Kontestasi makna berkah dan bencana selalu beriringan menghidupi masyarakat sekitar gunung api, termasuk di sekitar Gunung Guntur, Kabupaten Garut. Masyarakat setempat berkeyakinan bahwa kemungkinan Gunung Guntur meletus sangat kecil.
Rasionalitas ekonomi tampaknya telah mengikis tingkat kewaspadaan mereka terhadap ancaman bencana letusan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Tiadanya pengalaman langsung menghadapi letusan gunung api membuat masyarakat merasa aman tinggal di kawasan rawan bencana tingkat dua Gunung Guntur. Mereka meyakini, Gunung tak akan merusak kehidupan masyarakat yang turun- temurun mendiami kawasan itu.
Tahun ini, Gunung Guntur sudah 165 tahun tidak meletus. Tidak ada seorang pun yang pernah merasakan kedahsyatan gunung setinggi 2.249 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini. Ditambah nyaris punahnya cerita turun-temurun, letusan yang abunya pernah terbang sejauh 250 km mencapai Jakarta kini terdengar seperti legenda.
Bagi masyarakat setempat, Guntur terus ”memberi” berkah yang terwujud dalam kesuburan tanah sepanjang tahun dan air yang berlimpah. Padi, palawija, dan hortikultura menjadi komoditas utama yang hasilnya menghidupi sebagian besar warga. Sumber air panas alamiah di ketinggian sekitar 900 mdpl di kawasan Cipanas menjadikannya sebagai salah satu lokasi wisata utama di Kabupaten Garut.
Agus (56), warga yang sejak lahir tinggal di salah satu desa di kawasan rawan bencana, mengaku, satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan hanya bertani. Hasil yang diperoleh dirasakan cukup untuk menghidupi istri dan tiga anak mereka. Demikian pula, Dani (34) dan keluarganya. Usaha warung makan mereka bergantung pada kegiatan wisata di Cipanas. ”Kalau di sini ramai (pengunjung), sate dan sop kambing kami juga laris,” ujarnya.
Mereka meyakini, masa ”tenang” Gunung Guntur yang lebih dari satu setengah abad itu akan tetap terjaga. Karena itu, berpindah ke daerah lain bukan pilihan menarik dari sisi ekonomi. Keterbatasan akses informasi dan keterampilan membuat mereka yakin tak akan menjadi lebih sejahtera di tempat baru.
Kondisi itu membuat kawasan seluas 20 kilometer persegi yang terbagi jadi lima desa ini menjadi semakin padat. Tahun lalu, tercatat 12.000 keluarga mendiami kawasan ini. Padahal, tiga tahun sebelumnya masih 10.000 keluarga. Pertambahan yang tergolong pesat itu membuat kawasan rawan bencana Gunung Guntur menjadi salah satu wilayah terpadat di Garut.
Informasi mitigasi minim
Keputusan untuk tetap tinggal di area yang tergolong sangat dekat dengan Guntur tidak mengherankan. Sebagai makhluk rasional, orang selalu berupaya memaksimalkan tujuan dengan mempertimbangkan risiko yang ada. Tujuan ekonomi salah satunya. Semakin banyak informasi, semakin baik penilaian seseorang terhadap risiko.
Yang jadi persoalan, informasi mengenai tingkat kerawanan bencana Guntur yang diperoleh masyarakat terbilang sedikit. Sebagian dari mereka bahkan tidak tahu kalau tempat tinggalnya berisiko terkena dampak langsung jika gunung yang berjarak kurang dari 5 km ini meletus. Padahal, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menerbitkan peta kawasan rawan bencana Gunung Guntur sejak sembilan tahun lalu.
Hingga kini, pos pengamatan Gunung Guntur milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Desa Sirnajaya, sekitar 5 km dari kawah Guntur, menjadi satu-satunya sumber informasi masyarakat sekitar. Saat status Guntur dinaikkan jadi ”Waspada” tahun 2007 dan 2009, pos yang biasanya lengang menjadi ramai dikunjungi masyarakat yang ingin mendapat kepastian tentang kondisi Guntur.
Peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) penting sehingga menjadi kunci keberhasilan upaya pengurangan risiko bencana. Hal itu terutama melalui mitigasi dan pengurangan kerentanan bencana. Namun, banyaknya wilayah yang berpotensi terkena bencana di Garut dan keterbatasan sumber daya membuat perhatian ke kawasan Guntur relatif sedikit.
Terbatasnya perhatian dan informasi membuat masyarakat di kawasan rawan bencana Gunung Guntur cenderung menilai rendah risiko yang mereka hadapi. Di sisi lain, gunung yang juga disebut sebagai Gunung Gede ini dipersepsikan membawa berkah penghidupan tersendiri. Kesemuanya itu menjadikan kesempatan ekonomi di kawasan ini lebih menarik daripada ancaman bencananya.
Dampak ekonomi
Kerawanan bencana Gunung Guntur berkontribusi langsung pada penilaian bahwa Kabupaten Garut adalah wilayah yang paling rawan bencana di Indonesia. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2011 tentang Indeks Rawan Bencana Indonesia mencatat, angka indeks untuk Garut sebesar 139. Angka ini merupakan tertinggi untuk tingkat kabupaten/kota.
Kabupaten Garut adalah wilayah yang paling rawan bencana di Indonesia.
Bersama Gunung Galunggung, Sesar Lembang, dan ancaman bencana lain, Guntur menempatkan Jawa Barat di posisi kedua setelah Jawa Tengah sebagai provinsi paling rawan di Indonesia. Tidak hanya kerawanan fisik, tetapi juga perekonomian pun turut rawan.
Wilayah-wilayah rawan bencana di Gunung Guntur, Galunggung, dan Sesar Lembang pada tahun 2010 tercatat menyumbang sekitar Rp 205 triliun atau sepertiga dari perekonomian Jawa Barat.
Sumbangan yang terbesar adalah dari sektor pertanian, di antaranya buah-buahan, sayuran, dan hasil peternakan. Lebih dari separuh hasil pertanian tersebut dikirim ke Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, yang menjadikan Jawa Barat sebagai salah satu daerah utama produksi pertanian Indonesia.
Selain hasil pertanian, Jawa Barat juga memiliki industri tekstil dan produk tekstil yang relatif kuat. Hasil dari industri, seperti bahan kaus, kerudung, dan bordir pakaian, juga dikirim ke daerah lain. Yang terbanyak adalah ke Jakarta, Jawa Timur, Riau, dan Sumatera Utara. Bahan bakunya sebagian besar diambil dari Banten, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua.
Besarnya potensi ekonomi di kawasan rawan bencana membuat posisi Jawa Barat sangat krusial karena menyumbang 15 persen perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS tahun 2010, posisinya hanya kalah oleh Jakarta dan Jawa Timur.
Kondisi ini yang membuat potensi kerugian ekonomi akibat bencana gunung meletus dan gempa sesar di Jawa Barat bisa mencapai lima kali lipat kerugian ekonomi yang ditimbulkan dampak gempa dan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta enam tahun silam. Karena itu, sosialisasi mitigasi bencana yang gencar perlu dilakukan. Ini untuk mengimbangi daya tarik ekonomi yang tinggi.
(LUHUR FAJAR MARTHA/ YULIANA RINI DY/ DWI RUSTIONO/Litbang KOMPAS)