Pada Rabu (26/6/2019) yang terik, beberapa bentor terparkir di tepi Jalan Nani Wartabone, Kota Gorontalo. Para sopir bentor mengaso di jok penumpang yang diteduhi kap polikarbonat. Sementara itu, bentor-bentor lain tak hentinya melewati mereka, dengan maupun tanpa penumpang.
Maman (32), salah satu pengemudi bentor, telah menjalani profesinya selama satu tahun enam bulan setelah beralih dari pekerjaan sebagai karyawan toko. ”Bentor terus menjadi andalan masyarakat. Jadi, saya mau mencoba peruntungan di pekerjaan baru,” katanya.
Bermodalkan Rp 7,5 juta, ia memesan rangka becak di salah satu bengkel bentor untuk menggantikan roda depan sepeda motor bebek Yamaha Vega R miliknya. Cat kuning dipilihnya untuk dinding di kedua sisi bentor berikut fender-nya. Beberapa bagian lainnya berwarna hitam.
Uniknya, bentor Maman memiliki bumper di bawah pijakan kaki penumpang. Desainnya seperti bumper mobil sport, lengkap dengan dua lampu di sisi kanan dan kiri. Pelek rodanya yang tebal berwarna putih. Alhasil, bentor Maman tak ubahnya mobil balap yang siap menguasai jalanan Gorontalo.
Sehari, pendapatan bersih Maman bisa sampai Rp 150.000. ”Sekali jalan, saya bawa 1-3 penumpang. Tidak berani bawa lebih dari itu, takut bentor cepat rusak. Bisa kena tilang juga,” katanya.
Syarat menjadi sopir bentor pun sangat longgar. Meski bentor beroda tiga, sopir hanya memerlukan SIM C untuk pengendara roda dua. Bentor juga tidak perlu uji kir untuk dinyatakan layak mengangkut penumpang seperti moda angkutan umum lainnya.
Bentor bahkan telah merambah revolusi industri 4.0. Melalui aplikasi Go-Jek, warga Gorontalo dapat memesan layanan bentor melalui ponsel pintar. Para sopir bentor dalam jaringan (daring) mengatakan, Go-Jek langsung sepakat dengan ide itu. Sebab, bentor yang pada 2017 berjumlah sampai 14.000 di Kota Gorontalo telah diterima masyarakat.
”Pertama kali Go-Jek masuk sini, IPB (Ikatan Pengemudi Bentor) Gorontalo meminta Go-Jek hanya menerima bentor. Kalau roda dua jadi ojek, persaingan bisa tak terkendali,” kata Febi, sopir bentor daring.
Azis (42), sopir bentor daring lainnya, mengatakan, kehadiran aplikasi sangat menguntungkan. Pendapatan bersih saat ini tidak pernah kurang dari Rp 100.000 per hari, naik dari rerata Rp 60.000 saat bentornya masih pakai sistem konvensional.
Tarif Go-Jek bentor, sekalipun membawa dua penumpang, tetap sama seperti ojek daring di kota-kota lain. ”Kalau ada penumpang ketiga, harus duduk di belakang dan bawa helm. Kalau tidak bawa helm, kami minta customer pesan bentor lain. Itu sudah kesepakatan kami dengan polisi,” katanya.
Industri berkembang
Gorontalo juga menjadi pusat pembuatan bentor bagi daerah-daerah lain di Sulawesi, seperti Palu dan Luwuk (Sulawesi Tengah), Makassar (Sulawesi Selatan), serta Bolaang Mongondow Raya dan Kepulauan Sangihe (Sulawesi Utara). Bentor juga ”diekspor” ke Ternate dan Jailolo di Maluku Utara.
Karena besarnya permintaan di dalam dan luar Gorontalo, menjamurlah bengkel-bengkel sederhana manufaktur bentor, salah satunya milik Adi Patuti (40), di Jalan Jeruk, Wumialo, Kecamatan Kota Tengah. Ledakan tren bentor dimulai awal dekade 2000-an.
Memulai usahanya pada 2006, kini Adi memproduksi sekitar 40 unit bentor setiap bulan dengan bantuan sembilan karyawan. Mereka masing-masing bertugas memotong besi, mengelas, sampai mengecat.
”Satu unit harganya Rp 4,5 juta-Rp 6 juta. Harganya tergantung desain, ada becak tanpa bumper, dengan bumper ukuran sedang, dan bumper besar. Dari penjualan itu, keuntungan buat saya sendiri Rp 400.000 dari tiap unit,” kata Adi.
Pada periode 2009-2012, bengkel Adi bahkan memproduksi 80-120 unit bentor per bulan untuk dikirim ke distributor di Makassar. Namun, jumlah karyawannya tidak cukup untuk memenuhi permintaan itu. Kini, setengah produk yang dihasilkan dijual di Gorontalo, sedangkan sisanya dikirim ke Sulteng, Sulut, dan Maluku Utara.
Produksi bentor Adi terus bergulir karena pengemudi bentor suka berganti-ganti bentor. ”Bentor yang sudah tua sedikit, misalnya tiga tahun, akan dibuang dan diganti yang baru. Jadi, jumlah sopir bentor tetap, tapi produksi bentor tidak akan mati karena permintaan terus ada,” katanya.
Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, mengatakan, pada awal 2000, saat Gorontalo masih bagian dari Sulut, ada guncangan ekonomi akibat penertiban pedagang kaki lima. Banyak orang kehilangan sumber kesejahteraan.
”Munculnya bentor yang diinisiasi seorang anak STM (sekolah teknik menengah) memicu menjamurnya bentor. Banyak yang membuat secara individual, ada juga juragan-juragan bentor yang mempekerjakan orang sebagai sopir. Bentor jadi sumber penghasilan bagi mereka,” kata Basri.
Setelah Provinsi Gorontalo terbentuk pada 2001, pekerjaan di sektor pemerintahan muncul sehingga banyak warga mampu membeli rumah. Topografi wilayah kota yang datar serta perumahan yang menyebar di berbagai penjuru kota memungkinkan bentor mengantar penumpang sampai depan rumah. Bentor, kata Basri, terus diminati hingga kini karena praktis.
Keamanan rendah
Kendati begitu, bentor tidaklah sempurna. Adi tak memungkiri keamanan bentor sangat rendah. Penggantian roda depan dengan becak menghilangkan pula rem cakram. Akibatnya, bentor hanya bisa mengandalkan rem belakang.
”Saya pernah coba kasih cakram di kedua roda depan, tapi bentor malah rusak. Kalau hanya diberi cakram di satu roda depan, malah rawan kecelakaan. Jadi, keselamatan tinggal bergantung pada feeling sopir,” katanya.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), bentor bukanlah kendaraan angkutan umum. Kementerian Perhubungan pun tidak meregulasi bentor. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Gorontalo mengatur administrasi dan pajak bentor dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006 yang mencakup modifikasi bentor.
Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Dinas Perhubungan Kota Gorontalo Nurhedyati Tome mengatakan, bentor adalah angkutan ilegal yang semestinya dihilangkan karena tak aman. Pemkot sudah mencoba menyediakan bus kota pada 2009, tetapi merugi karena masyarakat kukuh bertahan pada bentor.
Karena itu, pemerintah hanya bisa membuat kesepakatan dengan para pengemudi bentor. Beberapa kewajiban bentor, di antaranya mengenakan helm serta melaju dengan kecepatan maksimal 40 kilometer per jam.
”Masalah ini seharusnya mulai ditangani Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Gorontalo. Bentor akan selalu ada jika produksinya terus berjalan. Tapi, kalau dihentikan serta-merta, akan ada risiko gesekan dengan para pengemudi,” kata Nurhedyati.
Sementara ini, belum ada solusi konkret untuk menggantikan bentor. Nurhedyati mengatakan, ia telah menawarkan beberapa solusi kepada pemkot dan pemprov, seperti penghentian produksi bentor, pengerahan angkutan antarkota, serta memberikan insentif bagi pengusaha angkutan umum lokal.
Basri Amin mengatakan, pemerintah terkesan membiarkan tumbuhnya angkutan umum ini terus terjadi. ”Transisi masyarakat Gorontalo belum memunculkan kelas menengah yang kritis mendorong perubahan hingga kini. Belum ada media massa ataupun lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengawasi pemerintah,” katanya.
Tak ayal, bentor pun terus menjadi pilihan dan andalan Gorontalo. Warga seperti Jalal (19), misalnya, mengaku akan terus mengandalkan bentor jika tak ada kendaraan pribadi. Tumbuhnya kesadaran terhadap bentor ini pun masih menanti waktu. (OKA/APO/ENG)