Kompas/Lucky Pransiska

Peternak memerah susu di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 21 Maret lalu. Seekor sapi menghasilkan 15-20 liter susu per hari yang dihargai Rp 2.800-Rp 3.000 per liter oleh Koperasi Peternak Bandung Selatan.

Pangan

Ekspedisi Citarum 2011:”Emas Putih” di Bandung Selatan

·sekitar 3 menit baca

Senin (21/3) sore di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, di lereng Gunung Wayang, Jawa Barat. Sejumlah mojang berbalut baju rajut asyik menenteng milk can, wadah susu berwarna perak dari baja tahan karat, menuju ke unit koperasi penampungan susu segar.

Tawa kecil mereka menghangatkan hawa dingin yang kian menusuk tulang. Suasana bersahaja itu saban hari terlihat di Desa Tarumajaya, dekat Situ Cisanti, hulu Sungai Citarum, Jawa Barat. Gambaran khas desa peternakan sapi perah yang merupakan salah satu mata pencarian utama masyarakat pegunungan di Bandung selatan.

Bagi peternak, sapi perah merupakan tumpuan hidup. Untuk itu, semua anggota keluarga terlibat di dalamnya. “Biasanya yang mencari pakan rumput kakak laki-laki saya. Kalau bapak membersihkan kandang dan memberi pakan, sedangkan ibu memerah susu. Saya yang mengantarkan susu ke koperasi setiap pagi dan sore,” tutur Oneng (15), perempuan anak peternak sapi di Desa Tarumajaya.

Aceng (60) yang telah sekitar 20 tahun menggantungkan hidup pada penjualan “emas putih” mengatakan, modal beternak sapi perah cukup banyak. Harga seekor sapi perah kualitas super yang dapat menghasilkan 20 liter susu per hari, misalnya, mencapai Rp 12 juta.

Mantan pegawai perkebunan kina di Kertasari itu semula hanya memiliki dua sapi yang dibelinya pada 1990 seharga Rp 10 juta. Dari ketekunannya, ia kini memiliki delapan sapi dan 2 hektar sawah serta mendirikan sekolah mengaji di dekat rumahnya. Bahkan, ia bisa naik haji dari beternak sapi perah.

Untuk mendapatkan ternak sehat, ia selalu memerhatikan pakan dan kebersihan kandang. Pakan sapi lazimnya berupa campuran konsentrat dan rumput. Biaya pemeliharaan delapan sapi, menurut dia, sekitar Rp 240.000 per hari. Adapun harga susu pada koperasi Rp 3.000-Rp 3.300 per liter sesuai dengan kualitas.

Jika seekor sapi bisa menghasilkan 14 liter per hari, berarti diproduksi 112 liter. Dengan asumsi harga susu Rp 3.100 per liter, penghasilan kotor Aceng mencapai Rp 347.200. Dikurangi biaya pemeliharaan dan potongan koperasi, ia meraih penghasilan bersih Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan.

“Asal tekun, dari beternak sapi bisa menabung. Kalau ada peternak, tetapi enggak berkembang, biasanya karena malas memelihara pedet (anakan sapi). Padahal, pelihara pedet sama dengan berinvestasi,” tuturnya.

Sapi unggul

Sejak zaman pendudukan Belanda, Bandung selatan sudah menjadi sentra peternakan sapi perah. Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984) menyebutkan, sejak awal tahun 1800-an, sapi-sapi impor jenis unggul mulai didatangkan dari Friesland, “negeri leluhur” sapi perah di Belanda.

Di Pangalengan, peternakan saat itu dikelola perusahaan Belanda, De Friesche Terp, Almanak, Van Der Els, dan Big Man. Susu ditampung dan dipasarkan Bandoengsche Melk Centrale (BMC) yang kini masih berdiri di Kota Bandung. Begitu banyaknya sapi bibit unggul dari Friesland yang diternakkan di Pangalengan, daerah ini lalu disebut “Friesland in Indie” atau Friesland-nya Indonesia.

Seusai penjajahan Jepang, para peternak Pangalengan mendirikan koperasi pertama pada 1949 dengan nama Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan (Gappsip). Pada 1961 Gappsip tak mampu menghadapi labilnya perekonomian dan tata niaga susu dari tengkulak.

Saat itulah Daman Danuwidjaja (alm) dan beberapa tokoh masyarakat Pangalengan mendirikan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Pembangunan instalasi milk treatment mampu menangkal ulah tengkulak. KPBS pun berkembang pesat dengan jumlah karyawan saat ini mencapai 250 orang. Jumlah anggota pun meningkat dari sekitar 600 peternak menjadi 5.200 peternak.

Ketua Umum KPBS Aun Gunawan mengatakan, populasi sapi milik anggota bertambah dari 2.000 ekor pada 1961 menjadi 22.000 ekor. Sementara kapasitas produksi koperasi saat ini 135 ton per hari dengan 95 persen adalah susu segar.

Dilema limbah

Walau begitu, geliat peternakan sapi perah di hulu Citarum bukannya tidak meninggalkan persoalan lingkungan. Populasi sapi yang mencapai 6.000 ekor belum dibarengi manajemen pengelolaan limbah yang memadai. Keterbatasan lahan menyebabkan para peternak berpikir pendek dan membuang limbah begitu saja ke aliran sungai tanpa diolah.

Ini menyumbang persoalan sedimentasi yang terbawa sungai. Belum lagi kandungan bakteri Escherichia coli (E coli) yang menyebabkan gangguan kesehatan. KPBS mencatat, dari sekitar 18.500 sapi perah di Bandung selatan, volume limbah kotoran yang dihasilkan mencapai 8.600 ton per bulan!

Soal lain, harga susu tak kunjung naik. Sudah dua tahun ini harga susu dari koperasi ke industri pengolahan susu Rp 3.500-Rp 3.700 per liter. Ini terendah di Asia Tenggara. (M KURNIAWAN)

Artikel Lainnya