Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Limbah pewarnaan sebuah pabrik tekstil di Majalaya, Bandung, Jawa Barat, dibuang di aliran Sungai Citarum, Selasa (22/3). Limbah pabrik ini menjadi salah satu penyebab rusaknya lingkungan sungai.

Pencemaran

Citarum Tercemar Dari Hulu *Belum Ada Pihak yang Menangani dengan Serius dan Fokus

·sekitar 4 menit baca

Sungai Citarum, sumber air minum bagi 25 juta warga Jawa Barat dan DKI Jakarta serta pemasok tenaga listrik bagi Pulau Jawa dan Bali, kini tercemar logam berat. Pencemaran disertai pelumpuran dan pendangkalan yang hebat terus berlangsung tanpa ada penanganan serius.

Akibatnya, hampir semua fungsi sungai yang sangat strategis bagi kepentingan nasional itu rusak berat. Percemaran dan sedimentasi terjadi mulai dari hulu sungai di Situ Cisanti di kaki Gunung Wayang, Bandung selatan, dan mengalir sepanjang 269 kilometer hingga muara sungai di Pantai Muara Merdeka, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jabar.

Sebelum mengalir ke Laut Jawa, sungai terbesar dan terpanjang di Jabar ini digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Waduk Saguling (kapasitas 700-1.400 megawatt), Waduk Waduk Cirata (1.008 MW), dan Waduk Jatiluhur (187 MW). Ketiga PLTA itu memasok listrik untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali yang dihuni hampir separuh dari penduduk negeri ini.

Air Citarum yang tercemar juga digunakan untuk perikanan dan irigasi di 420.000 hektar lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta, serta lumbung padi nasional di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu.

Tingkat kerusakan

Ekspedisi Sungai Citarum 2011 yang dilakukan Kompas dengan menyusuri sungai dari Situ Cisanti hingga Muara Gembong, pekan lalu, mencatat, perusakan sungai berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan dibiarkan begitu saja melintasi alur sungai. Secara kasatmata, hanya 700 meter dari Situ Cisanti, air Citarum dijadikan tempat pembuangan limbah kotoran sapi.

Padahal, air yang keluar dari tujuh mata air di hulu itu sangat bening. Setelah itu, aliran sungai ini melewati perkampungan padat Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang sebagian besar penduduknya merupakan petani sayur dan peternak sapi perah. “Semua peternak sapi perah di desa ini membuang kotoran sapinya langsung ke sungai,” ujar Agus Darajat, tokoh masyarakat yang juga Ketua Kertasari Bersatu.

Hasil pemantauan kualitas air Perum Jasa Tirta II menyebutkan, air dari Outlet Cisanti sudah mengandung H2S (hidrogen sulfida) dan chemical oxygen demand (COD) melebihi ambang baku mutu.

Alih fungsi lahan

Tokoh masyarakat hulu Citarum, Dede Jauhari, menilai kerusakan itu akibat alih fungsi lahan dari seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air menjadi daerah pertanian semusim. Hampir semua pertanian sayur (wortel, kol, kentang, dan daun bawang) di hulu Citarum menggunakan pestisida dan pupuk kimia.

Di sentra industri tekstil Kecamatan Majalaya, 20 km dari Kertasari, limbah industri berwarna pekat dengan bau menyengat serta temperatur dan keasaman tinggi langsung dibuang ke Citarum. Di Kecamatan Dayeuhkolot hingga Soreang, 40-60 km dari hulu, Selain limbah industri, sampah domestik yang dibuang dari permukiman padat ke sungai juga memperparah pencemaran. Sampah dari Kota Bandung yang terbawa anak sungai pun turut menjadi bagian dari pencemaran Sungai Citarum.

Di Cekungan Bandung ini, sejumlah anak sungai bermuara ke Citarum, yakni Sungai Cikijing, Citarik, Cikeruh, Cidurian, Cikapundung, Cisangkuy, Citepus, dan Cibeureum, yang dijadikan tempat pembuangan limbah dan sampah oleh semua pihak. Berdasarkan hasil evaluasi pemantauan kualitas air oleh Perum Jasa Tirta II, zat kimia Zn (seng), Fe (logam), NH3-N, NO2-N (nitrogen), H2S, Mn (mangan), biochemical oxygen demand (BOD), COD, dan oksigen terlarut melebihi baku mutu air.

“Sampah dari rumah tangga lebih mudah terurai bila dibandingkan dengan limbah industri yang membahayakan,” ujar Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar Iwan Setiawan Wangsaatmadja. Pencemaran dan sedimentasi terus berlangsung ke tengah, sekitar Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, hingga ke muara di Laut Jawa.

General Manager Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Saguling Erry Wibowo membenarkan, air Citarum yang masuk ke Waduk Saguling sudah tercemar bahan kimia, terutama H2S. Pencemaran berlangsung sejak waduk dioperasikan pada 1985 tanpa ada upaya pengendalian. “Kami khawatir kasus minamata terjadi di Citarum karena hingga kini belum ada pengendalilan,” ujar Erry.

Hasil penelitian Pusat Lembaga Sumber Daya Alam Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia Power, Pembangkit Jawa-Bali, dan Perum Jasa Tirta menunjukkan, air di ketiga waduk itu tak layak untuk air baku minum, budidaya perikanan, dan peternakan.

Air minum Jakarta

Dari Waduk Jatiluhur, air mengalir ke hilir melalui Bendung Curug yang membagi air ke irigasi Tarum Barat dan Tarum Timur. Tarum Barat mengalirkan air untuk bahan baku air minum 10 juta warga DKI Jakarta. Sebanyak 8.500 liter per detik air baku dikelola PT Aetra Air Jakarta dan 6.000 liter per detik air baku diolah PT Palyja.

Di kawasan Muara Gembong, air Citarum berwarna coklat muda langsung masuk ke Laut Jawa. Menurut laporan Perum Jasa Tirta II, Desember 2010, air Citarum di Muara Gembong mengandung Fe, NO2-N, dan H2S lebih dari baku mutu. “Tahun 2009 pernah semua ikan mati dan mengambang di Sungai Citarum,” ungkap Suryana (35), Sekretaris Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengaku, di balik perannya yang strategis, Citarum juga sering memicu banjir. Luas Daerah Aliran Sungai Citarum tercatat 6.614 km persegi dan dihuni 15,3 juta penduduk.

Yang mengherankan, belum ada instansi yang menangani perusakan dan pencemaran Citarum. “Selama Citarum masih berair, walaupun tercemar hebat, itu dianggap biasa,” ujar Guru Besar Lingkungan Institut Teknologi Bandung Mubiar Purwasasmita.

(REK/CHE/ELD/MKN/HEI/DMU/GRE/JAN)

Artikel Lainnya