai Ciliwung untuk berbagai hal, termasuk tempat pembuangan sampah, menyebabkan penyempitan badan sungai di kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (21/1). Selain sampah, Ciliwung menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga sehingga menimbulkan aroma tak sedap di sepanjang jalur tersebut.

Liputan Kompas Nasional

Hilir Tercemar Berat * Limbah Rumah Tangga Menjadi Penyebab Utama

·sekitar 3 menit baca

Kualitas air Ciliwung yang mengalir di DKI Jakarta semakin buruk. Selain tercemar berat oleh sampah rumah tangga dan limbah industri, semakin ke hilir sedimentasi yang terjadi juga semakin tinggi.

Sepanjang perjalanan Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 menyusuri Ciliwung di wilayah DKI Jakarta, mulai dari Lenteng Agung, Jakarta Selatan, hingga Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, Rabu (21/1), terlihat jelas buruknya kualitas air sungai.

Air Ciliwung yang di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, masih berwarna coklat muda, bahkan bening, saat sampai di Jakarta berubah menjadi coklat tua dan berangsur menjadi hitam pekat, terutama setelah melewati Pintu Air Manggarai.

Di sekitar Pejaten Timur hingga Bidara Cina, sejumlah pembuat tahu membuang air limbahnya langsung ke sungai. Industri binatu juga membuang limbah deterjennya ke sungai di kawasan Srengseng Sawah. Sampah yang masuk dan mengapung di sungai pun beraneka ragam, mulai dari plastik, sterofom, sofa, kayu gelondongan, hingga bangkai binatang.

Sedangkan di sepanjang sungai, pemandangan utama adalah pipa pralon yang menyalurkan buangan kamar mandi, kakus, dan dapur langsung ke sungai. Pembuangan air limbah juga dilakukan sejumlah rumah sakit, mulai di kawasan Salemba hingga Senen, Jakarta Pusat.

Kajian Akademis Rencana Pengendalian Pencemaran Air Sungai Ciliwung 2008 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup di DKI Jakarta menunjukkan, kandungan biochemical oxygen demand (BOD) dari limbah organik, kandungan chemical oxygen demand (COD) dari limbah kimia, dan bakteri coli di Ciliwung jauh melebihi ambang batas pencemaran.

Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Peni Susanti membenarkan bahwa air Ciliwung tercemar berat. Sejak lama, kandungan bakteri coli Ciliwung mencapai 80 persen. Bertambahnya sumber pencemar Ciliwung sejak di hulu terjadi seiring dengan meningkatnya urbanisasi dan industrialisasi di sekitar Ciliwung.

Pencemaran itu membuat air Ciliwung sangat tidak layak untuk digunakan apa pun. Jika memaksakan untuk digunakan sebagai bahan baku air minum, dibutuhkan pengolahan terlebih dahulu yang sangat berat akibat kandungan polutan yang berlebihan.

Limbah rumah sakit

Beberapa rumah sakit di wilayah Jakarta Pusat yang kemarin juga dikunjungi tim ekspedisi menunjukkan, limbah yang berasal dari sana cukup aman dan tidak ikut mencemari air Ciliwung. Rumah Sakit Cikini di Jalan Raden Saleh dilengkapi instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk menetralisasi limbah cair yang dihasilkannya, yang jumlahnya mencapai 200-300 meter kubik setiap hari.

“Semua limbah cair baru dibuang ke Sungai Ciliwung setelah diolah melalui IPAL dan diuji kebersihannya di kolam ikan yang ada. Kesehatan ikan mas yang sengaja dipelihara di sana menjadi indikator kualitas limbah cair kami,” kata Kepala Subbidang Pemeliharaan Sarana Umum RS Cikini Paul Simorangkir.

Namun, untuk limbah padat medis yang berbahaya, seperti jarum suntik dan kemasan cairan infus bekas, yang jumlahnya mencapai sedikitnya 2 ton per bulan, RS Cikini memercayakan pemusnahannya ke pihak lain.

Hal sama juga dilakukan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), yang juga berlokasi di tepi Sungai Ciliwung di Jalan Diponegoro. Selain bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuang limbah padat nonmedis, rumah sakit itu juga mengolah limbah cairnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar 1.000 meter kubik per hari dengan menggunakan IPAL sebelum digelontorkan ke Ciliwung.

“Kami selalu memantau tingkat keamanan limbah air yang kami buang. Pemeriksaan kualitas air buangan bukan dilakukan tiga bulan, sebulan, atau seminggu sekali, tetapi dilakukan setiap hari,” kata Kepala Unit Sanitasi dan Lingkungan RSCM Zulfia Maharani.

Rumah sakit terbesar di Asia Tenggara itu memiliki sendiri instalasi insinerator untuk membakar dengan suhu tinggi hingga mencapai 1.400 derajat celsius agar seluruh limbah padat medisnya yang rata-rata mencapai jumlah lebih dari setengah ton per hari bisa dihancurkan.

“Kami memiliki fasilitas insinerator berkapasitas besar, yang bisa dimanfaatkan oleh rumah sakit lain,” kata Zulfia. (MZW/NEL/WAS/MUK/LKT/ELN/ONG)

Artikel Lainnya