KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, makin dimanjakan dengan adanya Museum Kapal Samudraraksa Borobudur yang diresmikan pada 31 Agustus lalu. Salah satu daya tarik museum berupa Kapal Samudraraksa yang pembuatannya berpedoman pada relief di Candi Borobudur. Sebelumnya kapal tersebut menjalani ekspedisi Route Kayu Manis dari Jakarta melalui Madagaskar, Cape Town, Pantai Barat Afrika, dan berakhir di Ghana pada bulan Desember 2003 lalu. Pengunjung mengamati Kapal Samudraraksa, Minggu (25/9)

Museum Kapal Borobudur

Dari Syailendra hingga Majapahit

·sekitar 3 menit baca

Dari Syailendra hingga Majapahit

Sebuah kapal kayu bercadik terpajang di Museum Samudera Raksa di kompleks Candi Borobudur. Kapal bernama Samudera Raksa itu disebut sebagai replika Kapal Borobudur yang digunakan leluhur bangsa Indonesia zaman Dinasti Syailendra pada abad ke-8 Masehi berlayar hingga ke Afrika Barat.

Philip Beale, perwira Royal Navy (AL Inggris), pada tahun 1980-an memelopori gagasan pembuatan ”Kapal Borobudur” yang akhirnya berlayar dari Bali pada 30 Agustus 2003 dan tiba di Accra, Ghana, Teluk Guinea di Afrika Barat, pada 23 Februari 2004 atau enam bulan pelayaran. Pelaut Jawa pada milenium pertama Masehi sudah biasa menjelajah ke Afrika. Selang sepuluh abad kemudian, rute pelayaran Ghana-Jawa kembali hidup tahun 1800-an semasa Hindia-Belanda. Sejarawan Universitas Leiden Ineke van Kessel menelusuri jejak orang-orang keturunan Afrika di Salatiga dan Purworejo yang menjadi prajurit KNIL.

Kapal Samudera Raksa dibuat di galangan kapal tradisional di Pulau Kangean 100 kilometer utara Pulau Bali dan di timur Pulau Madura yang menjaga tradisi maritim dari leluhur.
Menurut ahli kelautan Universitas Hassanudin Ridwan Alimuddin, pelaut Bali, Madura—termasuk Kangean—Mandar, Bugis, Buton, dan Makassar merupakan pewaris tradisi bahari Nusantara.

Kapal Samudera Raksa membuktikan kemampuan maritim Nusantara jauh sebelum bangsa Eropa dipelopori Pangeran Henri ”Sang Navigator” asal Portugal memelopori penjelajahan Eropa ke Asia. Era pelayaran zaman Wangsa Syailendra adalah masa awal kebangkitan Islam di Jazirah Arab dan bangsa-bangsa Eropa belum lagi menjelajah lautan.

Kejayaan pelaut Jawa, seperti direkam arkeolog Universitas Indonesia Hasan Djafar, mencapai puncak pada era Majapahit (1293-1527). Semasa era Kapal Borobudur hingga Majapahit, para leluhur sudah terbiasa hidup dengan aktivitas terkait sungai dan perairan. ”Sepanjang alur Ciliwung sudah menjadi hunian manusia hingga kawasan hulu di Bogor. Berbagai artefak ditemukan di alur Ciliwung, seperti di daerah Condet dan Kalibata,” kata Hasan Djafar saat Kompas menggelar Ekspedisi Ciliwung tahun 2009.

Hasan Djafar dalam buku Masa Akhir Majapahit menulis, pedagang dan pelaut Jawa dikenal kaya raya. Pedagang dan pelaut Jawa berlayar ke Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin, Malaka, dan Kepulauan Filipina.

Kota pelabuhan

Para pelaut dan saudagar Jawa biasa berhubungan dengan pedagang dan pelaut India, Arab, dan Tiongkok. Pedagang Jawa kaya raya karena menguasai perdagangan rempah dari Maluku dan beras dari Jawa. Mereka bertemu mitra dagang dari Arab, India, Persia, Turki, dan Tiongkok di Bandar Malaka. Para pedagang Jawa mengimpor produk keramik dan logam dari India dan Tiongkok. Perdagangan yang pesat ini, menurut Hasan Djafar, memicu pertumbuhan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa berkembang pesat. Hubungan ini terjalin sejak abad ke-7 Masehi hingga keruntuhan Majapahit.

Kemakmuran Majapahit yang berbasis perdagangan dan hubungan maritim semakin redup karena konflik internal Majapahit sebagai pusat kekuasaan Nusantara dan perkembangan geopolitik Asia Tenggara yang antara lain ditandai dengan berkembang pesatnya perdagangan pedagang Timur Tengah dan penyebaran agama Islam. Dua hal terakhir ini yang memunculkan berbagai kesultanan di pesisir.

Para pedagang Timur-Tengah juga memiliki pos-pos dagang hingga pesisir Tiongkok. Penjelajah Ibnu Battutah (1304-1368) dan Marco Polo (1254-1324) mencatat era keemasan perdagangan Timur-Tengah dengan Nusantara dan Tiongkok. Para pedagang Timur-Tengah dan mitranya di Eropa, yakni Genoa dan Venesia, mengendalikan harga rempah di pasar terakhir, yakni Eropa Barat.

Perdagangan dan persaingan mengusai rempah di Eropa dan Timur-Tengah turut berdampak pada kejayaan imperium Majapahit. Akhirnya, menurut Hasan Jafar, Kerajaan Majapahit semakin terisolasi di pedalaman hingga Adipati Unus dari Kesultanan Demak mengalahkan Majapahit pada tahun 1519. Sementara itu, pada periode yang hampir bersamaan, bangsa Eropa, Portugis, justru mulai menguasai Malaka pada 1511.

Kekuasaan Majapahit sebagai penguasa Nusantara pun terjepit di antara pertarungan geopolitik kerajaan-kerajaan Eropa dan Timur-Tengah yang didominasi Kesultanan Turki Usmani. Berbagai bandar dan galangan kapal hilang, lenyap pula armada pelaut dan pedagang Jawa. Akhirnya, kekuasaan Majapahit yang pernah menguasai lautan Nusantara dan mengendalikan perdagangan rempah, komoditas yang menjadi rebutan dunia, pun berakhir….

Foto: KOMPAS/ALIF ICHWAN

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Pemberangkatan ekspedisi kapal The Spirit of Majapahit dari Marina Batavia, Jakarta, (4/7/2010).

Artikel Lainnya