KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga melintasi hamparan perkebunan teh di Kertasari, Bandung, Jawa Barat, tidak jauh dari hulu Sungai Citarum, Minggu (24/4). Teh dari Bandung Selatan ini terkenal hingga mancanegara.

Pangan

Dari Citarum untuk Dunia…

·sekitar 4 menit baca

Menyusuri lekukan lembah Sungai Citarum di Tatar Priangan, pandangan tak akan terlepas dari kebun teh yang menghampar bak permadani hijau raksasa. Di sela-selanya, lenggak-lenggok perempuan bercaping sigap memetik pucuk-pucuk daunnya seolah berkejaran dengan mentari.

Berawal dari tetes keringat merekalah daun itu diolah hingga citarasanya termasyhur di berbagai belahan benua. “Saya mah sudah jadi tukang petik daun teh sejak kecil. Turun-temurun dari zaman nenek saya,” tutur Euis (31), pemetik daun teh di Kebun Teh Kertamanah, akhir Maret lalu.

Kendati penghasilannya tak bisa dibilang cukup, menjadi pemetik teh tetap dilakoninya. Euis rata-rata bisa memetik daun sebanyak 15 kilogram per hari yang dapat ia tukarkan dengan uang Rp 10.000 karena upak petik teh hanya Rp 625 per kg. Dengan demikian, dia berpenghasilan Rp 300.000 per bulan. Beruntung suaminya, Nasrudin (35), bekerja sebagai salah satu mandor kebun teh dengan bayaran Rp 600.000 per bulan.

Dengan pendidikan yang relatif rendah, hanya tamatan SD, kebun teh menjadi gantungan hidup bagi Euis dan ribuan warga di sekitar areal perkebunan. Dan itu tak membuat mereka mengeluh. Seolah kebun teh dan pemetiknya telah direkatkan ikatan sosial budaya dan ekonomi sejak baheula.

Tanaman teh memang menjadi salah satu kekhasan Bumi Priangan sejak lebih kurang 200 tahun lalu. Kontur geografis yang mirip dengan asalnya di daerah pegunungan Assam, India, China, Myanmar, dan Thailand membuat daun teh di wilayah ini punya citarasa tinggi. Di hulu Citarum, perkebunan teh terhampar mulai dari Kecamatan Pangalengan, Ciwidey, Cipeundeuy, Cikalong Wetan, Gambung, hingga Pasirjambu.

“Pangeran teh”

Berkembangnya perkebunan teh di Tatar Sunda tak lepas dari tangan dingin para “pangeran teh” yang sejak 1840-an mengembangkan perkebunan teh di lereng-lereng pegunungan di Priangan, mulai dari Sukabumi hingga Garut. Para pengusaha itu, antara lain GIJ van der Hucht (1844), Karel Federik Holle (1865), Adriaan Walrafen Holle (1857), RE Kerkhoven (1873), dan KAR Bosscha (1896).

Para pengusaha swasta Belanda ini dimungkinkan membuka perkebunan teh selepas dihapusnya masa tanam paksa (cultuur stesel). Selanjutnya Pemerintah Belanda pada 1870 mengeluarkan Undang-Undang Agraria yang membuka kesempatan seluasnya bagi pemodal swasta di sektor perkebunan.

Menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia Atik Dharmadi, para pengusaha swasta itu berhasil memperbaiki sistem perkebunan teh di Priangan pascatanam paksa dengan sistem yang lebih modern. Keberhasilan tersebut membuat GIJ van der Hucht, Karel Federik Holle, Adriaan Walrafen Holle, RE Kerkhoven, dan KAR Bosscha dijuluki para pangeran kerajaan teh di Priangan (de thee jonkers van Preanger).

Merekalah yang “babat alas” ribuan hektar hutan untuk digarap menjadi kebun teh. Tercatat, pada 1930, dari 286 perkebunan teh di Pulau Jawa, sebanyak 249 kebun di antaranya berada di wilayah Priangan. Sejak itu, teh hasil perkebunan di Priangan mulai diekspor ke berbagai negara di benua Eropa.

Pendorong kemajuan

Berkembangnya perkebunan teh tak hanya membawa berkah bagi masyarakat di hulu Citarum dengan menjadi pemetik teh, pekerja pabrik, ataupun penjaga kebun. Kondisi tatar Priangan pun maju pesat.

Hingga kini, perkebunan teh di Jawa Barat merupakan yang terbesar di Indonesia. Meski terus menyusut, luas areal perkebunan mencapai 97.138 hektar atau 70 persen dari luas areal perkebunan teh di Indonesia dan 50.137 hektar di antaranya adalah perkebunan teh rakyat. Sedangkan perkebunan negara seluas 25.899 hektar dan swasta 21.102 hektar.

Setiap tahun, produksi teh dari provinsi ini menyumbang sekitar 80 persen produksi teh nasional. Sekitar 42 persen produksi teh Jabar dihasilkan dari kabupaten yang berada di hulu Sungai Citarum ini.

Berdasarkan data Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Indonesia merupakan eksportir urutan kelima yang mengekspor rata-rata 98.500 ton teh per tahun senilai sekitar 130 juta dollar AS. Dari nilai tersebut, produk teh sekitar DAS Citarum menyumbang sekitar 30.000 ton senilai 38,33 juta dollar AS.

Menurut Kepala Bidang Penelitian PPTK Gambung Rohayati Suprihatini, 75 persen teh produksi Indonesia merupakan teh hitam, yang hampir 95 persen di antaranya untuk ekspor. “Kualitas teh hitam dari Kabupaten Bandung adalah yang terbaik ketiga di dunia setelah Sri Lanka dan India,” tuturnya.

Meski demikian, banyaknya kebun teh dengan usia di atas 50 tahun membutuhkan penanaman kembali hingga revitalisasi. Data Dinas Perkebunan Jabar, sekitar 50.666 hektar kebun teh rakyat butuh revitalisasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.

Selain peremajaan kebun, PT Perkebunan Nusantara XIII sebagai pengelola perkebunan negara kian fokus menangani industri hilirnya. Direktur Komoditi Teh PTPN XIII Agus Supriyadi menyebutkan, selain merek Walini yang kini jadi ikon produk teh di Bandung dan sekitarnya, pihaknya terus melakukan riset untuk mengembangkan teh premium dan siap saji.

Teh Walini sendiri merupakan olahan daun teh dari beberapa kebun PTPN XIII yang selama ini juga menyuplai banyak produk teh dunia, seperti Lipton dan Sara Lee.

Jadi, jika Anda menikmati secangkir teh di kafe ataupun di kamar hotel berbintang di London, Amsterdam, atau di Paris, jangan sampai salah memberikan sanjungan. Boleh jadi, teh bercita rasa tinggi itu dipetik dari kebun-kebun teh di lembah Sungai Citarum…. (GREGORIUS MAGNUS FINESSO)

Artikel Lainnya