Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Seorang warga berusaha menembus rapatnya eceng gondok yang menutup permukaan Sungai Citarum di perbatasan Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, dan Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat, Sabtu (26/3). Eceng gondok menjadi salah satu permasalahan Sungai Citarum selain sedimentasi dan pencemaran.

Pencemaran

Kerusakan Perairan: Ketika Eceng Gondok Penuhi Sungai Citarum

·sekitar 4 menit baca

Anda butuh eceng gondok? Datanglah ke Sungai Citarum, tepatnya hulu Waduk Cirata, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Tanaman air itu memenuhi sekitar satu kilometer sungai yang di kawasan ini lebarnya sekitar 300 meteran.

Tanaman yang menjadi indikator tercemarnya air sungai itu benar-benar merepotkan Ma’mun (50), tukang perahu yang sehari-hari bertugas menyeberangkan penduduk. Pasalnya, sungai purba Citarum di titik ini merupakan jalur lalu lintas warga Margaluyu, Bandung Barat, bertahun-tahun menuju Desa Kertamukti, Ciranjang, Kabupaten Cianjur.

“Kalau pagi, kami harus menyingkirkan eceng gondok agar perahu bisa melaju. Tak jarang, anak sekolah kesiangan karena perahu lambat tiba di seberang sungai,” ujar bapak beranak tiga yang secara turun-temurun jadi pabelah (tukang menyeberangkan perahu).

Dari pada malu kesiangan, biasanya anak-anak pelajar itu tidak sampai ke sekolah. Mereka hanya berkumpul sambil menunggu jam pulang sekolah. Tukang perahu dan tukang ojek di sana maklum adanya karena untuk menyingkirkan eceng gondok yang padat, bisa sampai setengah meter, itu bukan perkara gampang. Padahal, pihak sekolah sudah memberi subsidi transportasi kepada pabelah sebesar Rp 3 juta per tahun.

Setiap hari Ma’mun menyeberangkan 100-150 warga dari desa di dua kabupaten yang terpisah oleh sungai terpanjang dan terbesar di Jabar itu. Sebanyak 40 orang di antaranya anak sekolah SMP dan SMA. Jalur itu merupakan jalan pintas anak sekolah, dari Bandung ke Cianjur. Jika lewat jalan darat harus melingkar sejauh 20 kilometer karena harus melewati jembatan tol Citarum di jalan negara Jakarta-Bandung.

Kalau lewat Citarum, jaraknya kurang dari separuhnya dan waktu tempuh pun relatif lebih cepat. “Dari dulu desa kami terisolasi sehingga Sungai Citarum menjadi jalur lalu lintas warga,” ujar Asep Sulaeman, warga Desa Margaluyu.

Sebelum Waduk Cirata dibangun, warga desa ini lebih memilih pergi ke Cianjur lewat Citarum untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Untuk menuju kota Kecamatan Cipeundeuy, walaupun jaraknya hanya 20 kilometer, jalannya turun naik lewat pegunungan dan perkebunan karet yang sering rusak.

Kondisi itu hampir tidak pernah berubah hingga kini sehingga Sungai Citarum tetap menjadi lintas utama warga di kedua kabupaten itu. Dulu, penyeberangan menggunakan tambang yang dikerek secara manual. Setelah Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata beroperasi, keluarga Ma’mun menggantinya dengan perahu kayu bermesin Honda 5,5 PK.

Keluarga Ma’mun menyediakan dua perahu untuk penyeberangan itu yang harganya masing-masing Rp 8 juta. Perahu kayu itu mampu bertahan rata-rata dua tahun. Ongkos Bandung-Cianjur hanya Rp 5.000 untuk umum dan Rp 3.000 per orang bagi anak sekolah. Waktu operasi pukul 05.00-19.00 WIB.

“Tidak jarang pula mereka hanya bayar dengan hatur nuhun. Tetapi, saya tidak apa-apa, itung-itung amal ibadah,” ujar Ma’mun. Pendapatannya Rp 100.000-Rp 150.000.

Dirundung masalah

Pencemaran dan sedimentasi merupakan masalah utama Citarum, sungai sepanjang 269 kilometer yang mengalir dari hulunya, Situ Cisanti, Gunung Wayang, Bandung Selatan, hingga Pantai Merdeka Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Menurut data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat, di daerah aliran sungai (DAS) Citarum tidak satu lokasi pun yang kualitas airnya memenuhi kriteria mutu air, baik untuk minum maupun kegiatan perikanan atau pertanian.

Pencemaran air sungai disebabkan oleh banyaknya air limbah yang masuk ke dalam sungai yang berasal dari berbagai sumber pencemaran, yaitu dari limbah industri, domestik, rumah sakit, peternakan, pertanian, dan sebagainya.

Dari data kualitas air yang diukur, kondisi Sungai Citarum sudah masuk ke tingkat pencemaran berat. Banyak parameter kunci yang sudah melebihi baku mutu, baik dari limbah organik hingga kandungan logam berat. Sekitar 40 persen limbah Sungai Citarum merupakan limbah organik dan rumah tangga. Sisanya merupakan limbah kimia atau industri dan limbah peternakan serta pertanian.

Citarum juga dirundung sedimentasi yang tinggi, mencapai 10 juta meter kubik per tahun. Sedimentasi dan erosi itu sudah berlangsung sejak hulu, yakni di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung.

Tokoh masyarakat hulu Citarum, Dede Jauhari, mengamati, semua itu akibat alih fungsi lahan dari yang seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air menjadi daerah pertanian semusim, seperti sayuran. Sebagian besar budidaya tanaman berusia pendek itu dilakukan tanpa mengikuti kaidah-kaidah konservasi sehingga menimbulkan erosi yang sangat tinggi terhadap sungai.

Di Kertasari, menurut camat Asep Ruswandi, terdapat 15.000 hektar lahan, 3.000 hektar di antaranya milik warga. Hampir 70.000 warga Kertasari adalah petani yang mengelola lahan hingga ke hutan berkemiringan di atas 30 persen. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengimbau warga bahwa lahan itu milik negara,” ujarnya.

Air Citarum digunakan untuk tiga PLTA, yakni Saguling, PLTA Cirata, dan PLTA Jatiluhur. Namun, sekitar 4 juta meter kubik lumpur masuk ke Waduk Saguling. “Penelitian tahun 2007, sedimentasi di Cirata 7,41 juta meter kubik per tahun, sebelumnya 5,5 juta meter kubik,” ujar Asisten Analis Hidrologi dan Sedimentasi, Tuarso. Sedimentasi setinggi itu membuat waduk yang didesain berusia 100 tahun tersebut akan berkurang 20 tahun.

(DEDI MUHTADI)

Artikel Lainnya