KOMPAS/ AGUNG SETYAHADI

Warga di Dusun Turgo, Purwobinagun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, dievakuasi ke barak pengungsian setelah awan panas Merapi yang vukup besar meluncur ke arah Kali Gendol, Kamis (8/6/2006). Warga sempat menolak untuk diungsikan karena khawatir ternak sapi perah mereka tidak terawat.

HIdup di Gunung Merapi

Evolusi Warga Dusun Turgo

·sekitar 7 menit baca

PEMERINTAH rupanya tak belajar banyak dari dinamika sosial di Merapi. Walaupun Merapi meluluhlantakkan dusun mereka dan merenggut jiwa sebagian warga, korban selamat selalu saja kembali ke tempat asal, sebagaimana diperlihatkan warga Dusun Turgo.

Setelah letusan Merapi tahun 1994 yang menewaskan 43 warga Turgo, dusun itu ditutup dan dijaga aparat militer serta kepolisian. Warga dipaksa mengungsi dan dilarang kembali. Namun, larangan itu dilawan. Warga tetap kembali sekalipun dusun mereka hancur dilanda awan panas.

FX Suwaji, warga Turgo, mengatakan, setelah tiga minggu di pengungsian, warga diam-diam menyusun rencana untuk kembali ke dusunnya.

”Untuk memastikan apakah dusun kami bisa ditinggali atau tidak adalah dengan mengetahui kondisi mata air. Kami mengutus dua warga, Darso dan Widodo, untuk memeriksa mata air di utara Bukit Turgo,” kata Suwaji.

KOMPAS/ LUCKY PRANSISKA

Poniyem, salah satu korban selamat erupsi merapi tinggal di rumah pengungsian di Dusun Turgo, Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Sabtu (24/12/2011). Poniyem satu dari ratusan warga pengungsi yang tinggal di hunian sementara sejak erupsi Merapi November 2010.

Darso dan Widodo menempuh jalur tikus supaya tidak terlihat oleh tentara yang berjaga-jaga di mulut dusun. Mata air ternyata tidak tertimbun pasir dan batu guguran kubah lava Merapi. Kerusakan hanya pada pipa air yang pecah dan mudah dibenahi. Darso dan Widodo kembali ke pengungsian untuk mengabarkan kondisi mata air.

Masalahnya adalah dana untuk membeli pipa air. Mereka kemudian bersama-sama mengumpulkan uang dan membeli pipa air di sebuah toko bangunan di Sleman. Warga kembali ke atas melalui jalur tikus dan membenahi pipa air. Jalur rahasia itu yang kemudian menjadi jalan bagi pengungsi untuk berangsur-angsur kembali ke Turgo.

Sebagian besar warga Turgo yang mengungsi ingin kembali ke kampung asal karena alasan ekonomi. Mata pencarian utama warga adalah beternak sapi perah. Lokasi Turgo sangat ideal karena dekat dengan sumber pakan rumput dan berlimpah air. Tanahnya pun subur, cocok untuk ditanami palawija.

Di pengungsian, warga Turgo pernah mencoba bertahan sebagai peternak sapi perah. Mereka mendapat bantuan sapi dan kandang kelompok. Namun, ongkos mencari pakan sangat mahal karena mereka tidak boleh mendekat ke Merapi.

KOMPAS/ TOTOK WIJAYANTO

Warga Turgo mengurusi ternaknya yang diungsikan di kandang sapi terpadu di Dusun Sudimoro, Kelurahan Purwobinangun, Pakem, Sleman, Kamis (11/11/2010). Sekitar 200 sapi milik pengungsi dititipkan di kandang terpadu yang berjarak sekitar 15 kilometer dari puncak Merapi.

Biaya angkutan rumput tidak bisa ditutup dari hasil penjualan susu. Warga semakin terdesak di pengungsian dan memilih menjual sapi bantuan itu untuk mengepulkan asap dapur. Sebagian besar warga pun menjadi buruh bangunan, buruh potong kayu, dan buruh tani.

Warga Turgo akhirnya memilih menabrak pagar betis tentara yang menjaga di mulut dusun. Warga pun kembali mengolah lahan milik mereka di dusun asal hingga saat ini.

Bagi warga Turgo, kepemilikan tanah merupakan jaminan kepastian hidup. Suwaji kemudian menyitir pepatah Jawa. Sedumuk bathuk senyari bumi, toh pati dilakoni, yang berarti tanah sejengkal pun akan dipertahankan hingga mati. Pepatah itu merupakan filosofi masyarakat agraris yang menjadikan tanah sebagai sumber kehidupan.

Namun, saat kembali ke kampung asal, warga Turgo ternyata tidak hanya bermodal nekat. Mereka mulai menyadari potensi bahaya dan perlahan mengembangkan sistem mitigasi mandiri. ”Peristiwa 1994 memberi pelajaran berharga bagi kami. Turgo yang selama ini dinilai tidak akan terkena awan panas Merapi ternyata bisa juga terkena,” ujar Suwaji.

KOMPAS/ LUCKY PRANSISKA

Kismiwati, memberi makan ternaknya di Dusun Turgo, Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Sabtu (24/12/2011). Ia beserta anak dan suaminya selamat dari erupsi merapi November 2010 meski harus kehilangan temat tingal dan keluarganya.

Sebelum 1994, masyarakat Turgo memiliki keyakinan bahwa dusun mereka tidak akan terkena awan panas. Para tetua dusun selalu mengisahkan kepada anak-anak mereka tentang legenda Bukit Turgo yang merupakan bibi dari Gunung Merapi. Turgo yang dianggap lebih tua tidak akan dicelakai oleh Merapi.

Turgo yang dianggap lebih tua tidak akan dicelakai oleh Merapi.

Kepercayaan itu mendarah daging sehingga mereka tetap bertahan di dusun hingga menjelang luncuran awan panas menerjang dusun mereka tahun 1994. Bahkan, saat awan panas menerjang, salah satu warga menggelar pesta pernikahan. Puluhan orang tewas di lokasi pesta.

Korban jiwa awan panas itu sebenarnya bisa dihindari jika mereka lebih waspada. Menurut Suwaji, guguran kubah lava pertama terjadi pada 22 November 1994 pukul 10.20, jarak luncur awan panas sekitar 3 kilometer. Kemudian, terjadi guguran kedua dengan awan panas sejauh 4 kilometer. Petaka terjadi saat luncuran awan panas ketiga sejauh 6,5 kilometer dan menghantam Turgo.

”Kalau saat itu warga mau mengungsi, sebenarnya bisa selamat. Tetapi, waktu itu mitos Turgo akan terus selamat dari Merapi masih sangat kuat,” ungkap Suwaji.

KOMPAS/ DJOKO POERNOMO

Korban letusan Gunung Merapi, hari Rabu (23/11/1994) bertambah menjadi 27 orang setelah tujuh korban yang dirawat di rumah sakit menyusul meninggal dunia, dan dua lainnya ditemukan dalam keadaan hangus di Dusun Turgo, Pakem, Sleman. Keseluruhan korban tewas tersebut, akibat terkena awan panas dari puncak Gunung Merapi.

Awan panas pertama yang meluncur sejauh 3 kilometer sebenarnya sudah diketahui 30 pekerja asal Dusun Ngandong yang sedang mengerjakan proyek jaringan pipa air bersih di Kali Boyong. Para pekerja itu meninggalkan pekerjaan mereka untuk menyelamatkan diri, 26 pekerja lari ke arah Turgo dan 4 orang lainnya lari ke Kaliurang. Empat orang yang lari ke Kaliurang tewas semuanya terkena awan panas.

Adapun 26 pekerja yang lari ke Turgo selamat semuanya. Mereka melewati lokasi hajatan perkawinan di Turgo dan mengabarkan ada awan panas. Para pekerja itu mengajak warga Turgo menyelamatkan diri sambil terus berlari keluar dari dusun.

”Warga yang ikut lari semuanya selamat, seperti Pak Raji dan Bu Kartinem,” ujar Suwaji. ”Setelah tragedi 1994, kami berubah,” ditambahkan Suwaji.

Warga Turgo menjadi terbuka mendengar saran-saran dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Warga Turgo bahkan membangun sendiri gardu pandang di sisi selatan dusun yang bisa memandang ke puncak Merapi dengan jelas. Saat aktivitas Merapi meningkat, sistem ronda diaktifkan.

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Pengunjung mengamati Gunung Merapi dengan teropong dari Gardu Pandang, Kaliurang, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (6/1/2008). Dari kawasan di tepi Kali Boyong ini, pengujung dapat menyaksikan endapan erupsi Merapi di antara bukit Plawangan dan Turgo.

Pemuda serta lelaki dewasa bergiliran berjaga siang dan malam. Mereka memantau secara visual posisi kubah lava dan mengikuti informasi dari pos pemantauan di Kaliurang melalui radio komunikasi. Minimal ada dua radio komunikasi yang dipakai, satu unit untuk memantau sinyal seismograf sehingga diketahui apakah ada tremor gempa. Satu radio memantau komunikasi pos pemantau dan BPPTK Yogyakarta.

Sistem mitigasi mandiri itu sangat diandalkan oleh warga Turgo untuk menentukan kapan harus mengungsi. Saat erupsi 2006, warga Turgo tidak mengungsi karena berdasarkan pemantauan mereka, erupsi Merapi mengarah ke Kinahrejo yang berada sisi timur Turgo.

Suwaji adalah salah satu tokoh Turgo yang pada 2006 menolak keras anjuran mengungsi. Saat itu dia menjabat Kepala Dusun Turgo. ”Bukaan kawah ke arah Kali Gendol di timur, sedangkan Turgo berada di dekat Kali Boyong di sisi barat daya,” katanya. ”Yang perlu kita pantau terus adalah arah kubah lava.”

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Wantini (51) masih tetap bertahan untuk berjualan makanan khas Kaliurang, Tempe Bacem dan Jadah, di pintu masuk Taman Wisata Alam Plawangan Turgo, Kaliurang, Sleman, Kamis (20/4/2006). Sejak ditutupnya kawasan itu pada (19/4/2006) untuk mengantisipasi bahaya letusan Gunung Merapi, puluhan pedagang makanan sejenis tidak lagi berjualan di kawasan itu.

Saat erupsi 2010, warga Turgo kompak mengungsi. Tidak ada lagi warga yang membandel. Proses alam berupa gempa vulkanik yang terus-menerus, disertai suara gemuruh dari arah Merapi, dibaca oleh warga Turgo sebagai tanda alam untuk menyelamatkan diri.

”Warga kompak mengungsi karena meyakini potensi bencana sangat besar. Kami di sini seperti berada di samping truk tronton, Merapi bergemuruh, tanah bergetar, kaca-kaca rumah juga bergetar,” ujar Suwaji.

Tanda-tanda alam itu dipatuhi warga Turgo. Lima belas menit sebelum Merapi meletus besar pada 26 Oktober 2010, permukiman yang hanya berjarak 5 kilometer dari puncak Merapi itu sudah kosong. Keputusan mengungsi diambil berdasarkan sinyal seismograf yang dipantau dari radio komunikasi.

Sinyal seismograf terus melengking selama 10 menit tanpa henti yang menandakan tremor, berarti Merapi akan meletus. Warga memutuskan untuk lari ke titik kumpul di Lapangan Tritis di selatan dusun, kemudian dievakuasi menggunakan dua truk ke barak pengungsian di Purwobinangun.

”Waktu itu kami tidak terlambat,” ujar Suwaji.

KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Warga melintas di bawah kepulan asap solfatara Gunung Merapi di Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (12/10/2010).

Letusan dahsyat Merapi 2010 menjadi sebuah awal baru bagi masyarakat di lereng selatan. Sebuah proses transisi dari mitos ke rasional. Mereka berkomitmen untuk mengikuti anjuran BPPTK sebagai ujung tombak pemantauan aktivitas Merapi.

Selama proses erupsi Merapi 2010, warga Turgo pun rajin meminta informasi ke Pos Pemantau Gunung Api Merapi di Kaliurang ataupun BPPTK. ”Merapi sudah berubah, kami pun harus berubah. Awan panas Merapi ternyata bisa juga sampai ke Turgo,” ujar Suwaji.

Merapi sudah berubah, kami pun harus berubah.

Warga Turgo berevolusi dalam pemikiran. Mereka tidak lagi menggantungkan keselamatan pada mitos, tetapi aktif mengakses informasi dari sumber utama mitigasi bencana. Mereka bertahan di Turgo dengan bekal baru, kesadaran informasi aktivitas Merapi.

Kesadaran baru itu tidak lepas dari introduksi pihak luar seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun keterbukaan dari BPPTK, Palang Merah Indonesia, dan perlindungan masyarakat (linmas). Di Turgo, LSM Lisan secara rutin memberikan pelajaran kebencanaan kepada anak-anak. Pengenalan karakter gunung api, tanda-tanda Merapi akan meletus, dan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri.

KOMPAS/ MAWAR KUSUMA

Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengunjungi barak pengungsian Purwobinangun, Turgo, Sleman, Sabtu (30/10/2010).

Gayung bersambut, BPPTK pun membuka diri untuk dihubungi kapan pun oleh warga. Kepala BPPTK Subandriyo ataupun Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTK Yogyakarta Sri Sumartini bisa dihubungi oleh masyarakat, kapan pun.

”Kami siap membantu bapak-bapak dan ibu-ibu yang menghubungi kami. Kami sangat terbuka. Silakan datang ke kantor kami atau langsung menelepon saya, nomor HP saya sudah tahu kan?” ujar Sri Sumartini kepada warga Merapi, suatu siang.

Perubahan pola pikir juga dialami warga Kinahrejo yang dusunnya tertimbun material awan panas Merapi.

Ahmad Arif; Indira Permanasari; Aryo Wisanggeni Genthong; Aloysius B Kurniawan; Agung Setyahadi; Lucky Pransiska; Slamet J Prihatin; Gunawan

Artikel Lainnya