KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Wisatawan mancanegara menikmati pemandangan di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Senin (19/1). Saat ini masyarakat memandang Kebun Raya Bogor sebagai tempat wisata, padahal fungsi utamanya adalah tempat konservasi dan penelitian tumbuhan.

Liputan Kompas Nasional

Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009: Dilema Kebun Raya Bogor

·sekitar 4 menit baca

Kota Bogor selalu diidentikkan dengan kebun raya. Kebun yang terbelah oleh Sungai Ciliwung di tengah kota itu menjadi oase menyejukkan untuk sekadar menikmati udara segar, ruang terbuka hijau, serta keindahan Istana Bogor.

Menurut Herawati (49), warga Depok, di sekitar rumahnya tidak ada pohon tinggi seperti di Kebun Raya Bogor (KRB). Namun, bukan itu yang membuatnya tertarik datang ke KRB. Ruang hijau terbuka luas itu cocok untuk anak-anak bermain tanpa membuat orangtua khawatir.

Bagi dua pedagang makanan di sekitar KRB, Sawita (55) dan Alexandra (20), kebun raya tak lebih sebagai tempat wisata kurang terawat yang banyak dikunjungi pengunjung pada akhir pekan. “Karena tak terawat, pepohonan di KRB malah jadi seperti hutan dan kalau malam menakutkan karena gelap gulita. Sepanjang pagar KRB juga banyak sampah dan bau pesing,” kata Alexandra.

Pandangan masyarakat awam tentang KRB sekadar tempat bersenang-senang memang tak bisa disalahkan. Di tengah menurunnya jumlah ruang terbuka hijau, pendidikan masyarakat tentang pentingnya pohon, hutan kota, serta kelestarian lingkungan menjadi kurang bermanfaat.

Fungsi KRB sebagai tempat wisata akhirnya lebih menonjol dibandingkan fungsi awalnya ketika Pemerintah Hindia Belanda membangun KRB pada 18 Mei 1817. Tujuan utamanya adalah meneliti manfaat tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis, baik dari Indonesia maupun mancanegara.

Pada awalnya, KRB sempat menjadi pusat domestifikasi tanaman sebelum disebarluaskan ke seluruh Nusantara. Beberapa jenis tanaman yang diperkenalkan di KRB adalah kelapa sawit dari Madagaskar pada 1848, karet (Brasil, 1876), vanili (Meksiko, 1819), kina (Bolivia, 1852), dan cokelat (Meksiko, 1860).

Setelah kemerdekaan, kebun raya difungsikan sebagai pengawetan sumber genetis tumbuh-tumbuhan bermanfaat sebelum dijadikan sebagai Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor pada tahun 2001.

“Kami mengeksplorasi tumbuhan khas di setiap daerah, mengumpulkan biji dan menyemainya di KRB. Setelah itu, benih dikembalikan untuk ditanam di daerah asalnya,” ujar peneliti Pusat Konservasi Tumbuhan KRB, Irawati.

Fungsi wisata pun sebenarnya hanya tambahan. Banyaknya pengunjung KRB memang mendatangkan dana untuk membiayai hingga separuh biaya pengelolaan KRB. Namun, di sisi lain keberadaan pengunjung sering kali kontraproduktif dengan fungsi konservasi. Banyak pengunjung merusak tanaman dan fasilitas KRB. Bahkan, sejumlah koleksi tanaman dan papan petunjuk hilang dicuri.

“Salah satu alasan harga tiket dinaikkan tahun lalu adalah mengurangi jumlah pengunjung. Namun, pengunjung tetap banyak sehingga kami mengedepankan fungsi pendidikan agar tak merusak tanaman,” lanjut Irawati yang menjadi Kepala KRB periode 2003-2008.

Data 2007 menunjukkan, dari 955.812 pengunjung KRB, sebanyak 94,6 persen di antaranya untuk berekreasi. Sisanya hanya untuk keperluan karyawisata (4,5 persen) dan penelitian (0,7 persen). Hingga September 2008, kebun seluas 87 hektar itu memiliki 14.354 spesimen tanaman nonanggrek dan 9.748 spesimen tanaman anggrek. Selain anggrek, KRB juga memiliki aneka jenis tanaman, mulai dari tanaman air, obat, buah, tanaman hias, hingga aneka tanaman langka.

Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan KRB 2008-2013 Mustaid Siregar mengatakan, KRB dan tiga kebun raya lain milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibodas, Purwodadi, dan Bali tetap fokus pada fungsi utamanya sebagai lembaga konservasi tumbuhan dan penelitian ilmiah.

Namun, dukungan dana untuk konservasi dan pemeliharaan KRB dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terus menurun. Akibatnya, penelitian lapangan harus dikurangi demi mempertahankan anggaran pemeliharaan bagi KRB.

Pengaruh Ciliwung

Ciliwung yang berhulu di kawasan Puncak, Jawa Barat, membelah KRB tepat di tengahnya sebelum mengalir ke Jakarta. Meski demikian, pemanfaatan Ciliwung bagi KRB baru dimulai pada 2003 saat dibangun saluran yang mengalirkan air dari Katulampa ke KRB.

Pemanfaatan air Ciliwung ini untuk menggantikan air Cibalok, anak Cisadane, yang sebelumnya dimanfaatkan untuk menyirami aneka tanaman koleksi KRB. Namun, karena debit Cibalok terus menurun dan kualitasnya memburuk, akhirnya pemerintah membangun saluran air langsung dari Bendung Katulampa. Pengelola KRB tidak mengambil langsung air Ciliwung karena kualitasnya sudah sangat buruk.

KRB juga tak menjadikan Ciliwung sebagai salah satu obyek andalan untuk menarik wisatawan. Selain alasan keamanan dan kesehatan, arus air yang deras juga sangat membahayakan pengunjung. Kondisi Ciliwung yang berbatu sebenarnya dapat dijadikan obyek wisata yang menarik, terutama bagi wisatawan asing. Sungai berbatu jarang ditemui di negara lain. Banyaknya sampah dan besarnya risiko membuat Ciliwung sulit dijadikan penarik wisatawan.

“Memang tidak gampang memelihara sungai, terutama menjaga kebersihannya. Tak bisa menyalahkan penduduk di hulu karena mereka juga tak tahu harus membuang sampahnya ke mana,” ujar Irawati.

Mustaid mengatakan, KRB ingin lebih aktif membantu penghijauan di kawasan hulu Ciliwung. “KRB dapat menyediakan bibit tanaman yang cocok untuk kawasan hulu. Namun, untuk penanamannya, kami perlu bekerja sama dengan instansi lain karena wilayah hulu Ciliwung berada di luar wewenang KRB,” katanya. (NEL/YUL/RTS/MUK/ELN/LKT/ONG)

Artikel Lainnya