KOMPAS/DAHONO FITRIANTO

Philip Beale

Persiapan Peluncuran Ekspedisi Kapal Borobudur

Philip Beale, Menemukan Mimpi Borobudur

·sekitar 5 menit baca

PHILIP BEALE, MENEMUKAN MIMPI DI BOROBUDUR

JIKA Anda memiliki impian, apa saja yang akan Anda lakukan dan korbankan untuk meraihnya? Beberapa orang akan mempertaruhkan segalanya untuk mengejar mimpinya. Salah satu di antaranya adalah Philip Beale, pria kelahiran Dorset and Devon, Salisbury, Inggris, 42 tahun lalu. Baginya, mewujudkan impian adalah kesempatan untuk membuat perbedaan dalam hidup sebelum semuanya terlambat.

Philip Beale adalah tokoh utama di balik proyek ambisius Ekspedisi Kapal Borobudur: Indonesia to Africa 2003. Dialah penggagas pertama, penggarap, dan sekarang menjadi pemimpin ekspedisi untuk membangun dan mencoba melayarkan Kapal Borobudur, sebuah replika kapal tradisional masyarakat Indonesia (baca: Nusantara) pada abad ke- 9 yang gambarnya tercetak di relief Candi Borobudur.

Dibangun hampir seluruhnya dengan teknologi tahun 800-an, kapal itu akan diberangkatkan pada 15 Agustus 2003 nanti untuk menyeberangi Samudera Hindia.

Melewati rute perdagangan kayu manis (The Cinnamon Route) kapal ini menuju Kepulauan Maldives-Madagaskar-Cape Town-Tanjung Harapan, dan berakhir di Accra, ibu kota Ghana, di pesisir barat Afrika.

Mimpi Beale dimulai pada tahun 1982 ketika dia mengunjungi Indonesia untuk pertama kali. Dalam perjalanan pulang dari penelitian budaya kelautan dan kano tradisional di Papua Niugini, dia mampir ke beberapa tempat di Indonesia, termasuk Bali dan Candi Borobudur.

Di candi itulah ia melihat relief yang menggambarkan aktivitas orang- orang pada sebuah kapal. Terdapat sepuluh panel relief yang menggambarkan kapal-kapal berbagai ukuran yang tersebar di semua sisi dinding Candi Borobudur.

Beale yang pada waktu itu sudah mengetahui adanya hubungan antara bangsa Indonesia dengan penduduk Madagaskar dan Benua Afrika, berpikir, inilah kapal yang menghubungkan Indonesia dan Afrika pada era milenium pertama tersebut.

“Seketika itu juga saya langsung bermimpi dapat membuat kembali kapal itu, dan melayarkannya menyeberangi Samudera Hindia seperti yang dilakukan pada waktu itu,” tuturnya. Mimpi itu tersimpan sempurna jauh dalam benak Beale, dan baru 20 tahun kemudian ia berkesempatan mewujudkannya.

MINAT Beale terhadap penjelajahan lautan bermula ketika ia berusia 12 tahun. Waktu itu ia membaca mengenai Ekspedisi Kon Tiki yang dilakukan oleh penjelajah asal Norwegia, Thor Heyerdahl di tahun 1947. Thor menyeberangi Samudera Pasifik sejauh 6.880 kilometer menggunakan replika rakit prasejarah yang terbuat dari kayu balsa.

Minatnya terhadap dunia maritim tradisional, terutama di kawasan Asia Pasifik, semakin memuncak ketika memperoleh kesempatan langka pada tahun 1979. Usianya saat itu 17 tahun dan baru saja lulus sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), namun ia boleh bergabung dengan Ekspedisi Drake ke Kepulauan Fiji dan Papua Niugini di kawasan Pasifik.

Sepulang dari ekspedisi itu, Beale masuk ke Universitas Hull di kawasan Humberside di bagian utara Inggris dan mengambil jurusan ilmu- ilmu politik. Di sela-sela kuliahnya, dia mempelajari hal-hal tentang sejarah dan kebudayaan Asia Tenggara dan menemukan bukti-bukti keterkaitan antara bangsa-bangsa di Nusantara dengan Madagaskar dan Afrika.

“Jejak-jejak bangsa Indonesia jelas sekali terdapat di Madagaskar, mulai dari bukti-bukti linguistik sampai jejak DNA,” katanya.

Bahkan, beberapa tanaman khas Indonesia seperti beras Asia, ketela rambat, pisang, dan buah pinang, tersebar hingga ke pantai barat Afrika.

“Sampai sekarang masih belum diketahui bagaimana benda-benda itu bisa tersebar sampai ke sana, tetapi diduga pada masa itu sudah ada hubungan antara bangsa-bangsa di Indonesia dengan pesisir barat Afrika,” papar Beale.

SEOLAH laut sudah menjadi garis hidupnya, Beale pulang ke Inggris pada akhir tahun 1982 untuk bergabung dengan Royal Navy, Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Selama dua tahun dia bergabung di Royal Navy sebagai perwira muda dan sempat mencicipi berkeliling Eropa dengan kapal perusak HMS Cardiff.

Setelah keluar dari Angkatan Laut Inggris, ia memilih jalan hidup yang jauh dari laut dan berkarier sebagai pebisnis di beberapa bisnis kecil di London. Kariernya di dunia itu berjalan mulus ketika pada tahun 1987 dia bergabung dengan Robert Flemings Holdings Limited, sebuah perusahaan manajemen aset dan investasi perbankan kelas dunia.

Tidak lama setelah itu, ia pindah lagi ke Morley Fund Management, salah satu perusahaan asuransi terbesar di Inggris. Kariernya sebagai pebisnis semakin menanjak hingga dia menduduki posisi pooled fund manager, manajer yang mengatur dana pensiun perusahaan-perusahaan besar di Inggris.

Selama ia meniti karier di tengah- tengah The City, pusat bisnis Kota London yang hiruk-pikuk, mimpinya akan gambar kapal di relief Candi Borobudur masih terus tersimpan di hatinya. “Saya tetap memasukkannya dalam daftar hal-hal yang ingin saya kerjakan dalam hidup saya. Akhirnya, tahun lalu, mimpi itu sampai pada tingkat teratas dalam daftar saya,” ujarnya.

Kematian ibunya ikut mendorong Beale untuk segera mewujudkan mimpinya. “Rasanya, ibu terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Saya baru sadar bahwa hidup ini sangat singkat, dan akhirnya saya putuskan itÆs now or never!” tandas pria yang belum menikah itu.

Beale memutuskan meninggalkan segalanya, pekerjaannya, dan keluarganya, untuk mengejar mimpinya yang masih tertinggal di belahan dunia lain. September 2002, ia bertemu dengan pembuat replika kapal terkenal, Nick Burningham, di Italia. Burningham berpengalaman membuat replika Kapal Duyfken, kapal Belanda yang tercatat sebagai kapal pertama yang mendarat di Benua Australia tahun 1606.

Bulan Desember tahun yang sama, ia dan Nick tiba di Pulau Kangean, 90 kilometer sebelah utara Bali, untuk mencari pembuat kapal tradisional terbaik yang banyak terdapat di sana. Bagaikan gayung yang terus bersambut, mereka dipertemukan dengan AsÆad Abdullah, pembuat kapal berpengalaman sejak tahun 1970.

Tanpa halangan yang berarti, kapal tersebut selesai digarap pada akhir Juni lalu dan saat ini sudah siap berlayar dari tempat penyimpanannya di Banyuwangi, Jawa Timur. Dengan 23 awak kapal pilihan yang menyertainya, termasuk nakhoda Kapten (L) I Gusti Nengah Ngurah Sedana dari TNI Angkatan Laut, Beale akan memulai pelayaran menuju ujung impiannya pada 15 Agustus mendatang.

TIDAK ada satu pun jaminan bahwa kapal kayu berukuran panjang 18,25 meter dan lebar 4,35 meter itu akan selamat mengarungi gelombang Samudera Hindia yang rata-rata berketinggian 8-10 meter. Philip Beale pun menyadari sepenuhnya bahwa dia mungkin tidak akan pernah sampai ke tujuannya dan mungkin tidak akan pernah pulang.

Mimpi. Betapa besar makna kata itu bagi seorang Philip Beale. Ia berkeyakinan penuh, mimpi itu akan membuat perbedaan dan akan mengubah hidupnya.

“It is my ultimate dream,” tandas Beale tentang puncak impiannya ini.

(DAHONO FITRIANTO)

Artikel Lainnya