Letusan Gunung Merapi paling dahsyat yang tercatat dalam sejarah modern terjadi pada 15-20 April 1872. Letusan mematikan itu berlangsung selama 120 jam tanpa jeda. Awan panas dan material jatuhan memusnahkan seluruh permukiman yang berada di ketinggian di atas 1.000 mdpl.
Letusan sangat mendadak dengan lava kental, tekanan gas sedang, dan dapur magma yang dangkal seperti letusan Gunung St Vincent di Kepulauan Antilles Kecil, Karibia, itu dicatat oleh Kemmerling (1921) dan Hartmann (1934) yang menjadi rujukan penelitian B Voight dkk (2000) dalam Historical Eruptions of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768-1998.
Letusan pertama pada 15 April 1872 tidak diawali gejala peningkatan aktivitas. Letusan berlangsung selama lima hari dan menghancurkan kubah lava yang tumbuh pada 1867-1871. Pada Agustus 1871, kubah lava setinggi 250 meter tumbuh di atas Pasarbubar, kawah Merapi Tua. Puncak kubah lava itu 2.890 mdpl dan terus tumbuh hingga 2.907 mdpl.
”Suara letusan seperti suara meriam terdengar sampai Karawang dan Priangan di barat, serta ke timur hingga Madura dan Pulau Bawean,” tulis Hartmann.
Letusan dahsyat itu membentuk kawah oval 640 x 480 meter dengan kedalaman mencapai 500 meter. Merapi terpotong bagian puncaknya hingga ketinggiannya hanya 2.814 mdpl.
Merapi kembali meletus dahsyat pada 2010, diawali pembongkaran sumbat lava dan terus terjadi letusan tanpa membentuk kubah lava. Gempa bumi terus-menerus terjadi menjelang letusan besar pada 3 dan 5 November, lebih dahsyat dibandingkan dengan letusan pada 26 Oktober karena menciptakan awan panas yang meluncur hingga 15 kilometer melalui Kali Gendol. Material yang dimuntahkan mencapai 150 juta meter kubik.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (30/11/2010), 61.154 orang mengungsi, 341 orang tewas, dan 368 orang harus rawat inap. Amukan awan panas dan material jatuhan menyebabkan 3.307 bangunan rumah, sekolah, puskesmas, dan pasar rusak. Nilai kerugian mencapai Rp 4,23 triliun.
”Kita tidak tahu apakah letusan 2010 merupakan akhir dari letusan besar yang dimulai dari tahun 2006 atau justru awal dari letusan yang lebih besar,” ujar Subandriyo, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta.
Andreastuti, peneliti pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dalam penelitiannya pada tahun 1999, menemukan jejak letusan besar yang dikategorikan sub-plinian di Selo, sisi utara Merapi. Letusan besar dengan kolom letusan mencapai 10 kilometer itu terjadi pada kisaran tahun 765-911 Masehi. Jejak letusan besar itu menghasilkan tepra atau endapan fragmen batu apung di Selo.
Letusan-letusan besar Merapi juga pernah terjadi pada tahun 1822-1823. Letusan ini diawali dengan penghancuran kubah lava dan membentuk kawah berdiameter 600 meter dengan bukaan ke arah Kali Apu, Blongkeng, dan Woro. Luncuran awan panas itu mengubur delapan desa. ”Gunung diselimuti oleh aliran api,” tulis Kemmerling.
Antara tahun 1832 dan 1836, Merapi kembali meletus besar. Letusan pada tengah malam 25 Desember 1832 itu terjadi tiba-tiba. Aktivitas vulkanik berlangsung hingga pukul 18.35.
Erupsi Merapi pada 1930 menimbulkan awan panas yang meluncur hingga 20 kilometer ke arah barat, mengubur 13 desa, merusak 23 desa, dan menewaskan 1.369 penduduk. Setelah tenang selama dua tahun, Merapi kembali aktif mulai 19 Maret 1961. Aliran lava pada bulan Juni diperkirakan mencapai 200.000 meter kubik per hari. Kubah lava tinggal 10 persen setelah terbongkar dan menciptakan 119 luncuran awan panas. Material erupsi diperkirakan mencapai 42 juta meter kubik.
Kemudian, giliran Turgo dan Kaliurang menjadi korban luncuran awan panas akibat guguran kubah lava pada 1994. Korban tewas tercatat 64 jiwa.