KOMPAS/RIZA FATHONI

Aris Sucipto

Liputan Kompas Nasional

Sosok: Aris, Merangkul Pelukis Jalanan di Kota Tua

·sekitar 5 menit baca

Pekerjaan sehari-hari Aris Sucipto “hanyalah” pelukis potret di trotoar Jalan Pintu Besar Selatan, Glodok, Jakarta Barat. Dari pekerjaan yang dilakoni sejak tahun 1989 itu-ketika ia tidak mendapat pekerjaan pada masa awal perantauannya ke Ibu Kota-Aris belakangan dikenal sebagai salah satu penggagas komunitas pelukis jalanan. Mereka juga yang berperan untuk menghidupkan kawasan Kota Tua Jakarta.

Aris merangkul rekan-rekannya sesama pelukis potret di kawasan Kota Tua untuk juga menghasilkan karya-karya lukis yang mumpuni. Dengan demikian, karya mereka bisa diikutsertakan dalam berbagai pameran.

Bagi Aris, pelukis jalanan tidak bisa diremehkan begitu saja. Namun, semua itu harus bisa dibuktikan dengan karya yang lahir dari hati nurani sang pelukis sehingga diakui oleh penikmat lukisan.

Sejak tahun 2000 dia mendorong adanya komunitas pelukis jalanan di Kota Tua Jakarta. Komunitas itu dinamakan TrotoArt dan diharapkan bisa menjadi paguyuban di antara para pelukis jalanan. Adanya TrotoArt membuat mereka bisa saling mendukung dalam mengembangkan kreativitas dan kualitas karya.

Para pelukis potret jalanan itu muncul dari beragam kisah. Namun, mereka umumnya menjadi pelukis jalanan karena terdesak kondisi ekonomi yang sulit.

Komunitas pelukis jalanan yang mulai aktif ikut serta dalam kegiatan di Museum Bank Mandiri juga digagas Aris dan dinamakan Lintang Kota. Paguyuban seperti ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi seniman jalanan untuk berkarya dan terlibat dalam menghidupkan Kota Tua.

Aris punya obsesi untuk bisa secara sendiri atau bersama pelukis jalanan lain berpameran di gedung tua di kawasan Kota Tua itu. Dalam bayangannya, pameran itu akan dibuka oleh tukang ojek ontel atau wong cilik lainnya.

“Mereka mungkin tidak paham seni, tetapi lebih jujur. Para pejabat yang membuka pameran sering mengangguk-angguk, padahal sebagian dari mereka enggak mengerti seni,” katanya.

Lalu, tambah Aris, “Saya ingin para pelukis jalanan di Kota Tua ini bisa diberi sebuah tempat yang resmi supaya mereka bisa menata karya-karyanya dengan baik.”

Namun, di sisi lain ia sadar, untuk mewujudkan keinginannya itu salah satu cara yang harus ditempuh adalah melobi pihak-pihak terkait.

“Saya susah melobi. Itu bukan pekerjaan mudah bagi seniman. Kami menunggu tawaran pemerintah saja, untuk menyediakan wadah yang resmi di sekitar Kota Tua, entah itu di Fatahillah atau Kali Besar,” ujarnya.

Tanpa batas

Sejak lama Aris berkeinginan supaya wong cilik juga bisa menikmati lukisan. “Saya sendiri dari dulu suka minder kalau mau melihat pameran lukisan. Kadang melihat tatapan satpam saja sudah membuat saya takut dan tak berani masuk ruang pamer.”

Oleh karena itulah, dia ingin menciptakan lukisan yang bisa dilihat siapa pun, tanpa dibatasi oleh strata sosial-ekonomi.

“Biarkan setiap orang, siapa pun, bisa menikmati lukisan itu,” kata Aris yang sejak kecil hingga remaja menjadi penjual es keliling.

Tentang penghargaan untuk seniman jalanan, lulusan sekolah dasar ini mengatakan, untuk itu masih dibutuhkan perjuangan.

Ia bercerita, pada suatu rapat tentang seniman jalanan di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, tahun 1990-an, Aris melontarkan keprihatinannya terhadap para pelukis jalanan yang mangkal di pinggiran kali di Pasar Baru.

“Saya tidak bilang kalau punya andil, tetapi saat itu saya ikut meminta supaya ada tempat yang layak buat seniman jalanan di Pasar Baru. Belakangan ini, di kawasan itu sudah ada tempat resmi untuk pelukis jalanan,” ceritanya.

Berpameran

Keinginannya untuk berpameran terwujud saat ada kesempatan menggelar pameran bagi seniman jalanan Kota Tua yang saat itu tergabung dalam paguyuban Kelompok Pintu Besar Selatan. Ajakan berpameran lukisan potret pertama datang dari Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan Kota pada 1996.

Kesempatan tersebut mampu membangkitkan optimisme komunitas pelukis jalanan. Tawaran pameran lalu berdatangan dari hotel dan mal di Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah, dan Taman Ismail Marzuki. Pameran mereka ada yang disponsori pihak lain, tetapi sering pula para seniman ini saweran untuk menyewa stan pameran.

Dengan merogoh kocek sendiri juga, ia mengadakan reuni para pelukis jalanan yang pernah mangkal di trotoar Jalan Pintu Besar Selatan. Sebanyak 60 seniman jalanan pun meramaikan acara yang digelar untuk membangun tali silaturahim kembali di antara mereka.

“Saya ingin para seniman jalanan itu bisa saling memberi semangat. Mereka yang merasa belum sukses tidak patah semangat, sedangkan mereka yang sudah berhasil tetap mau bergabung. Ini supaya para pelukis jalanan itu bisa saling melengkapi kelemahan dan kelebihan masing-masing. Dari sini diharapkan bakal lahir seniman yang berkualitas,” ujar Aris yang sebelum merantau ke Jakarta mendalami seni ukir.

Dia tidak ingin pelukis potret jalanan terjebak sebagai seniman yang berkarya saat ada pesanan saja. Pria asal Kudus, Jawa Tengah, ini menggugah rekan-rekannya untuk sadar berkesenian.

Sebab, dengan mendalami seni akan mengasah hati nurani dan mampu memotret keadaan di sekeliling atau peristiwa yang mereka lihat. Bekal itu akan membuat mereka bisa menuangkannya dalam bentuk karya seni yang punya “kedalaman”.

“Respons terhadap apa yang ada dalam pikiran saya amat beragam. Ada orang yang sinis, ada pula yang mendukung. Itu lumrah saja. Kalau enggak seperti itu, enggak ada warna-warna yang menarik dari sebuah karya,” ujarnya enteng.

Tak sanggup

Ketika Aris terlihat tidak sanggup mengikuti pendidikan lebih tinggi usai menyelesaikan SD, sang ayah mengirimkan dia untuk belajar seni ukir di Jepara, Jateng. Setelah itu, dia sempat bekerja selama beberapa waktu di perusahaan furnitur sebagai tukang ukir.

Beberapa tahun kemudian, Aris memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Dia ingin memperdalam keahlian ukirnya dengan mendatangi sanggar-sanggar ukir di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Namun, saat itu dia harus puas hanya diberi tugas sebagai tukang ampelas.

Tidak puas, Aris lalu mencoba mencari pekerjaan lain. Ketika dia melintas di daerah Melawai, Jakarta Selatan, Aris melihat seorang pria lumpuh yang melukis potret di trotoar. Peristiwa itu menginspirasinya untuk juga menjadi pelukis potret.

Dari pengembaraannya, ia mendapati di kawasan Kota Tua hanya ada dua pelukis jalanan. Aris lalu bergabung dan mengembangkan komunitas pelukis potret jalanan di Kota Tua.

“Keinginan saya hanyalah agar seniman jalanan ini diberi tempat yang layak untuk menggelar karya mereka,” katanya lagi mengulang dan menegaskan. (IWAN SANTOSA/BRIGITA MARIA LUKITA)

Artikel Lainnya