KOMPAS/RIZA FATHONI

Bendung Katulampa, Bogor, dilihat dari sisi depan, Minggu (18/1). Bangunan ini dibangun pada tahun 1911 dengan tujuan sebagai sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektar yang terdapat di sisi kanan dan kiri bendung dan sebagai sistem informasi dini terhadap bahaya banjir.

Liputan Kompas Nasional

Katulampa Pun Banjir * Kawasan Puncak Rusak, Banyak Pohon Tumbang

·sekitar 4 menit baca

Kerusakan lingkungan dan perubahan fungsi lahan yang terus terjadi di daerah hulu Ciliwung menyebabkan terjadinya banjir tahunan di permukiman penduduk di sekitar Bendung Ciliwung Katulampa di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor.

Setiap musim hujan, puluhan rumah warga di sisi timur bangunan bendung selalu kebanjiran akibat luapan sungai tersebut.

Endang Budi, Ketua RT 03 RW 09 Kelurahan Katulampa, Minggu (18/1), menjelaskan, sejak tahun 2007 sekitar 20 rumah di wilayah RT-nya, yang terletak di sisi timur Bendung Katulampa, dilanda banjir setiap kali turun hujan deras di kawasan Puncak.

“Sebelumnya luapan air Ciliwung jarang terjadi. Kalaupun pernah, periodenya bisa berselang belasan tahun,” katanya.

Ia menambahkan, ancaman banjir muncul karena kawasan Puncak yang rusak. Setiap hujan, banyak pohon tumbang yang terbawa arus sungai sampai ke Bendung Katulampa.

“Karena itu, warga di sini minta supaya turap di sepanjang tepi Ciliwung menjelang Bendung Katulampa ini ditinggikan sekitar 50 sentimeter supaya luapan airnya tidak sampai membanjiri rumah warga,” papar Endang.

Burhanudin, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Katulampa, mengatakan, ancaman banjir juga selalu dihadapi sekitar 50 keluarga warga RT 01 RW 15. Bersama beberapa wilayah kelurahan lain di sekitarnya, yakni Kelurahan Tajur, Sukasari, dan Baranangsiang, wilayah Kelurahan Katulampa juga rawan longsor akibat aliran Ciliwung yang semakin deras.

Masih menurut Burhanudin, alih fungsi lahan yang tidak terkendali juga terus berlangsung di di wilayah Katulampa sendiri dan ikut menimbulkan ancaman.

Dari seluruh luas wilayah Kelurahan Katulampa, yakni 491 hektar, hanya tinggal sekitar 50 hektar yang tersisa sebagai lahan pertanian. Sekitar 50 hektar digunakan sebagai permukiman warga kampung, sementara 70 hektar lahan pertanian sudah berubah menjadi kompleks perumahan. Lahan sisanya, meski masih digarap petani, sudah dikuasai sejumlah perusahaan real estat yang juga akan membangun perumahan.

Sumur resapan

“Untuk mengatasi ancaman banjir, warga kampung sudah mulai membuat sumur-sumur resapan, secara swadaya maupun dengan bantuan pemerintah. Seharusnya warga Jakarta juga gencar membuat sumur resapan,” ujar Burhanudin.

Sementara itu, Edi Setiadi (38) dan Ny Idah (48), warga RT 1 RW 12, Kelurahan Sindangrasa, Bogor Timur, juga mengungkapkan kondisi Sungai Ciliwung yang banyak berubah dibandingkan dengan saat mereka kecil atau remaja.

“Dulu ketika masih anak-anak, kami berani terjun ke Ciliwung dari atas jembatan bendung, Waktu itu, kalau terjun, kepala atau badan kita tidak akan sampai ke dasar bendung karena airnya dalam. Sekarang mana ada yang berani. Kepala bisa hancur karena airnya dangkal, sekitar setengah meter saja,” kata Edi. (ELN/LKT/RTS/MZW/WAS/RZF/NEL/MUK/YUL)

Penyusuran Awal: Meniti Jeram di Hulu Ciliwung

Minggu (18/1) pukul 07.00, kabut tebal masih membungkus Cibulao, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Cibulao adalah basecamp Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 dan Arus Liar selama dua hari pertama perjalanan ekspedisi. Dari Cibulao ini, tim ekspedisi meneruskan perjalanan menuju Batu Layang, Cisarua. Batu Layang merupakan titik awal penelusuran di aliran Sungai Ciliwung dengan menggunakan perahu karet.

Lepas dari Jalan Raya Puncak menuju bibir sungai, diperlukan sekitar 20 menit berkendara melalui jalan sempit dan turunan curam. Di lokasi tersebut telah menunggu empat perahu dan sedikitnya 15 pemandu arung jeram yang telah terbiasa meniti jeram di Citarik, Sukabumi, Jawa Barat.

Dari tim Kompas, ada delapan orang yang turut turun menyusur sungai. Sementara enam anggota tim lainnya meneruskan liputan di sekitar Puncak hingga Bendung Katulampa.

Saat pertama kali turun menyusuri aliran Ciliwung, ada dua etape yang harus diselesaikan. Etape pertama sepanjang 3,6 kilometer, yaitu dari Batu Layang menuju Taman Wisata Matahari, dan etape kedua sepanjang 4,3 kilometer dari Taman Wisata Matahari menuju Bendung Katulampa, masih di wilayah Kabupaten Bogor.

“Etape kali ini memang tidak terlalu panjang, tetapi cukup memakan banyak waktu. Dari hasil survei awal kami, pada etape awal penyusuran Ciliwung ini tim ekspedisi akan melewati jeram yang cukup sulit, yaitu jeram level 2 dan 3. Jumlahnya pun cukup banyak,” kata Hendi Rohendi alias Abo, pemandu senior dari Arus Liar, Minggu.

Tak lupa, Abo memberi kursus singkat terkait cara berarung jeram, penyelamatan diri jika terlempar dari perahu dan terjatuh ke sungai, dan menekankan agar semua pengarung berhati-hati. Setelah doa bersama yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, pengarungan Ciliwung dimulai.

Benar saja, tak berapa lama setelah iringan empat perahu pembawa tim ekspedisi turun ke sungai, jeram-jeram beruntun langsung menyambut. Setiap orang menahan napas, melepaskan ketegangan dengan berteriak, tetapi binar semangat dan senyuman selalu menghiasi wajah para pengarung.

Ketegangan memuncak ketika salah satu perahu tim terbalik dan melemparkan semua penumpangnya ke dalam air. Meski demikian, penyelamatan cepat dilakukan dan perjalanan dilanjutkan kembali.

Di beberapa titik yang dianggap cukup sulit dilewati, antara lain di sekitar Jembatan Gadog, pengarungan terpaksa dihentikan. Para pengarung harus membawa perahu keluar dari sungai dan baru kembali turun ke Ciliwung setelah lokasi yang berbahaya itu terlewati.

Di tengah pengarungan yang mengasyikkan sekaligus menegangkan itu, turut teramati pula bagaimana limbah dan sampah begitu deras masuk ke badan sungai. Pipa-pipa paralon tampak menjulur menembus tebing sungai mengucurkan air limbah rumah tangga.

Di sepanjang Daerah Aliran Sungai Ciliwung setelah Gadog, sebelah kanan sungai lebih didominasi persawahan, sedangkan sebelah kiri sungai lebih banyak dijumpai tebing curam.

Vila-vila peristirahatan tampak di kanan-kiri sungai di atas tebing Ciliwung. Selain limbah dari vila, rumah warga, dan beberapa usaha kecil, penduduk sekitar juga terlihat masih membuang hajat langsung ke sungai.

Pengarungan mencapai Bendung Katulampa pukul 15.30. Rasa gundah merebak. Apalagi, pada pengarungan Ciliwung selanjutnya, sudah terbayang kondisi sungai yang lebih parah. (NEL/ONG/YUL/WAS/MZW/MUK/LKT/ELN/RTS)

Artikel Lainnya