KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga memungut sampah yang terapung di aliran Sungai Ciliwung di kawasan Cawang, Jakarta, Selasa (20/1). Aliran Sungai Ciliwung rusak parah akibat buangan sampah, permukiman kumuh, dan beragam kerusakan lingkungan. Meskipun demikian, sampah yang tergenang di sungai, seperti plastik dan kaleng, juga telah menjadi mata pencarian bagi sebagian warga.

Liputan Kompas Nasional

Lingkungan: Teror Sampah di Bantaran Ciliwung

·sekitar 3 menit baca

Selasa (20/1), Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 telah memasuki hari kelima dalam perjalanan menyusuri dan meliput Sungai Ciliwung dan kawasan alirannya. Kali ini, tim sungai menyusuri batang Ciliwung dari Depok hingga Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Tim darat yang terbagi dalam dua kelompok meliput kawasan sepanjang Depok hingga sebagian Jakarta, antara lain tinggalan arkeologis di Condet, Jakarta Timur.

Etape kelima kali ini dimulai dari bawah jembatan dekat Perumahan Pesona Kahyangan, Depok, Jawa Barat, hingga Jembatan Kalibata, Jakarta Selatan. Pemandangan di sisi kanan dan kiri sungai nyaris sama dengan bantaran antara Jambu Dua, Bogor, sampai Pos Pemantau Ketinggian Air, Depok.

Tempat pembuangan sampah makin sering ditemukan. Tempat sampah yang terlihat rata-rata berada di tebing sungai setinggi 2 dan belasan meter dari permukaan sungai. Luas lokasi pembuangan juga bervariasi. Ada yang seluas 1 meter persegi, tetapi ada juga yang mencapai ratusan meter persegi, seperti terlihat di sisi kiri sungai antara Pejaten Timur dan Kalibata.

Apabila di kawasan Bogor dan Depok tempat pembuangan sampah rata-rata berjarak lebih dari 1 kilometer, memasuki Jakarta, jarak antarpenimbunan sampah ini kurang dari 500 meter. “Makin buruk saja kondisi sungainya. Lihat saja, di depan perahu kita ini, kumpulan sampah daun, plastik, sampai bangkai kucing dan tikus sedang berarak terbawa arus sungai,” kata Dendi, salah satu pemandu dari Arus Liar.

Di sepanjang perjalanan, sampah juga terlihat tersangkut di batang-batang pohon, dinding rumah, dan tebing sungai setinggi 2 meter dari permukaan sungai. Ini merupakan penanda bahwa malam sebelumnya terjadi banjir cukup besar. Sampah yang terbawa arus tersangkut dan tertahan saat air berangsur surut.

Di Jembatan Kalibata, sekitar pukul 13.30, tim mendapat suplai makan siang. Namun, demi mempercepat waktu perjalanan, tim memutuskan makan siang di atas perahu, melanjutkan ke etape keenam menuju Pintu Air Manggarai. Lauk-pauk dipadu nasi yang terasa lezat karena rasa lapar membuat hampir semua anggota tim melupakan sejenak soal sampah, pemandangan orang-orang yang seenaknya buang hajat langsung di sungai, bau busuk menyengat dari perpaduan sampah, bangkai binatang, dan limbah pabrik tahu.

Bom waktu

Pada etape kedua ini, Kepala Balai Besar Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio turut bergabung bersama tim ekspedisi Kompas. Pitoyo berpendapat perilaku membuang sampah seenaknya adalah perilaku makhluk primitif, cukup aneh karena itu terjadi di kota metropolitan Jakarta.

“Dulu ketika jumlah penduduknya sedikit, limbah manusia dan rumah tangga mungkin masih bisa diolah dan diurai secara alami oleh sungai. Namun, ketika dalam bantaran sepanjang kurang dari 3 kilometer saja dihuni 350.000 orang, daya dukung sungai dan alam tidak mencukupi lagi,” kata Pitoyo.

Saat menutup etape keenam di Pintu Air Manggarai, Pitoyo menegaskan, perilaku manusia yang membuang limbah atau sampah di sungai dan mendirikan rumah di bantarannya adalah sebuah teror untuk dirinya sendiri. Telah terbukti, akibat perilakunya, bom waktu seperti banjir dan longsor dapat sewaktu-waktu terjadi.

Pitoyo juga memperlihatkan bahwa Ciliwung seharusnya memiliki lebar 40-45 meter. Salah satu penataan sungai yang ideal terlihat di Kelurahan Bidara Cina dari arah hulu hingga Jembatan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Di sepanjang sekitar 1 kilometer, terlihat tebing sungai diturap dengan susunan batu kali dan beton.

Ada jalan beton tepat di sisi sungai maupun di atas turap. Tidak ada rumah warga yang berjejalan atau pembuangan sampah. Sayangnya, proyek penataan bantaran Ciliwung yang dimulai sejak 1996 ini kini sulit diteruskan karena warga di bantaran enggan ditata.

Bantuan DKK

Di akhir etape keenam, Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo menyerahkan bantuan berupa bahan makanan pokok kepada para penjaga Pintu Air Manggarai. Bantuan serupa juga telah diberikan kepada penjaga Bendung Katulampa, Bogor, dan penjaga Pos Pemantauan Ketinggian Air, Depok.

“Mereka adalah orang-orang yang berjasa, selalu memberi informasi rutin dan akurat terkait ketinggian air dan peringatan datangnya banjir luapan Ciliwung dari Bogor. Setidaknya, bantuan dari Kompas bisa sedikit meringankan beban mereka saat ini,” kata Budiman. (NEL/WAS/ELN/ONG/LKT/MUK/MZW/NUT/RZF)

Artikel Lainnya