Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Petani di Desa Wangisagara,Majalaya, Bandung, Jawa Barat, memanen ikan yang dipelihara di sawah, Rabu (20/4). Mina padi semacam ini membantu petani meningkatkan pendapatan dan dapat mendongkrak volume produksi padi.

Pangan

Kesejahteraan Daerah: Mina Padi Dongkrak Petani

·sekitar 5 menit baca

Belasan orang hilir-mudik di kolam ikan milik Mpep (38) di Tanjungwangi, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mereka menggunakan sepeda motor untuk mengangkut bungkusan plastik berisi ribuan ikan seukuran jempol tangan. Ikan-ikan itu ditimbang lalu dilepas di salah satu kolam.

Kolam milik Mpep itu berada di tengah persawahan. Sawah-sawah itu memasuki masa tanam. Tak lama kemudian, petani lain, Eep Rahmat, datang ke kolam itu untuk bertemu Mpep. Sambil berbincang santai, Mpep menyerahkan sejumlah uang kepada Eep.

Eep memiliki sawah seluas 100 tumbak atau 1.400 meter persegi. Di lahan sawah itu ditebarkan benih ikan mas yang baru berusia sekitar 17 hari. Ikan-ikan itu merupakan hasil pembiakan pada Balai Benih Perikanan milik Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung.

Setelah 25 hari dilepas dalam sawah, ikan-ikan hasil pendederan itu dipanen, dan dibeli pengepul. Setelah itu, ikan tersebut dijual kepada para pembudidaya di Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur untuk dibesarkan. Pemeliharaan ikan dalam lahan sawah disebut mina padi.

Benih ikan yang semula ditebarkan dalam sawah Eep sebanyak lima kantong atau 5.000 ekor itu mampu menghasilkan 25 kilogram ikan. Ikan itu dibeli Mpep seharga Rp 13.000 per kilogram. Eep pun langsung mengantongi pendapatan bersih sebesar Rp 280.000 setelah dikurangi biaya pengadaan benih Rp 45.000.

Dalam usaha mina padi ini, petani tak perlu merogoh kantongnya untuk membeli benih sebab semua ditanggung pengepul, seperti Mpep. Ongkos itu nantinya dipotong usai panen. Petani hanya disyaratkan, ikan-ikan yang ditebar wajib dijual kepada pengepul. Modal yang dikeluarkan untuk benih 5.000 ekor ikan sebesar Rp 45.000.

“Saya juga pasang jaminan. Kalau sawahnya kena musibah seperti banjir yang mengakibatkan ikan-ikan itu hilang atau hanyut, petani tidak perlu membayar apa pun,” kata Mpep.

Bagi Eep, penghasilan tambahan itu jelas menggiurkan. Apalagi, dalam sekali musim tanam dilakukan dua kali penebaran bibit untuk pendederan. Dengan sawah berukuran 100 tumbak, dia bisa mendapat Rp 560.000. Jumlah itu sangat bermanfaat untuk ongkos proses produksi padi dan kebutuhan darurat keluarga. “Lumayan untuk disimpan bila dua anak saya yang masih kecil membutuhkan sesuatu,” ujarnya sambil tersenyum.

Keuntungan lain menggalakkan mina padi adalah sebagai jaring pengaman. Eep, misalnya, bisa meminjam uang kepada bandar ikan untuk keperluan bertani seperti membeli pupuk dan dibayar dengan cara dipotong dari hasil panennya.

Mamat Rahmat, pedagang benih yang ditemui di Pasar Benih Ikan, mengaku bisa mendorong para petani anggotanya agar tiga kali menebar benih di sawah mereka. Petani yang menggarap lahan sekitar 1 hektar saja bisa menebar 60.000 ekor bibit ikan. Sekitar 25 hari kemudian, saat dipanen, bisa dihasilkan 300 kilogram ikan.

Jika dijual seharga Rp 15.000 per kilogram, diperoleh pendapatan sekitar Rp 4,5 juta. Dikurangi biaya pengadaan benih Rp 600.000, petani memperoleh penghasilan bersih Rp 3,9 juta, atau Rp 7,8 juta dalam satu musim tanam. Jumlah ini terbilang menguntungkan kalau dibandingkan dengan hasil panen padi sebesar Rp 12,5 juta.

“Pendapatan dari mina padi terkadang melebihi panen padi bila harga gabah sedang anjlok atau produksi terganggu akibat hama,” ujar Mamat.

Mutualisme

Bagi Mpep, skema kerja sama dalam mina padi selalu saling menguntungkan. Petani mendapatkan keuntungan tambahan tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga dan biaya. Bandar ikan pun mendapatkan pasokan ikan melalui kerja sama dengan petani. Itu membuat suplai kepada pembudidaya ikan pada waduk maupun kolam di daerah lain pun tetap lancar.

Para bandar ikan pun turut mereguk keuntungan karena tidak perlu memiliki kolam tersendiri untuk membesarkan benih ikan menjadi ikan berukuran 5 sentimeter. Mereka tinggal membeli dari petani dikurangi benih yang dikeluarkan sebelumnya. Dari kolam itu, ikan dijual ke tempat pembesaran ikan dengan harga Rp 23.000 per kg. Dengan jumlah yang sama dengan ikan yang dibeli dari Eep misalnya, sang bandar bisa mendapatkan Rp 575.000 bila dijual ke para pembudidaya.

Mpep mengaku bekerja sama dengan 100 petani yang tersebar di Pacet, Majalaya, dan Ciparay untuk pendederan ikan. Setiap hari dia mampu memasok 150 kg ikan kepada para pembudidaya. Nilai pendapatan Rp 3,5 juta sudah pasti diraih. Sebagai bandar, dia hanya memiliki enam kolam penampungan berkapasitas 600 kg sebagai lokasi penampungan sementara dari petani sebelum dikirim ke pembudidaya.

“Mina padi semakin banyak peminatnya. Pada tahun 2004, saya hanya bisa menebar 100 gelas benih ikan dalam sebulan pada lahan sawah, dan tahun 2010 sudah bisa mencapai 3.000 gelas dalam waktu yang sama,” ujar Mpep.

Mina padi juga membuat para pembenih ikan tersenyum lebar. Hal itu misalnya Asep Sukarsa di Ciparay. Dia setiap bulan bisa menyuplai 2.000 gelas bagi Mpep. Semula penyerapan benih ikan sedikit terganggu sejak kawasan pendederan ikan di Bojongsoang mulai beralih fungsi menjadi perumahan. Dengan mina padi, keadaan bisa lebih baik baginya.

Pertanian terpadu

Bagi Pemerintahan Kabupaten Bandung, mina padi telah menjelma menjadi salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan petani tanpa harus memperluas lahan sawah. Bahkan, pendapatan yang diperoleh dari mina padi sering kali lebih besar dari komoditas utama.

Namun, data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung menyebutkan, baru 8.000 hektar lahan pertanian yang memanfaatkan mina padi. Ini baru 12,3 persen dari total lahan pertanian di wilayah itu yang mencapai 65.000 hektar.

Itu sebabnya Bupati Bandung Dadang Naser menjadikan mina padi sebagai salah satu cara menyejahterakan masyarakat setempat yang mutu airnya masih terjaga. “Mina padi menjadi salah satu alternatif menggantikan Bojongsoang yang beralih fungsi. Dengan demikian, produksi ikan air tawar Kabupaten Bandung bisa terjaga,” ujarnya.

Untuk program mina padi 2011, Pemkab Bandung menganggarkan Rp 100 juta dari APBD Kabupaten Bandung dan Rp 1 miliar dari APBN. Dana itu hampir semuanya digunakan untuk pengadaan benih ikan dan peningkatan kualitas benih melalui balai benih ikan. Bahkan, akan diupayakan dana tambahan untuk mina padi melalui APBD perubahan serta alokasi dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Asep Sukarsa yang menjadi pembenih sejak tahun 1991 meminta pemerintah memfokuskan bantuan kepada bandar ikan. Alasannya, bandar menjadi muara dari pembenih, petani mina padi, serta pembesaran ikan. Bandar yang didukung modal kuat akan lebih efektif menyediakan bantuan kepada petani dalam bentuk pinjaman lunak, penyerapan benih ikan lebih tinggi, dan memiliki daya tawar untuk menjual ikan ke pemilik kolam pembesaran.

“Sudah bukan zamannya lagi bandar dan petani bermusuhan. Yang ada sekarang, semua saling bekerja sama,” kata Asep. (DIDIT PE RAHARDJO DAN M KURNIAWAN)

Artikel Lainnya