Kompas/Eddy Hasby

Warga yang menganut kepercayaan Parmalim mengikuti ritual Sipahalima sebagai ungkapan syukur sehabis panen, di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Jumat (15/7).

Toba Mengubah Dunia

Hidup Bermula di Sianjur Mulamula

·sekitar 5 menit baca

Di lembah nan permai yang diapit Gunung Pusuk Buhit dan tebing Kaldera Toba, terletaklah Sianjur Mulamula. Air berlimpah menyuburkan hamparan sawah. Sedangkan Danau Toba, yang hanya berjarak 4,5 kilometer, menjanjikan pasokan ikan berlimpah. Di desa inilah diyakini orang Batak pertama diturunkan.

Kehidupan, awalnya hanya di dunia atas. Begitulah kepercayaan sebagian masyarakat Batak. Di sana, tinggal Ompu Debata Mulajadi na Bolon, beserta tiga dewa lain ciptaannya, yaitu Batara Guru, Soripada, dan Mangalabulan bersama keturunan mereka. Hingga tiba saatnya anak perempuan Batara Guru, Deakparujar, berumah tangga. Dia ditunangkan dengan Raja Odapodap, putra dari Mangalabulan.

Di desa inilah diyakini orang Batak pertama diturunkan.

Namun, Deakparujar tidak menyukai tunangannya yang buruk rupa. Dia mengulur waktu dengan berjanji menikah setelah selesai menenun tujuh gumpalan benang kapas. Debata Mulajadi yang mengetahui siasat Deakparujar melempar benang itu sehingga jatuh dari kayangan. Ingin menyelamatkan tenunannya, Deakparujar meniti benang itu sehingga terayun-ayun di antara lautan tak berbatas dan dunia kayangan.

Deakparujar yang enggan kembali ke kayangan lalu meminta Mulajadi memberikannya tanah sebagai tempat berpijak. Permintaan itu dikabulkan. Dengan segenggam tanah tersebut, Deakparujar membentuk daratan di tengah-tengah lautan. Makin lama, bumi ciptaannya pun membesar.

Kompas/Eddy Hasby

Warga yang menganut kepercayaan Parmalim mengikuti ritual Sipahalima sebagai ungkapan syukur sehabis panen, di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Jumat (15/7).

Debata lalu mengirim Naga Padoha untuk membawa Deakparujar ke dunia atas. Utusan Debata itu mencabik-cabik bumi ciptaan Deakparujar. Namun, Deakparujar berhasil mengalahkan Naga Padoha. Bongkahan tanah yang tercabik-cabik Naga Padoha menjelma menjadi pulau-pulau.

Deakparujar memutuskan tinggal di bumi ciptaannya itu. Sebagai hadiah, sang ayah, Batara Guru, mengirimkan sebuah kotak yang begitu dibuka, keluarlah berbagai makhluk dan tanaman memenuhi bumi baru. Deakparujar menyebut kampung barunya itu Sianjur Mulamula.

Tidak disangka-sangka, Debata mengirim Raja Odapodap ke dunia baru itu. Akhirnya, Deakparujar pasrah menerima takdirnya dan menikah dengan Raja Odopodap. Dari perkawinan itu lahir anak kembar laki dan perempuan yang dinamai Sibursok dan Sitatap sebagai manusia mula-mula. Dari anak kembar itu diturunkan raja-raja Batak, Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi yang menjadi perpanjangan tangan Debata di dunia.

Konon, Deakparujar mengundang penghuni kayangan ke Sianjur Mulamula untuk menghadiri upacara pemberian nama anak-anak mereka. Para penghuni dunia atas itu datang melalui puncak Pusuk Buhit menuju ke Sianjur Mulamula di lereng gunung itu.

Kompas/Sri Rejeki

Warga yang menganut kepercayaan Parmalim mengikuti ritual Sipahalima sebagai ungkapan syukur sehabis panen, di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Jumat (15/7).

Gunung mitologis

Aliman Tua Limbong, warga Desa Aek Sipitu Dai, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, masih menghayati mitos penciptaan itu dan memandang sakral Gunung Pusuk Buhit. Gendang dan sejumlah alat musik upacara yang mengisi ruangan di rumah panggungnya menjadi jejak keyakinan Aliman Tua.

Alat-alat musik itu biasa dimainkannya saat ritual, termasuk gondang mandudu yang khusus dimainkan sebagai persembahan bagi Debata Mulajadi na Bolon. Dalam ritual mandudu, warga Batak yang menghayati tradisi itu mempersembahkan kerbau.

”Kami langsung memberi persembahan kepada Yang Maha Kuasa berupa kerbau bertanda khusus seperti berpusaran lengkap, (empat pusaran). Orang Batak sebut Sang Maha Kuasa itu Mulajadi na Bolon, Dia yang Maha Awal dan tiada akhirnya, Maha Besar,” kata Aliman Tua menggambarkan upacara itu.

Kompas/Raditya Helabumi

Panorama Danau Toba dengan latar belakang Pulau Samosir, Senin (25/7). Danau Toba yang memiliki luas 1.780 km2 terbentuk dari letusan Gunung Toba sekitar 73.000 tahun lalu.

Saat mandudu berlangsung ujung rokok tak boleh menyala, telepon seluler tidak berbunyi, kendaraan berhenti lalu lalang, dan bisik-bisik berbicara pun dilarang. Hanya suara gendang mengambang di udara tanpa henti, menjadi perantara dalam menyalurkan isi hati.

Mitos penciptaan itu pula yang mengilhami kalangan parmalim. Pada suatu siang di bulan Juli 2011 lalu, sekitar 1.500 perempuan berulos dan pria bertutup kepala putih duduk melingkar memenuhi halaman Bale Pasogit Partonggoan di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Mereka tengah merayakan Sipaha Lima dengan mempersembahkan sesaji besar sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Debata Mulajadi na Bolon kepada pengikutnya sepanjang tahun.

Ruang berimpit

Tidak hanya bagi masyarakat tradisional Batak, bagi para vulkanolog, Pusuk Buhit juga gunung api aktif istimewa. Kubah vulkanik yang berada dalam sistem Kaldera Toba itu terbentuk pascaletusan terakhir Gunung Toba, sekitar 74.000 tahun lalu (Youngest Toba Tuff/YTT).

Tidak hanya bagi masyarakat tradisional Batak, bagi para vulkanolog, Pusuk Buhit juga gunung api aktif istimewa.

Pusuk Buhit menandai adanya denyut hidup magma di dalam perut Toba pascaletusan raksasa (supereruption) YTT, yang berdampak global. Sisa kegiatan magma itu masih terlihat dalam bentuk gas belerang dan sumber air panas di sekitar Pusuk Buhit.

Impitan ruang antara pengetahuan geologi dan kosmologi masyarakat Batak di Pusuk Buhit ini, merupakan fenomena menarik. Sedari awal kedatangan manusia Batak di Danau Toba, rupanya mereka telah mengamati ”keajaiban” bentang alam di sekitarnya, khususnya di Pusuk Buhit.

Kompas/Amir Sodikin

Pusuk Buhit atau biasa disebut Pusuk Bukit adalah bukit baru yang terbentuk setelah letusan Gunung Toba 74.000 tahun lalu. Pusuk Buhit merupakan bukti bahwa kompleks magma Toba masih aktif.

Antropolog Universitas Pitsburg, Pamela J Stewart dan Andrew Strathern dalam Landscape, Memory and History; Anthropological Perspectives (2003) menulis, ikatan rasa terhadap bentang alam, termasuk gunung berjejalin di dalam mitos dan ritual. Formasi alam ibarat pasak tempat orang menggantung ingatan, mengonstruksi makna dari peristiwa-peristiwa, serta sebagai arena ritual, dan keyakinan.

Kepercayaan itu membuat masyarakat yang menghayatinya menjaga pula ruang-ruang spiritual itu sehingga alam ikut terjaga. Hidup harmonis dengan alam itu juga dipelihara oleh kalangan parmalim. Pemimpin ritual di Bale Pasogit Partonggoan di Desa Huta Tinggi, Raja Marnangkok Naipospos, mengungkapkan, umat parmalim berkewajiban menjaga alam, termasuk air yang dianggap menyucikan. ”Umat yang merusak alam dimurkai Debata Mulajadi na Bolon,” kata Marnangkok.

Kepercayaan itu membuat masyarakat yang menghayatinya menjaga pula ruang-ruang spiritual itu sehingga alam ikut terjaga.

Begitu juga warga di sekitar Pusuk Buhit. Aliman Tua menceritakan, Pusuk Buhit dianggap keramat oleh masyarakat sekitarnya, sehingga tidak ada yang berani merusak tempat itu.

Bagi warga Sianjur Mulamula yang meyakininya, Pusuk Buhit tidak sekadar gunung dengan aktivitas magma di dalamnya. Setiap melihat gunung menjulang itu, teringatlah warga yang meyakininya, betapa Debata mengamati hidup mereka dari dunia atas.

Artikel Lainnya